Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perlukah Demokrasi dan Jajak Pendapat Model Barat Direformasi?

7 September 2020   18:04 Diperbarui: 8 September 2020   09:18 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medium.com/equal-citizens

Pemikiran yang berorientasi pada rakyat adalah perwujudan nyata dari demokrasi. Ini jauh lebih tegas dan kuat dari pada khotbah demokrasi yang kosong.

Selama ada kemungkinan dimanipulasinya jajak pendapat hingga pemilihan umum, kita harus memberi tanda tanya besar padanya.

Ketika peneliti mengamati masyarakat Barat, mereka menemukan konsep umum dalam jajak pendapat. Masyarakat Barat menggunakannya untuk membentuk citra sosial mereka sendiri, dan pada saat yang sama menggunakannya untuk memperebutkan hak berbicara internasional.

Tapi bisakah kita benar-benar mencerminkan masalah sosial itu melalui jajak pendapat? Apa yang bisa kita lihat melalui jajak pendapat?

Ada banyak peneliti dan pakar yang mengatakan telah terjadi kemerosotan model demokrasi Barat merupakan fakta yang tak terbantahkan, ada juga sebagian politisi Barat yang ingin mengembalikan kemerosotan demokrasi Barat.

Pada 2017, mantan PM Denmark Anders Fogh Rasmussen  dan beberapa politisi lainnya memulai dan membentuk koalisi yang disebut Liga/Aliansi Demokrasi (Democracies League).

Sejak 2018, KTT Liga Demokrasi Kopenhagen telah diadakan di ibu kota Denmark setiap tahun, dan pada bulan Juni mereka mengadakan KTT serupa lainnya.

Rasmussen, penyelenggara konferensi, mengatakan dengan terus terang bahwa demokrasi harus bersatu melawan Tiongkok.

Dia mengundang Pompeo, Menlu AS, Pemimpim Taiwan Tsai Ing-wen, dan elemen "prokemerdekaan Hong Kong" Huang Zifeng untuk memberikan pidato via video.

Tetapi dengan kegagalan AS dan negara-negara Barat besar lainnya dalam perang melawan panddemi kali ini, model demokrasi Barat juga dipertanyakan secara luas di Barat.

Ketika peneliti menganalisis cacat genetik dari sistem demokrasi Barat, pertama-tama, ini mengandaikan bahwa orang itu rasionalis. Faktanya, keterlibatan uang, keterlibatan media sosial baru, dll. Semuanya menjadi kemewahan untuk tetap rasional. 

Dalam melawan pandemi kali ini pun telah menimbulkan begitu banyak argumen irasional, bahkan hanya untuk masalah memakai masker saja banyak orang Barat hanya berbicara tentang kebebasan dan hak, bukan kewajiban, akibatnya adalah bencana.

Prosedur dianggap mahakuasa. Selama programnya benar, semuanya benar.

Trump terpilih oleh sistem American Electoral College, yang merupakan produk dari revolusi pra-revolusi industri. Total suara Trump lebih rendah dari lawan-lawannya. Tapi dia menang.

Dalam sistem demokrasi yang ada sekarang kekuatan kapital itu menentukan. Perbandingan internasional tentang perang melawan pandemi ini telah memberi kita pengalaman paling bergarga tentang bagaimana mempengaruhi pencegahan dan pengendalian pandemi di negara-negara Barat. Kepentingan modal dan bisnis selalu lebih tinggi daripada nyawa manusia.

Para peneliti dunia luar sangat meragukan tentang "Keamanan Kesehatan Global 2019 dari Universitas Johns Hopkins" dalam program ini, pemeringkatan indeks peringkat, AS, Inggris, Belanda dan negara-negara lain berada di tempat pertama dan ketiga, dan Tiongkok di tempat ke-51. Tetapi kali ini ketika dunia sedang melawan pandemi, negara-negara Barat yang  berada di peringkat pertama ternyata kelihatanlah bentuk aslinya, semuanya kedodoran.

Jadi peringkat ini seolah suatu lelucon internasional. Maka ada lagi lelucon peringkat internasional lainnya, yaitu pemeringkatan yang menitikberatkan pada status demokrasi seperti yang selama ini kita ketahui, dasar-dasar dari arus utama di Barat suka menggunakan demokrasi dan otokrasi, paradigma ini untuk menganalisis seluruh dunia.

Demokrasi itu baik, otokrasi itu buruk. Demokrasi didefinisikan oleh Barat dan pada dasarnya merupakan sistem multi partai ditambah satu suara.

Untuk tujuan ini, majalah "The Economist" Inggris, yang lembaga pemikirnya disebut EIU, telah meluncurkan Indeks Demokrasi Dunia setiap tahun sejak 2006 untuk menilai status demokrasi suatu negara.

Indeks Demokrasi adalah indeks yang disusun oleh Economist Intelligence Unit (EIU), sebuah perusahaan yang berbasis di Inggris. Ini bermaksud untuk mengukur keadaan demokrasi di 167 negara, yang 166 adalah negara berdaulat dan 164 adalah negara anggota PBB. Indeks ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2006, dengan pembaruan untuk tahun 2008, 2010, dan tahun-tahun berikutnya.

Pada pemeringkatan 2019, Tiongkok berada di peringkat 153 di antara 167 negara yang di peringkatkan, di belakang negara-negara Afrika seperti Kamerun, Sudan, dan Djibouti.

Sumber: The Economist
Sumber: The Economist
Indeks demokrasi ini mendapat kecaman di kancah internasional, salah satu kendala utamanya adalah beroperasinya kotak hitam.

Pendekatannya adalah dengan mendaftar 60 pertanyaan dan mengundang apa yang disebut para ahli untuk menilai. Namun penyelenggara ini tidak pernah mengumumkan latar belakang, profesional, internasional, dll dari para ahli teresebut, dan belum mengumumkannya.

Dengan kata lain, metode pemeringkatan itu sendiri tidak demokratis dan tidak ada transparansi sama sekali.

Jadi, setelah wabah pneumonia mahkota baru atau Covid-19, elit arus utama Barat pada awalnya percaya bahwa sistem demokrasi mereka akan mampu menangani pandemi ini lebih baik daripada "sistem otoriter" yang mereka lihat, tetapi mereka terkejut dengan kenyataan yang ada.

Sangat menarik bahwa Rasmussen mendirikan "Rasmussen Global" di bawah "Aliansi Demokratik" yang disebut Rasmussen Global dan menugaskan sebuah organisasi Jerman bernama Dalia Research untuk melakukan jajak pendapat. 

Beberapa peneliti juga ingin mengetahui apakah mereka juga akan merasakan seperti "The Economist" Majalah tersebut menderita dilema peringkat, kali ini mereka menggunakan metode yang disebut jajak pendapat Internet untuk melakukan survei secara anonim.

Ini mungkin jajak pendapat demokratis berskala besar pertama setelah wabah Covid-19. Mereka menanyakan orang-orang biasa di 53 negara, bukan pendapat para ahli.

Kemudian hasilnya agak berbeda dengan pemeringkatan ahli EIU dari The Economist, banyak isinya yang sangat mencerahkan dan membantu kita untuk memikirkan masalah demokrasi dan membandingkan demokrasi model Tiongkok dan Barat.

Sumber: daliareserach.com
Sumber: daliareserach.com
Berdasarkan jajak pendapat ini, belum lama ini Dalida Institute mempublikasikan "Indeks Persepsi Demokrasi/ Democracy Perception Index" mereka di situsnya. Laporan ini mengusulkan sebuah konsep yang disebut "defisit demokrasi yang dirasakan (perceived democratic  deficit) atau disebut "Defisit Demokrasi".

Indeks Persepsi Demokrasi (DPI) adalah studi tahunan terbesar di dunia tentang demokrasi, yang dilakukan oleh Dalia Research bekerja sama dengan Aliansi Demokrasi, untuk memantau sikap terhadap demokrasi dari seluruh dunia. 

Edisi 2020 menawarkan perbandingan unik opini publik global selama krisis COVID-19. Hasilnya didasarkan pada wawancara perwakilan nasional dengan 124.000 responden dari 53 negara yang dilakukan antara 20 April dan 3 Juni 2020.

Untuk menangkap ketidakpuasan terhadap keadaan demokrasi di mata publik, studi ini mengukur perbedaan antara seberapa penting orang berpikir tentang demokrasi dan seberapa demokratis menurut mereka negara mereka. 

Kesenjangan ini, dinamai Defisit Demokrasi yang Dipersepsikan, menunjukkan seberapa besar pemerintah memenuhi harapan warganya. Semakin besar gap tersebut, semakin besar pula defisit demokrasi di mata publik.

Sama halnya dengan hasil tahun 2019, studi tahun 2020 menunjukkan bahwa semua negara memiliki celah yang demikian, artinya tidak ada negara yang disurvei yang menurut masyarakatnya tingkat demokrasi yang mereka miliki berindex tinggi atau lebih tinggi dari yang mereka anggap penting. Dengan kata lain, studi tersebut menemukan bahwa tidak ada pemerintah yang memenuhi harapan demokratis warganya.

Negara dengan celah terkecil sekarang adalah Taiwan, Filipina, Swiss, Denmark, dan Arab Saudi. Negara-negara yang dianggap memiliki defisit demokrasi terbesar, yang berarti pemerintah yang paling tidak memenuhi harapan demokrasi warganya adalah Venezuela, Polandia, Hongaria, Ukraina, dan Nigeria.

Chili menonjol sebagai negara yang mengalami peningkatan terbesar dalam Perceived Democratic Deficit dari 2019 hingga 2020, dengan peningkatan 9 poin.

Dalam jajak pendapat ini diajukan 2 pertanyaan, "apakah demokrasi penting bagi Anda atau tidak?" dengan asumsi bahwa seratus orang menjawab bahwa demokrasi itu sangat penting.

Pertanyaan lainnya adalah "Apakah menurut Anda negara Anda adalah negara demokrasi?" Jika hanya 80% dari 100 orang yang menjawab ya, maka defisit negara demokrasi ini adalah 100% dikurangi 80% = 20%.

Jadi, lebih dari 50% orang di hampir semua negara percaya bahwa demokrasi itu sangat penting. Namun secara komparatif, Jepang adalah yang terendah, dan hanya 60% orang yang menganggap demokrasi itu penting.

Jika Jepang dianggap sebagai negara demokrasi model Barat, maka itu adalah bagian terbawah dari demokrasi Barat. Dan hanya 46% orang Jepang yang percaya bahwa Jepang adalah negara demokrasi, sehingga Jepang mengalami defisit demokrasi sebesar 14% (60% - 46%).

Situasi di AS juga sangat menarik, 73% orang menganggap demokrasi itu penting, tetapi hanya 49% yang menganggap AS adalah negara demokratis. Defisit demokrasi adalah 24% (73% -49%).

Di Tiongkok sebanyak 84% orang Tiongkok menganggap demokrasi itu penting. Sementara itu, sebanyak 73% masyarakat percaya bahwa Tiongkok adalah negara demokrasi, dengan defisit demokrasi 11% (84% -73%). Jauh lebih rendah dari AS dan Jepang.

Selain itu masih ada pertanyaan besar "Apakah menurut Anda negara Anda adalah negara demokratis?" Di antara 53 negara dan kawasan yang disurvei, Tiongkok menempati peringkat ke-6 dan AS peringkat 38. 

Hanya 49% orang Amerika yang menganggap AS adalah negara demokratis dan Jepang peringkat No. 40, hanya 46% masyarakat yang percaya bahwa Jepang adalah negara demokrasi, negara dan kawasan terbawah, diikuti oleh Venezuela, Iran, Hongaria, dll.

Seperti yang disebutkan sebelumnya di majalah "Economist", Norwegia menempati urutan pertama dalam demokrasi, yang berarti bahwa Norwegia adalah negara paling demokratis di dunia dalam apa yang disebut oleh pakar di majalah ini.

Namun dalam survei Dalia Institute, hanya 71% orang Norwegia yang menganggap negaranya sebagai negara demokratis.

Dan di Tiongkok 73% orang menganggap Tiongkjok adalah negara demokratis, yang berarti orang Tiongkok menganggap Tiongkok adalah negara demokratis lebih tinggi daripada orang Norwegia yang berpikir bahwa negara mereka adalah negara demokratis. Rasio ini, jadi hasil jajak pendapat sangat berbeda dari apa yang dibayangkan elit Barat dan publik Tiongkok secara umum.

Jadi apa penyebab dari perbedaan di atas ini, para peneliti pikir penyebab ini ada beberapa alasan.

Pertama, karena jajak pendapat ini ditujukan kepada orang biasa, bukan kepada apa yang disebut ahli.

Kedua, pertanyaan yang diajukan dalam jajak pendapat ini lebih dekat dengan pemahaman Tiongkok tentang demokrasi, yaitu pemerintah harus melayani rakyat. Jajak pendapat ini mengajukan beberapa pertanyaan yang berbeda dari jajak pendapat sebelumnya.

Misalnya, pertanyaannya adalah "Apakah menurut Anda pemerintah negara Anda hanya melayani kepentingan segelintir orang?" Di Amerika Serikat, 52% orang berpikir bahwa "pemerintah mereka hanya melayani kepentingan sebagian kecil dari mereka", sedangkan proporsi ini jutru hanya 13% di Tiongkok.

Dengan kata lain, sebagian besar orang Tiongkok percaya bahwa pemerintah Tiongkok adalah pemerintahan untuk kepentingan mayoritas, sedangkan mayoritas di AS percaya bahwa pemerintahan AS adalah untuk kepentingan minoritas.

Persoalan apakah pemerintah melayani mayoritas, tiga teratas adalah tiga negara Asia, Tiongkok, Vietnam dan Singapura.

Pertanyaan lainnya adalah "Apakah menurut Anda para pemimpin bisnis dan CEO di negara Anda hanya melayani kepentingan segelintir orang?"

Di AS, 66% percaya bahwa pemimpin bisnis hanya melayani kepentingan segelintir orang, sedangkan di Tiongkok hanya 21% yang percaya bahwa pemimpin bisnis hanya melayani kepentingan segelintir orang.

Pertanyaan lainnya adalah "Bagaimana Anda menilai kinerja pemerintah Anda dalam perang melawan pandemi ini?"

Orang-orang Tiongkok memiliki penilaian tertinggi atas kinerja anti-pandemi pemerintah mereka, dengan 95% memiliki sikap positif.

Di antara negara-negara yang berpartisipasi dalam survei, hasilnya membuktikan bahwa sebagian besar orang Tiongkok memandang demokrasi dengan menanyakan apakah pemerintah dapat melayani rakyat, daripada sistem multi partai dan sistem hak pilih universal, mereka mengartikan bahwa orang Tiongkok adalah demokrasi yang lebih substantif dan peduli pada tujuan demokrasi, yaitu, tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang baik, daripada demokrasi formal yang mewah dari Barat.

Selain itu, target polling ini adalah masyarakat biasa atau netizen, bukan para ahli dan scholar. Dengan cara ini, dapat dikatakan hasil seperti ini sangat alami.

Selain itu, jajak pendapat ini juga menemukan bahwa preferensi publik Tiongkok terhadap AS telah turun 42% dari tahun lalu, penurunan tercepat di antara semua negara.

Harus dikatakan bahwa itu mencerminkan perang perdagangan, perang teknologi, perang keuangan, dan dukungan AS terhadap "pro-kemerdekaan Hong Kong" yang diluncurkan AS tahun lalu, yang membangkitkan kemarahan rakyat Tiongkok.

Orang Amerika sering mengutip jajak pendapat Amerika untuk menggambarkan perubahan sikap orang Amerika terhadap Tiongkok, namun tampaknya akhir-akhir ini Tiongkok juga berusaha melakukan jajak pendapat untuk mencerminkan perubahan opini publik Tiongkok sendiri.

Sekarang, tentu saja, survei yang dilakukan oleh lembaga pemungutan suara arus utama Barat juga harus membantu orang Amerika memahami hasil yang tak terhindarkan dari "anti-China/Tiongkok" di AS. Tapi tampaknya Tiongkok tidak ingin mendorong konfrontasi antara orang-orang Tiongkok dan Amerika.

Yang Tiongkok inginkan adalah memahami dengan akurat opini publik negara lain, menganalisis alasan perubahannya. Selalu mencoba untuk menemukan cara untuk meningkatkan saling pengertian. Demikian menurut pakar dan pihak yang berkaitan di Tiongkok.

Menteri Luar Negeri AS Pompeo baru-baru ini menyampaikan pidato "anti-Tiongkok dan anti-komunis" di Perpustakaan Nixon. Dia ingin memperjuangkan koalisi internasional "anti-Tiongkok dan anti-komunis". Banyak orang yang berwawasan di AS percaya bahwa dia tidak bijaksana untuk melakukannya.

Misalnya, Russell, mantan Menlu AS, menyatakan bahwa kecaman pemerintah AS terhadap PKT memiliki efek sebaliknya, justru meningkatkan dukungan untuk Xi Jinping di Tiongkok dan memperdalam kemarahan orang Tiongkok terhadap AS.

University of California, San Diego, belum lama ini, melakukan beberapa jajak pendapat tentang Tiongkok untuk membuktikan hal ini, dengan mengatakan bahwa dukungan rakyat Tiongkok untuk pemerintahnya telah meningkat selama setahun terakhir. 

Jika Anda mendapatkan skor penuh 10, maka rakyat Tiongkok Tingkat kepercayaan kepada pemerintah pusat meningkat dari 8,23 pada Juni 2019 menjadi 8,65 pada Februari 2020, kemudian menjadi 8,87 pada Mei 2020.

Dari survei tersebut juga ditemukan bahwa kaum muda dan orang-orang dengan pendidikan tinggi yang semula memiliki kepercayaan yang relatif rendah kepada pemerintah telah sangat meningkatkan dukungannya terhadap pemerintah kali ini.

Ini mengingatkan pada banyaknya penelitian empiris yang dilakukan oleh almarhum sarjana politik AS keturunan Tionghoa Shi Tianjian tentang masalah demokrasi Tiongkok. Shi Tianjian telah berada di banyak bagian di Tiongkok sejak 1980-an. Jajak pendapat terbesar dilakukan pada tahun 2002. Dia mengajukan beberapa pertanyaan.

Yang pertama adalah bahwa "demokrasi lebih baik daripada sistem politik lainnya."

Yang kedua adalah "Dalam beberapa kasus, pemerintahan otoriter lebih baik daripada pemerintahan demokratis"

Yang ketiga adalah "Sistem demokrasi dan sistem otokratis sama-sama saja"

Jawabannya adalah lebih dari 80% orang berpikir bahwa sistem demokrasi lebih baik daripada sistem otokrasi.

Namun, dia membandingkan lima negara Asia dengan kawasan Taiwan Tiongkok, kawasan Hong Kong, dan identifikasi rakyat Tiongkok daratan dengan demokrasi adalah yang tertinggi.

Kemudian dia mempelajari apakah pemahaman orang Tiongkok tentang demokrasi berbeda dengan etiket Barat.

Dia merancang topik terbuka "Semua orang berbicara tentang demokrasi. Apa arti demokrasi bagi Anda?" Ternyata kurang dari 12% orang menganggap demokrasi adalah demokrasi prosedural, dan 6,3% berpendapat bahwa demokrasi itu setara dengan check and balances kediktatoran. 

Sebanyak 22,9% masyarakat percaya bahwa demokrasi mengacu pada kebebasan, sedangkan hampir 55% masyarakat percaya bahwa demokrasi berarti pemerintah selalu memperhatikan kepentingan rakyat dalam mengambil keputusan, meminta dan mendengarkan pendapat rakyat, serta bahwa pemerintah harus melayani rakyat.

Dia meminta orang yang diwawancarai untuk memilih mana dari dua pernyataan berikut yang menurut Anda (orang Tiongkok) lebih penting.

Pernyataan pertama adalah bahwa "pemimpin partai dan negara dipilih melalui pemilihan biasa"

Kedua, "Saat membuat keputusan dengan pemimpin nasional, selalu harus pikirkan kepentingan rakyat"

Ternyata 80% responden menganggap yang terakhir lebih penting.

Berdasarkan penelitian kota yang disebutkan di atas, Shi Tianjian memberikan dua kesimpulan.

Kesimpulan pertama adalah bahwa kebanyakan orang Tiongkok menghargai demokrasi substantif lebih dari demokrasi prosedural.

Kedua, demokrasi yang dipahami sebagian besar orang Tiongkok bukanlah bentuk demokrasi seperti demokrasi pemilu dan sistem multi partai, melainkan demokrasi yang berorientasi kerakyatan dengan lebih banyak tradisi budaya Konghucu, yakni pemerintah harus memikirkan rakyat, mendengarkan pendapat rakyat, dan berbuat melayani rakyat atau berbhakti kepada rakyat.

Menurut penelitian Zhang Weiwei dari Universitas Fudan, tentang isu-isu demokrasi, dia lebih jauh merujuk pada model demokrasi Tiongkok sebagai "model demokrasi nasionalis Tiongkok/Chinese citizen-based model" atau disingkat "Model Nasionalis Tiongkok".

Dibandingkan dengan "model demokrasi Barat", menurut Zhang "model berbasis warga negara Tiongkok/Model Nasionalis Tiongkok" sebenarnya adalah hukum yang mengatur sangat mendalam, yaitu, apa pun sistem politik yang Anda adopsi, apakah itu sistem multi-partai atau sistem satu partai, atau bahkan tanpa ada sistem kepartaian, sejak nenek moyang Tiongkok dulu harus melaksanakan kebijakan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Perbaikan demokrasi semacam ini mencakup perbaikan material dan non-material.

Jika terjadi persaingan antara "model demokrasi Barat" dan "model penghidupan rakyat Tiongkok", maka kesimpulan awal Zhang Weiwei adalah bahwa model Tiongkok telah memenangkan dengan wacana demokrasi Barat saat ini, dan bahkan tampaknya masih memiliki wacana dan keunggulan moral tertentu.

Tetapi bagi sebagian besar orang di dunia, pemikiran yang berorientasi pada rakyat adalah manifestasi nyata dari demokrasi, dan jauh lebih tegas dan kuat daripada dakwah demokrasi yang kosong.

Model ini memungkinkan kekuatan politik, kekuatan sosial, dan kekuatan modal dalam pengaturan kelembagaan Tiongkok untuk membentuk keseimbangan yang kondusif bagi kepentingan sebagian besar orang. 

Model tata kelola ini telah memungkinkan Tiongkok untuk menciptakan sistem yang mencakup pencegahan dan pengendalian pandemi Covid-19. 

Prestasi bersejarah telah memungkinkan Tiongkok untuk menghilangkan kemiskinan paling besar dalam sejarah manusia dan memungkinkan Tiongkok untuk menciptakan kelas menengah terbesar di dunia.

