Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Kisah di Balik Kursi Roda Berkarat

10 April 2016   06:59 Diperbarui: 11 April 2016   09:55 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu terngiang di telinga papahnya, bahkan karena pertanyaan-pertanyaan yang miris itu perkelahian tidak terelakkan. Papahnya seringkali berkelahi dengan teman-temannya lantaran cibiran dan hinaan datang silih berganti. Awalnya papahnya kebal dengan semua hinaan itu, tapi lama-lama ia berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh temannya itu benar adanya.

“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan orang selama ini, kamu telah selingkuh ya? Sang suami menuduhnya dengan sekata-kata. Seakan-akan anaknya yang pertama adalah aib bagi keluarganya.

“Apa, Pah? Aku selingkuh?

Mamahnya menolak tuduhan suaminya, seolah-oleh ia tersambar petir. Tuduhan itu seperti mencabik-cabik rasa di dalam hatinya. Rasa kecewa dan terhina begitu menusuk sanubarinya. 

"Iya, kamu selingkuh! Makanya anak kita satu-satunya terlahir cacat."

"Siapa pria lain di hatimu itu?"

Suaminya mencecar istrinya dengan beraneka pertanyaan yang membuat hatinya semakin pilu, Rinai pun jatuh begitu deras di kedua belah matanya. Rasa penyesalan dan kekecewaan kini membuncah seketika. Ia tidak menyangka, suaminya yang paling disayangi dan dicintainya tiba-tiba menuduhnya dengan keji.

“Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku begitu terhina. Aku tak menyangka doa-doa yang kupanjatkan kepadaMu ternyata berakhir bencana bagi kehidupan rumah tanggaku.” Dalam batinnya ia menangis pilu, ibarat kertas yang telah tertulis ayat-ayat cinta kini hancur luluh berantakan oleh kata-kata suaminya. Rasa cinta dan perhatian yang dalam seakan-akan sirna. Tuduhan suaminya telah membunuh rasa cintanya yang ia bangun selama ini.

"Kenapa sih, Pah? Kenapa Papah menuduhku dengan kejinya?

"Apa salahku Pah?"

"Bukankah Papah tahu bahwa aku istri yang paling setia. Bahkan kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Kita berjanji pada kedua orang tua kita bahwa kita adalah pasangan yang istimewa. Kita akan menjalani semua pernak-pernik kehidupan ini bersama-sama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun