***
Sebenarnya kalau melihat dari anak-anaknya, ia masihlah muda, tapi karena rasa lelahnya mengurus anak yang mengalami autisme ini maka raut wajah mbak Yani sedikit lebih tua. Kadang saya melihat rauh wajah kesedihan yang dalam. Sebagai ibu seperti wanita lainya, tentulah ia berharap anak sulungnya itu bisa seperti anak lainnya. Bisa sekolah meski tanpa diantar dan ditungguin. Menyekolahkan anak penyandang disabilitas, khususnya tuna grahita dan autis, seperti menunggu anak-anak taman kanak-kanak. Di bulan pertama mereka bersekolah, orang tuanya selalu saja menunggui hingga saat pula tiba.
Ia tak pernah mengeluh, meskipun aku yakin tidak ada orang tua yang tidak mengeluh. Memiliki anak-anak normal saja masih sempat mengeluh, apalagi memiliki anak yang memiliki kekurangan ini. Kami menyebut anak yang istimewa, lantaran dengan kondisi yang dialami, orang tua tertantang bisa menghadapi segala macam hujatan, cibiran, dan hinaan karena anaknya tidak normal. Kadang mereka dianggap pembawa sial, yang tak layak untuk diajak bergaul. Selalu saja mendapatkan stempel buruk.
“Kirain tak jualan mbak.” “Soalnya kemarin tidak ada. Padahal yang membeli sudah mengantri loh.”
“Nggak, Pak.” Kemarin Ina sakit, jadi harus berobat dulu ke dokter.”
“Sudah diobatin belum mbak?
“Sudah.” Jawab mbak Yani singkat.
“Perubahan kondisinya?”
“Alhamdulillah lumayan bagus. Lah itu, Ina sudah bisa sekolah.”
“Oh, iya. Saya malah belum melihat Ina sedari tadi. Ternyata sudah sembuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”