Semua ini menurut Zhang telah membawa guncangan kuat bagi dunia luar, menurut dia "model berbasis nasionalis Tiongkok" tidak hanya sejalan dengan warisan sejarah Tiongkok sendiri, tetapi juga merupakan kristalisasi inovasi kelembagaan dan kebijaksanaan rakyat Tiongkok.

Dia percaya bahwa sejarah harus berpihak pada "model berbasis warga negaranya." Dunia kemungkinan besar akan bergerak ke arah yang berorientasi pada rakyat, dan sistem demokrasi Barat juga harus berkembang ke arah ini. 

Ini benar-benar yang disebut tren dunia, yang sangat perkasa, mereka yang mengikuti akan makmur, dan mereka yang menentang akan runtuh.

Sistem Demokrasi Barat Memiliki Banyak Masalah

democraziapura.altervista.org
democraziapura.altervista.org
Sistem demokrasi barat memang memiliki banyak masalah, dalam bukunya yang terkenal "The End of History and the Last Man (1992)", cendikawan Amerika, Francis Fukuyama, menggambarkan sistem yang dipilih secara demokratis di Barat sebagai kecenderungan menuju kesatuan akhir dari formasi politik manusia.

Tapi menurut beberapa pakar, yang tidak pernah dia sebutkan adalah satu hal, apa itu? Sama seperti pemungutan suara dari sistem yang dipilih secara demokratis, ada kelemahan penting, yaitu "kemungkinannya untuk dapat dimanipulasi", Manipulasi dari sistem terpilih sama dengan kemungkin dimanipulasinya jajak pendapat.

Ini adalah rahasia utama dari sistem pemilihan demokratis Barat. Manipulasi pemilihan demokratis terletak pada kognisi antara pemilih, terpilih dan petahana, perantara yang tidak dapat dihindari. Perantara ini adalah media.

Saat ini, media massa menjadi sarana yang lebih penting bagi pemilih untuk mengenal caleg. Kalau rapat umum pemilu bisa dihadiri ribuan orang, puluhan ribu orang. Namun, pidato kampanye TV sering ditonton jutaan orang, sehingga media massa telah memainkan peran yang semakin penting dalam sistem pemilu model Barat saat ini.

Ketika pemilih harus mengetahui kandidat melalui media massa, maka media massa memiliki "kebebasan" untuk secara sengaja menampilkan dan menggambarkan tentang kandidat.

Misalnya, dalam pemilihan populer terakhir, media massa Prancis mengatakan bahwa kandidat Macron digambarkannya sebagai "bukan dari kiri atau kanan." Tidak ada yang bisa mempertanyakan kapan dia bisa menyatukan mayoritas pemilih Prancis. 

Rakyat Prancis banyak yang tidak mengenal politisi ini, sebelumnya dia hanya seorang menteri keuangan. Tidak ada yang tahu siapa Macron. Di Prancis, hingga saat ini bisa dikatakan siapa pun yang didukung media bisa terpilih.

Jadi, bagaimana media dengan sengaja menggambarkan kandidat tersebut dalam benaknya? Untuk ini, ada seorang wartawan peneliti yang memiliki pengalaman pribadi untuk diceritakan kepada semua orang.

Sumber : Capital.fr
Sumber : Capital.fr
Pada pilpres Prancis 2012, TV5 Monde, sebuah stasiun televisi internasional Prancis, mengundang sekelompok koresponden asing yang berbasis di Prancis untuk mewawancarai calon presiden Prancis. Mereka juga mengundang peneliti ini untuk mewawancarai seorang kandidat bernama Jacque Cheminade.

Di sini peneliti ini ingin menyampaikan beberapa patah kata untuk menjelaskan bahwa di Prancis sulit untuk menjadi seorang calon presiden yang formal, karena tanpa dukungan tanda tangan dari 500 pejabat terpilih atau anggota parlemen, bakal calon (balon) tidak dapat menjadi calon presiden resmi.

Jacque Cheminade telah digambarkan di media Prancis sebagai calon presiden yang "ekstrim kanan". Namun, ketika peneliti ini menghubungi Cheminade, dia menemukan bahwa sebenarnya dia itu adalah seorang sentris (tengah), bahkan bisa dikatakan politisi sayap kiri.

Peneliti ini melihatnya dia adalah calon yang bagus. Disini peneliti ini ingin mengoreksi kesan salah yang diberikan media Prancis kepadanya. Peneliti ini ingin memulihkan kebenaran. 

Akibatnya, ketika peneliti ini mewawancarainya sekitar empat puluh hingga lima puluh menit. Peneliti ini tidak menyangka wawancara ini akan diedit dalam sepuluh menit terakhir. 

Di antara mereka, peneliti menemukan bahwa Cheminade yang peneliti wawancarai juga seperti orang gila, artinya ketika media ingin dengan sengaja menggambarkan dia sebagai politisi "ekstrim kanan",  pemirsa bisa merasa seperti itu melalui editing.

Akibatnya, Cheminade memperoleh tingkat suara terendah di antara pemilih Prancis, sangat rendah, hanya nol sekian persen.

Namun, dia mampu membujuk lima ratus petugas pemilu untuk datang secara langsung dan membujuk mereka agar memberikan suara dari mereka selama wawancara tatap muka.

Peran media sangat menentukan dalam hal ini, karena pemilih tidak memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan para kandidat, mereka hanya bisa mempercayai media. Karenanya, media bisa memanipulasi suara untuk diberikan ke tangan pemilih dengan mendeskripsikan calon presiden sekehendak mereka.

Masalahnya timbul, siapa yang mengontrol atau menguasai media itu? Biasanya tidak lain adalah dikontrol oleh kekuatan pemilik modal.

Sebagian besar media Prancis dikendalikan oleh individu swasta, dan hanya sebagian kecil yang dikendalikan oleh negara.

Prancis, ketika itu ada tiga kekuatan nyata, bukan yudikatif, legislatif, dan eksekutif, tetapi pemilik modal, kekuatan politik, dan media.

Di satu sisi, pemilik modal mengontrol kekuatan politik dengan mendanai partai politik dan politisi; di sisi lain, menggunakan media untuk memilih komposisi rezim dan media untuk memilih calon pemilu. 

Kemudian kita memahami bahwa modal mengontrol sistem yang dipilih secara demokratis. Jajak pendapat kekuasaan terakhir, demikian pula dengan pemungutan suara lebih dikendalikan langsung oleh pemilik modal daripada pemilih.

Jajak Pendapat Dengan Survei Online Anonim

Mengapa jajak pendapat yang disebutkan di atas bisa menunjukkan peringkat demokrasi Tiongkok yang demikian, karena itu adalah survei online anonim pada saat itu.

Kemampuan pengendalian survei demikian ini relatif lemah. Dengan cara ini, jelas menguntungkan bagi Tiongkok, tetapi di mata para ahli Barat jajak pendapat semacam itu tidak cukup representatif. 

Mengapa? Karena tidak mengalokasikan, menyelidiki, dan meneliti faktor-faktor yang menentukan arah perolehan suara para pemilih tersebut, seperti usia, jenis kelamin, status sosial, kecenderungan tendensinya, pendapatan ekonomi, dan sebagainya.

Oleh karena itu, survei online anonim sampai batas tertentu dalam masyarakat ditolak oleh para ahli Barat.

Namun, masalahnya adalah bahwa ketika pemungutan suara menangani elemen-elemen yang disebut di atas, pemungutan suara diam-diam meluncur ke arah kemampuan manuver. 

Ini karena dalam pemilihan subjek survei, pertanyaan yang diajukan dalam polling, koreksi wajar dari jawaban yang diperoleh, dan seterusnya, semua bidang dapat dikontrol atau diatur.

Di Prancis, karena secara politis tidak benar bagi orang-orang untuk memilih ekstrim kanan, mereka lebih suka membuat kebohongan, mengatakan kepada lembaga survei bahwa mereka tidak akan memilih. Namun nyatanya, dia akan memilih ekstrim kanan. Dan survei nasional Prancis, jajak pendapat politik seringkali membuat kesalahan terbesar di bidang ini.

Pada tahun 2002, terjadi kesalahan pemungutan suara politik paling serius di Prancis. Pada saat itu, semua jajak pendapat publik percaya bahwa putaran kedua pemilihan presiden Prancis akan dilakukan antara Chirac sayap kanan tradisional dan Jos Fan dari sayap kiri tradisional. 

Jean-Marie Le Pen dari sayap kanan mengalahkan Jos Fan dari Partai Sosialis sayap kiri dan memasuki putaran kedua pemilihan presiden Prancis.

Ini menunjukkan bahwa kemungkinan manipulasi jajak pendapat sangat serius. Oleh karena itu, selama ada kemungkinan manipulasi dari pemilihan hingga pemilihan umum, menjadi suatu pertanyaan besar.

Oleh karena itu, sistem terpilih secara demokratis merupakan sistem yang perlu kita kaji secara mendalam, hanya mereka yang benar-benar memahaminya yang dapat benar-benar melihat dan memahami bagaimana sistem terpilih secara demokratis, survei opini publik, pro dan kontranya bekerja.

Seperti jajak pendapat mereka yang sangat sederhana untuk diinvestasikan dalam modal untuk melakukan penyelidikan, sangat jelas dalam pemilu, siapa yang berani membayar dalam pemilu, siapa yang membayar lebih banyak, semakin besar peluang siapa yang terpilih.

Uang memainkan peran yang sangat penting dalam hal ini, dan ini persis sama dalam jajak pendapat. Hal utama yang membayar banyak uang adalah harus menempati posisi yang sangat menguntungkan.

Salah satunya adalah Rasmussen. Mereka ingin memahami dalam banyak hal apa yang salah dengan demokrasi Barat. Mungkin mencoba jajak pendapat yang berbeda. 

Jajak pendapat ini berulang kali menekankan bahwa itu adalah Indeks Persepsi, yang merupakan kognisi. Anda merasa kompeten. Itu hanya sebagian kecil dari jajak pendapat profesional Barat.

Di Barat, kita harus memahami bahwa di masa lalu, sistem politik Barat terbagi menjadi sayap kiri dan sayap kiri.

Tampaknya sayap kiri melambangkan tenaga kerja, dan sayap kanan melambangkan kekuatan modal. Faktanya, alasan mengapa kita menjadi semakin kabur tentang masyarakat Barat saat ini adalah karena batasannya telah terpatahkan. Kontradiksi nyata di Barat saat ini telah tercipta.

Apakah kita dapat memahami evolusi ini adalah dasar penting untuk memahami masyarakat Barat. Saat ini, jajak pendapat telah berubah di bawah latar belakang seperti itu.

Di masa lalu, kapital bersatu, kapital finansial dan kapital industri memiliki kepentingan yang sama, kapitalnya dipecah secara internal, dan kepentingan sebagian kapitalnya, kapital industri, tiba-tiba menjadi konsisten dengan kaum proletar.

Kemudian, jika ditelusuri kali ini, jumlah suara dari kapital industri meningkat. Oleh karena itu, untuk memahami Barat, kita perlu memahami jajak pendapat yang dangkal, tokoh-tokoh pemungutan suara ini dan sebagainya, dan kita juga perlu memahami perubahan kekuasaan mereka di bawah kondisi latar belakang sejarah yang baru ini.

Ya, ada bayangan kekuatan modal di belakangnya, dan kita akan melihat bahwa kekuatan modal yang berbeda akan menyimpang dan bergabung dalam masalah yang berbeda.

Selain itu, perbedaan dan pertemuan mereka tidak terpancang, setelah topik baru diubah, perbedaan dan pertemuan ini dapat terjadi lagi. Inilah kompleksitas politik Barat. Kita perlu teliti mengamatinya.

Pada 2016, jajak pendapat dunia adalah yang terburuk, terutama jajak pendapat di AS.  Alasan utamanya adalah lembaga pemungutan suara utama di AS yang masih elitisme dan profesionalisme.

Elitisme adalah bahwa wawancara ini terutama mewawancarai kelas menengah di kota, terutama orang perkotaan, bukan "leher merah" (kaum bawah).

Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentang profesionalisme, itu harus, misalnya rasio laki-laki dan perempuan, rasio usia, rasio afiliasi partai, rasio pekerjaan, dan rasio properti.

Jadi, sangat perlu untuk memperbarui jajak pendapat Internet. Itu dilakukan dengan jajak pendapat kuesioner dan jajak pendapat telepon. Ternyata penelitian itu menarik terakhir kali. 

Ketika mengontak pemungutan suara dan kita menelepon orang ini. Ketika dia berbicara dengan tilpon atau internet dan berbicara kepada kita secara langsung. Jajak pendapat online berbeda ketika menanyakan pendapat orang ini. Perbedaannya menurut penelitian bisa tiga persen.

Mana yang lebih bisa diandalkan? Ini adalah pertanyaan terbuka, tetapi berbeda. Mengapa? Karena ketika dia berbicara di telepon dengan kita, dia lebih cenderung mengatakan sesuatu yang benar secara politis.

Dia toh tidak bisa bertemu secara online, dan secara anonim dia bisa mengatakan banyak hal yang benar untuk masalah Politik.

Jadi ini adalah ujian dari polling itu sendiri, jadi jika Anda elitis dan profesional. Perlu adanya pemahaman terbaru untuk melihat semua jajak pendapat profesional di AS, kita bisa melihat bahwa Trump seharusnya tidak bisa menang pada pilpres yang akan datang ini.

Tapi jika ternyata Trump menang. Kita perlu melihat indeks mana yang akurat pada bulan November. Tapi itu membuktikan bahwa, secara tegas, prediksi yang akurat tidak begitu matang dalam hal jajak pendapat.

Maka ada beberapa pakar terkemuka AS sendiri yang menyatakan Demokrasi AS Menuju Keruntuhan dan Kematian. Untuk tulisan ini akan disambung pada postingan yang berikutnya...

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

EIU 
ABC Net
Statistics Times
Dalia Research
Reddit
Research Gate
Democraziapura.altervista

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun