Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tata Kelola Global Menurut Pandangan Tiongkok untuk Zaman Milenial dan Generasi Z

25 Oktober 2017   08:58 Diperbarui: 25 Oktober 2017   09:17 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.voaindonesia.com

Dengan sedang berlangsungnya Kongres Nasional CPC Tiongkok yang ke-19 dan yang berakhir pada hari ini 24 Okterber 2017, sorotan banyak analis dunia diarahkan ke Tiongkok. Disini penulis mencoba untuk mengemukakan pandangan dari analis-analis pemerhatikan perkembangan Tiongkok dan dunia.

Pesan Xi dalam Kongres tesebut antara lain mengatakan: Tiongkok yang makmur dan stabil akan sangat bermanfaat bagi kawasan ini dan dunia pada umumnya.

Laporan Xi Jinping selama tiga setengah jam telah mengirim sinyal kuat komitmen Tiongkok untuk membuka ekonomi, sistem jaminan sosial yang lebih baik, perlindungan lingkungan yang ditingkatkan dan sebuah komunitas yang memiliki masa depan bersama bagi umat manusia.

Harapan Tokoh Perdamaian Dunia

Sumber: www.voaindonesia.com
Sumber: www.voaindonesia.com

Pada tahun 1990, politisi Jerman Willy Brandt mengusulkan "tata kelola global. "Tujuannya berharap untuk bisa mau mengakui nilai-nilai global secara umum, agar dunia bisa menghindari konflik dan perang dengan menggunakan "hukum untuk mengatur dunia" seperti yang sekarang digunakan negara-negara dalam  mengatur negaranya dengan "hukum untuk mengelola negara."

Namun, puluhan tahun telah berlalu dan globalisasi telah meningkat, namun laju tata kelola global belum maju. Pada tahun lalu, orang-orang kecewa melihat Timur Tengah masih kacau, seringnya terjadi bencana, krisis pengungsi semakin dalam, populisme terus makin besar kepala dan ekonomi global pulihnya juga sangat pelan.

Ucapan dan tindakan Presiden AS Donald Trump yang baru tampaknya cenderung melakukan perdagangan proteksionisme. Jadi, hal apa yang membuat sulit tentang tata kelola global dalam menghadapi masalah untung-rugi. Lalu apa yang diusulkan oleh Tiongkok?

Tiongkok Sangat Menghargai Forum Davos.

Saat lawatan ke luar negeri Presiden Tiongkok Xi Jinping pada permulaan tahun ini, negara pertama yang dikunjungi adalah Swiss. Kunjungan kenegaraan ini untuk menghadiri Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2017. Ini menjadi pimpinan nasional pertama Tiongkok yang menghadiri Davos Forum.

Banyak orang dunia tidak yakin atau memiliki kepercayaan terhadap arah ekonomi global akan berkembang. Sehingga bagi sebagian analis, kontribusi terbesar yang dilakukan Xi Jinping terhadap Davos mengekspresikan kepercayaan diri Tiongkok kepada masyarakat internasional.

Pada 17 Januari 2017, Xi Jinping menekankan pada Forum Ekonomi Dunia bahwa Tiongkok harus secara tegas berkomitmen untuk mempromosikan globalisasi, memimpin globalisasi ekonomi ke arah yang lebih baik, menciptakan model pertumbuhan yang penuh vitalitas, terbuka, saling-menguntungkan, model tata kelola yang adil dan rasional, dan model pembangunan yang seimbang dan umum, untuk secara mantap mewujudkan kesadaran akan bernasib bersama, mengambil tanggung jawab bersama, bersama-sama mendorong untuk pertumbuhan global.

Peter Mourer, Presiden Palang Merah Internasional mengatakan: Apa yang saya suka dengan pidato Presiden Tiongkok adalah bahwa dia mengklaim bahwa kita seharusnya tidak melawan globalisasi, dan harus memiliki ilusi yang harus dapat kita kendalikan, kita harus bisa mengelola, kita harus bisa bertanggung jawab untuk mencoba mencari solusi untuk masalah global tersebut. Dan menentang globalisasi akan sia-sia.  Kedua yang membuat saya bangga dan senang dengan mendengar dari segala sudut di Davos ini pengakuan bahwa kita tidak dapat melakukannya sendirian.

Bagaimana globalisasi ekonomi bisa ditata agar bisa berkembang ke arah yang lebih baik?

Pada 18 Januari awal tahun ini, pada waktu setempat, Xi Jinping memenuhi undangan untuk mengunjungi Kantor PBB di Jenewa. Di Istana Bangsa-Bangsa, Xi Jinping memberikan keynote speech/pidato kunci berjudul "Creating a Community of Common Destiny" (Menciptakan Komunitas Bernasib Bersama) yang mengusulkan solusi Tiongkok untuk tata kelola global.

Presiden Xi Jinping menyerukan agar mempromosikan azas timbal balik dari proses besar untuk menciptakan sebuah Komunitas Umum yang Bernasib Bersama, dan bersikeras mengusulkan konsultasi melalui dialog, saling membangun dan berbagi, kerjasama, komunikasi dan pertukaran yang saling menguntungkan, dan proyek hijau dan rendah karbon, untuk membangun sebuah dunia yang terbuka, dapat diterima semua pihak, bersih dan indah dengan perdamaian abadi, keamanan umum, dan kemakmuran bersama.

"Menciptakan sebuah komunitas umum bernasib bersama untuk mencapai suasana yang saling menguntungkan dan saling berbagi" inilah yang dijadi sikap dan solusi Tiongkok.

Tiongkok kini, yang secara aktif terlibat dalam tata kelola global telah menjadi ciri unik dari diplomasi Tiongkok selama era Presiden Xi (menjabat).  Misalnya, dia mengusulkan sebuah tujuan jangka panjang dengan menciptakan sebuah komunitas umum bernasib bersama. Dan membangun bentuk baru hubungan internasional kooperasi yang saling menguntungkan, setidaknya secara moral, dia menciptakan masyarakat yang lebih baik daripada apa yang telah diciptakan Barat sebelumnya.

Dan banyak prinsip spesifik akan dimunculkan di bawah kerangka utama tata kelola global ini, seperti prinsip yang berpusat di sekitar PBB.

Setelah P.D. II berakhir, PBB lahir untuk mencegah terjadinya perang lain, namun masyarakat tidak menuju ke arah kedamaian yang abadi setelah PBB berdiri. Setelah Perang Dingin berakhir, AS menjadi dominasi, dan ketika untuk penanganan hubungan internasional, mereka selalu menganut prinsip mendahulukan kepentingannya, dan bahkan memandang PBB hanya sebagai simbol kelayakan dan keadilan, sebagai alat bagi mereka, dengan melemahkan otoritas dan efektivitas PBB dari waktu ke waktu.

Namun, setelah memasuki abad baru, dunia berkembang dalam arah yang semakin terpolarisasi, dan situasi internasional yang rumit dan berkembang cepatnya ekonomi global tidak hanya membuat berbagai kelompok internasional menjadi lebih baik, namun juga menunjukkan peran mereka dalam urusan global, dan mempromosikan formasi keberadaan antar ketergantungan satu sama lainnya antara negara-negara dan ekonominya. Jika ada satu anggota dirugikan maka mereka semua akan juga mengalami kerugian.

Xi Jinping mengatakan bahwa saat ini, urusan global semakin menuntut konsultasi gabungan antar negara, dan membangun mekanisme internasional, mematuhi peraturan internasional, dan mencari keadilan internasional telah menjadi konsensus di antara mayoritas negara-negara. Jadi, bagaimana tata kelola global dapat dilakukan secara efektif? Tiongkok percaya bahwa PBB bisa memainkan perannya yang sangat penting.

PBB sebagai organisasi internasional antar-pemerintah yang paling representatif dan otoritatif di dunia, yang sudah lebih dari 70 tahun sejak didirikan, telah menjadi tempat penting internasional bagi masyarakat internasional untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama, mencapai konsensus dan merumuskan kode etik.

Sebagai variabel dalam tren internasional yang sedang berkembang, dan kebingungan yang sedang meningkat, tantangan yang dihadapi oleh PBB saat ini jauh lebih rumit daripada yang dihadapi saat pertama kali didirikan. Setelah memasuki abad baru, PBB menghadapi banyak isu global dan regional, dan otoritas PBB ditantang, tapi posisi dan peran PBB saat ini sedang berkurang.

Pada 2016, konflik regional terus bertambah parah. Korut melakukan beberapa kali uji coba rudal nuklir, dan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi sanksi "paling keras, paling komprehensif" resolusi sanksi justru memperburuk permusuhan militer di Semenanjung Korea.

Pada bulan Juli, Korsel memutuskan untuk menerapkan sistem rudal THAAD, yang menyebabkan perubahan geopolitik yang mendalam.

Pada tahun 2007, masih belum ada harapan yang terlihat untuk sebuah resolusi terhadap krisis Ukraina. Saat ini, di Timur Tengah, perang terus berkenyamuk di Suriah dan Irak, sebagai konflik antara kekuatan-kekuatan militer pemerintahan yang kompleks, militan anti-pemerintah, militan Kurdi, dan kelompok ekstremis terus berlanjut.

Dibalik dua kampanye tersebut ada kompetisi dan permainan intrik antara kekuatan regional dan ekstra-regional. Dan dalam banyak isu yang masyarakat internasional sangat prihatin, banyak negara-negara yang semakin berkeliaran di luar sistem PBB dan berusaha menemukan solusi melalui cara lain.

Tata Kelola Global Masih Dalam Tantangan

Apa yang menjadi tantangan bagi tata kelola global? Beberapa negara maju Barat berusaha memandu dan mengatur dalam pembentukan peraturan, dan menempatkan negara-negara dalam posisi pasif yang harus mematuhi atau menghormati peraturan-peraturan yang diberlakukan. Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip tata kelola global yang sesungguhnya.

Dengan krisis Ukraina sebagai contoh, apa yang didengarkan selama ini adalah suara Eropa, Amerika Serikat, dan Rusia berbicara dengan Ukraina, dan bahkan menegosiasikan perdamaian dengan diadakan di Minsk, ibu kota Belarus.

Kita masih harus mengakui bahwa politik internasional saat ini masih dikuasai oelh politik kekuatan. Masalahnya konsekuensi macam apa jika masih dikuasai politik kekuatan? Kekuatan itu yang membuat keputusan, dan siapa yang memiliki kekuasaan? Negara-negara utama.

Sejak krisis Ukraina, negara-negara Barat yang dipimpin oleh AS hanya melakukankan penerapan sanksi-sanksi lebih keras kepada Rusia.

Pada 16 Januari 2017, mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden mengunjungi Ukraina,  dia bertemu dengan Presiden Ukraina Petro Poroshenko. Biden mengatakan pada hari itu bahwa dia akan mendesak pemerintah AS yang baru untuk terus mendukung Ukraina, dan meminta masyarakat internasional untuk menentang perilaku "invasi" Rusia.

Joe Biden mengatakan: "Bersama dengan mitra kita EU dan G7, kita akan menjelaskan bahwa sanksi harus tetap berlaku sampai sepenuhnya terhadap Rusia, saya tegaskan sepenuhnya, menerapkan komitmennya berdasarkan kesepakatan Minks."

Uni Eropa dan G7 yang menurut apa yang disebutkan Biden telah mengambil lebih banyak tanggung jawab untuk tata kelola global. Perkembangan kelompok-kelompok internasional semacam ini sebenarnya tidak dapat membantu, melainkan justru bersaingan dengan PBB dan menekan PBB.

Dalam sistem PBB, IMF adalah contohnya---AS memiliki hak veto di IMF. Selama krisis keuangan AS tahun 2008, di mana krisis berasal dari AS, dan AS ingin menyingkirkan ini secepat mungkin, dan benar-benar berharap bahwa negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India dan lainnya dapat berperan.

Pada bulan November 2010, IMF mengeluarkan sebuah kutipan dan RUU reformasi suara yang memutuskan untuk meningkatkan kuota dan hak suara dari negara-negara berkembang untuk Tiongkok dan India dalam organisasi tersebut.

Apa hasil dari penyesuaian ini? Di masa lalu, sebelum penyesuaian, Tiongkok menduduki peringkat keenam dalam kuota IMF, dan kemudian tiba-tiba melompat ke posisi ketiga. Tapi apa isu lain di sana? Misalnya, AS berada di tempat pertama, dan kuotanya tidak akan berubah, karena tidak akan setuju untuk mengubah kuotanya---karena memiliki hak veto. Siapa yang kedua? Yang kedua adalah Jepang, dan yang ketiga adalah Tiongkok, tapi masalahnya mengapa Jepang yang kedua? Sedangkan pada tahun 2015, ekonomi Tiongkok dua kali lipat dari Jepang. Jadi ketika menyangkut ekonomi, ekonomi Tiongkok lebih besar daripada Jepang, namun saham atau kuota pemungutan suara (hak suara)  Tiongkok di IMF lebih rendah dari pada Jepang. Ini dikarenakan kekuatan---kekuatan sistemik ini masih dianggap tidak cukup. Pada kenyataannya, Barat memiliki semacam hegemoni sistemik di banyak sistem internasional semacam ini.

Selain hegemoni sistemik ini, konflik antara kekuatan utama juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi PBB dalam tata kelola global.

Di Eropa, krisis Ukraina menyebabkan ketegangan antara AS, Eropa, Rusia meningkat. Di Asia, pertentangan antara Tiongkok, AS dan Jepang terjadi karena perselisihan mengenai masalah Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan.

Tiongkok dan Rusia yang mewakili kekuatan utama yang sedang muncul, sementara AS, Eropa, dan Jepang mewakili negara maju. Kontradiksi dan konflik antara Tiongkok-Rusia dan AS, Eropa dan Jepang secara tidak terhindarkan akan mempengaruhi kerjasama dalam tata kelola global dan regional.

Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa hal itu menyebabkan dunia menjadi tidak setara, karena tujuan tata kelola mereka adalah mempertahankan posisi atau posisi kepemimpinan mereka sendiri, sehingga tidak akan berinteraksi dengan negara lain secara setara, jadi ini ditunjukkan seperti memandang rendah orang lain dan menjadi bossy (merasa seperti boss atau raja) dalam banyak urusan internasional.

Hubungan internasional berbeda dari hubungan domestik---hubungan internasional harus setara, terlepas dari apakah sebuah negara besar atau kecil, kuat atau lemah---itulah tujuan dari "Piagam PBB"; Mereka membuat tiga aturan. Jadi mereka ingin melindungi posisinya sebagai pimpinan. Kenyataannya, ini bertentangan dengan prinsip Piagam PBB bahwa semua negara setara.

Hasil kedua adalah semacam hasil yang sudah tertinggal, yang menyebabkan mekanisme tata kelola global tertunda atau mencegah inovasi dalam mekanisme tata kelola global.

AS adalah salah satu pendiri PBB, dan juga penyedia dana terbesar untuk biaya operasional PBB. Bisa dikatakan bahwa posisi dan peran AS di PBB adalah sesuatu yang tidak dapat dibandingkan dengan negara lain.

Namun saat berpartisipasi dalam acara penting di PBB, AS berulang kali menantang otoritas PBB. Mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS John Bolton mengatakan: "Tidak ada PBB. Dunia hanya memiliki organisasi internasional yang mendengarkan perintah negara adidaya. Bila PBB sesuai dengan kepentingan kita, kita menggunakannya. Bila tidak sesuai dengan kepentingan kita, kita akan mengabaikannya. "

Pada 21 April 2016, mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengatakan dalam acara yang diselenggarakan oleh "Good Morning America" ABC TV bahwa ia memberikan suara kepada AS untuk meluncurkan Perang Irak ketika dia menjadi senator adalah penyesalan politik terbesarnya.

Hellary mengatakan: Penyesalan terbesar saya adalah memberikan suara untuk memberi wewenang mantan Presiden Bush di Irak. Itu tidak berubah seperti apa yang saya pikir akan didasarkan pada apa yang dia katakan, dan saya menyesalinya, dan saya mengatakan bahwa itu adalah sebuah kesalahan.

Pada bulan Maret 2003, tanpa izin dari PBB, dan ditentang oleh tiga anggota Dewan Keamanan PBB, Tiongkok, Rusia dan Prancis. AS bersikeras meluncurkan Perang Irak. Tindakan sepihak AS, yang hegemonik dan tindakan yang jahat ini, menyebabkan otoritas PBB organisasi internasional terbesar ini, mengalami penghinaan dan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang Dingin.

AS sebenarnya hanya mempertimbangkan kepentingannya sendiri terlebih dahulu saat membuat keputusan kebijakan. Jika PBB berguna bagi AS, seperti jika bisa memperolah keuntungan kelak, AS benar-benar berharap untuk itu, tapi jika tidak dapat mmbawa keuntungan, maka PBB akan ditinggalkan dan bertindak secara sepihak atau unilateral.

Akibatnya di Irak hingga tahun baru lalu, dalam rentang waktu singkat satu bulan, beberapa bom mobil melandak di ibu-kota Irak dan kota-kota lain, menyebabkan puluhan kematian. Bahkan hari-hari ini, 14 tahun setelah perang dimulai, warga sipil Irak yang tidak berdosa masih hidup dalam ketakutan.

Sebuah pasir grosir sayur-sayuran sudah kerap kali menjadi target pemboman, tapi hingga terakhir kali ini masih tidak ada patroli dan pengecekan di pintu masuk untuk pengaman. Sehingga setiap warga jika keluar rumah untuk kerja dan belanja bisa saja terbunuh, tapi jika diam di rumah juga bisa mati kelaparan.

Kenyataannya, masyarakat internasional merenungkan dirinya sendiri, namun orang Amerika tidak merefleksikan dirinya sendiri. Jelas bahwa alasan untuk meluncurkan Perang Irak adalah palsu. Itu hanya alasan untuk meluncurkan perang. Kenyataannya, sebenarnya tidak dapat menemukan bukti setelah itu, tapi tetap harus membayar tinggi harganya, dan hal itu telah menjadi kritikan dari masyarakat internasional.

Tidak hanya AS yang tidak mau bercermin pada dirinya sendiri, bahkan sebuah plot serupa terjadi lagi di Suriah beberapa tahun setelahnya. Dengan protes keras dari Tiongkok dan Rusia, dan tanpa otorisasi PBB, AS secara militer melakukan intervensi di Suriah dengan mendukung milisi anti-pemerintah dalam upaya untuk menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad, namun pada akhirnya, hal itu secara tidak sengaja menyebabkan meningkatnya "ISIS" dan menjerumuskan rakyat banyak ke dalam kesengsaraan.

AS terlalu kuat. Masyarakat internasional untuk melakukan tindakan memberi sanksi atau menghukumnya terbatas. Namun yang terjadi dengan PBB,  AS bisa menghukum negara-negara lain yang tidak mematuhi resolusi PBB, namun jarang melihat AS dihukum jika melanggar atau tidak mematuhi resolusi PBB---kiranya hal ini jarang terlihat.

Hasil dari perilaku AS ini, menyebabkan PBB dalam memainkan peran semakin berkurang dalam menghadapi banyak konflik besar. Selama lebih dari 30 tahun sejak berakhirnya Perang Vietnam, AS melancarkan pendudukan militer 3 kali, ini merupakan serangan militer yang diotorisasi oleh PBB, sementara sisanya adalah operasi militer hegemonik, unilateral atau bilateral militer AS.

Melihat kembali tindakan AS dalam beberapa tahun terakhir, mudah untuk melihat bahwa AS sebelum mendapatkan otorisasi PBB, mereka langsung maju berperang atas nama PBB, seperti Perang Teluk, Perang Afghanistan, dan Perang Libya; Jika tidak bisa mendapatkan otorisasi PBB, maka menggunakan NATO untuk melakukannya, seperti Perang Kosovo dan Perang Irak.

Menghadapi pelanggaran secara terbuka terhadap Piagam dan konvensi PBB, PBB tampaknya tidak berdaya.

AS melihat dunia seolah-olah dari tempat tinggi, dan bagaimana cara mempertahankan posisi hegemoniknya? Jadi, juga ingin menggunakan tata kelola global dan terkadang ingin memamerkan peran PBB, namun perannya bukanlah memperlakukan secara setara terhadap anggota PBB lainnya. Sama sekali tidak. AS hanya ingin mempertahankan posisinya sebagai "pimpinan".

Pada 4 Januari, sehari setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang baru resmi bekerja, dia menilpon langsung Trump. Trump mengatakan bahwa pemerintahan baru perlu menjalani beberapa reformasi dan perubahan untuk memastikan bahwa setiap sen yang diberikan AS kepada PBB telah digunakan secara efektif. AS membayar jumlah yang paling banyak untuk biaya-biaya operasi dan perawatan harian PBB, dan menanggung sekitar 22% dari biaya operasional PBB.

Kini AS sebagai penyumbang biaya operasional terbesar PBB dan coba untuk melakukan tekanan, namun ini akan membuatnya pusing kepala. Karena kini relatif lebih lemah, tidak begitu percaya diri seperti sebelumnya, jadi lebih cermat melihat pengeluarannya, dan jika Anda tidak sesuai dengan permintaannya, maka mereka tidak akan memberi Anda uang.

Kebiajakan "America First" AS Akan Meminggirkan PBB

Pada 20 Januari, AS memasuki era Trump. Dia memandang pemikiran inti dari kebijakan luar negerinya sendiri sebagai "Amerika yang utama," yang berarti menempatkan kepentingan Amerika dan keamanan Amerika terlebih dahulu dan yang terutama. Kita bisa memprediksi bahwa dalam proses diplomasi AS, PBB niscaya akan ditakdirkan untuk dipinggirkan.

Kunci dari tata kelola global adalah mengklarifikasi siapa yang mengatur, apa yang mereka kelola, dan bagaimana mereka mengelolanya.

Pandangan dan Usulan Tiongkok

Bagi Tiongkok, PBB adalah kombinasi dari negara-negara yang setara, dan banyak kegiatan internasional harus terjadi dalam kerangka kerja PBB---ini harus sebagai prasyarat untuk mengelola global seperti yang diusulkan oleh Tiongkok.

Presiden Tiongkok Xi Jinping mengunjungi Pejabat PBB di Jenewa pada 18 Januari 2017, waktu setempat, di mana dia hadir di pertemuan tingkat senior mengenai "menciptakan sebuah komunitas bernasib bersama" dan memberikan sebuah pidato kunci (keynote speech).

Dalam pidato tesebut Xi Jinping menekankan bahwa dia percaya Tiongkok akan menjadi baik jika dunia juga baik, dan dunia akan lebih baik jika Tiongkok juga bagus. Menghadapi masa depan, tekad Tiongkok untuk menjaga perdamaian dunia tidak akan berubah.

Tiongkok akan terus menjalin hubungan "lingkar pertemanan" yang membentang di dunia ini. Tekad Tiongkok untuk mendukung multilateralisme tidak akan berubah, dan akan terus dengan gigih mempertahankan sistem internasional yang berpusat di sekitar PBB, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar untuk hubungan internasional berdasarkan pada tujuan dan prinsip Piagam PBB, dengan tetap menjaga otoritas dan posisi PBB, dan dengan tegas mempertahankan peran inti PBB dalam urusan internasional.

Tiongkok adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan sekarang juga merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia. Bisa dikatakan bahwa Tiongkok bisa dinilai telah meningkatkan keefektifan PBB---efektivitas dan kapasitasnya untuk menyelesaikan masalah global ini.

Kini kemanusiaan berada dalam periode perkembangan besar, revolusi besar, dan penyesuaian kembali yang besar, namun juga merupakan periode yang penuh dengan berbagai tantangan dan peningkatan risiko. Rencana Tiongkok adalah menciptakan sebuah komunitas bernasib bersama untuk mencapai sharing yang saling menguntungkan. Menetapkan tatanan internasional yang adil dan rasional adalah tujuan yang harus dicari dan dicapai oleh manusia dengan tanpa lelah. Dalam situasi baru ini, kita perlu menuntut persamaan yang berdaulat, dan mempromosikan persamaan hak, persamaan kesempatan, dan aturan yang sama di semua negara.

President Sessi ke-71 dari Majelis Umum PBB,  Peter Thomson mengatakan bahwa usulan Presiden Xi tentang konsep "Creating a Community of Common Destiny" (Menciptakan Komunitas Bernasib Bersama) adalah pemikiran yang memprovokasi dan menjanjikan. Untuk waktu yang lama, Tiongkok telah menjadi pendukung setia PBB, dan pidato Presiden Xi Jinping sangat mendebarkan dan menggembirakan, karena ini memberikan momentum besar bagi PBB untuk mempromosikan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.

Jika kita melihat Piagam PBB, pertama-tama yang ditekankan bahwa semua negara setara dan itu adalah konsep yang sangat penting, jadi tentu saja dengan keterbukaan Tiongkok, dan solusi keterbukaan sejalan dengan kepentingan PBB serta sesuai dengan "Piagam PBB". Itu adalah komentar mendalam tentang semangat "Piagam PBB" dalam tata kelola global di abad ke-21. Banyak analis yang menganggap itu pentingnya solusi Tiongkok.

Dari kunjungan Xi Jinping tahun 2014 ke Markas Besar UNESCO di Paris untuk menghadiri pertemuan puncak tahun ketujuh puluh PBB yang diadakan di New York pada tahun 2015, kemudian kunjungan ke Kantor PBB di Jenewa dan pidato yang disampaikan di Istana Bangsa-Bangsa mengenai "Creating a Community of Common Destiny" (Menciptakan Komunitas Bernasib Bersama), Tiongkok menghargai PBB lebih dari sebelumnya, dan menunjukkan dukungan tegas Tiongkok untuk PBB dan multilateralisme.

Pada 17 November 2016, pada resolusi PBB No.  A / 71/9 yang dengan tanpa suara menentang disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB ke-71 dan meminta semua negara untuk mempromosikan Prakarsa Belt and Road. Sejak 2013, ketika Presiden Xi Jinping mengusulkan Prakarsa Belt and Road, lebih dari 100 negara dan organisasi internasional telah secara aktif berpartisipasi dan mendukungnya. Lingkaran pertemanan ini terus berkembang, dan memberi kontribusi kearifan Tiongkok untuk perkembangan global.

Tiongkok mengusulkan Asian Infrastructure Investment Bank  (AIIB) dan Belt and Road Initiative keduanya merupakan kontribusi Tiongkok terhadap tata kelola global.

                                          

Pada abad ke-21 ini Tiongkok telah menganjurkan banyak proposal yang tujuannya sangat mendalam untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Tiongkok tampaknya menawarkan dan mengusulkan peluang dan manfaat bagi semua orang dan pihak yang dapat dilihat dari solusi Tiongkok.

Antonio Guterres mengatakan: "Sekarang saya pikir Tiongkok saat ini memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan. Bagi Tiongkok, jika Anda melihat Timur Tengah atau melihat Afrika, Tiongkok tidak memiliki kepentingan khusus untuk dilindungi. Ini tidak relevan bagi Tiongkok jika A menang atas B atau menang atas A. Kepentingan Tiongkok adalah bisnis. Daya tarik saya yang kuat adalah agar Tiongkok mau terlibat lebih banyak lagi sebagai mediator global." 

Masyarakat internasional berharap Tiongkok memainkan peran penting dalam tata kelola global, namun karena perbedaan kepentingan dan daya tarik semua negara, sulit mencapai konsensus mengenai banyak hal. Rencana atau proposal Tiongkok masih menghadapi banyak tantangan dalam proses tata kelola global.

Kita memang tidak bisa mengabaikan tantangan yang dihadapi rencana Tiongkok. Pertama, ada tantangan dari pemikiran zero-sum, yang banyak analis yakini ada dimana-mana, terutama di Barat, tata kelola global mereka berasal dari kepentingan Barat, sementara tata kelola global Tiongkok menekankan "Kesamaan," bahwa setiap anggota masyarakat internasional harus mendapatkan keuntungan, tantangan lain yang dihadapi rencana/proposal Tiongkok adalah membutuhan waktu.

Tidak mungkin semua orang setuju begitu diusulkan, karena banyak orang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memahami dan menerima konsep ini. Tapi banyak analis percaya bahwa rencana Tiongkok akan maju untuk masa-masa ini, karena proposal ini lebih sesuai dengan arah pembangunan untuk hubungan internasional di abad ke-21, dan lebih sesuai dengan cita-cita indah atau harapan bahwa kemanusiaan sedang mengejar dan mengharapkan.

Tata kelola global akan mempengaruhi kepentingan semua negara. Dengan menghadapi semua bahaya dunia saat ini, tidak ada negara yang dapat bertindak sendiri---globalisasi telah menghubungkan kita secara lebih dekat. Tata kelola global sekarang membutuhkan pemikiran dan konsep baru untuk melepaskan diri dari belenggu geopolitik. Kita dapat menantikan hubungan kerja sama usulan Tiongkok dengan PBB untuk mencapai tingkat yang baru dalam lima tahun ke depan kepemimpinan Antonio Guterres.

Apakah rencana dan usulan Tiongkok akan membuat tata kelola global menjadi lebih efektif, dan lebih bermanfaat untuk mengkondensasi sebuah konsensus global, untuk menghadapi berbagai tantangan kompleks di dunia. Marilah kita tunggu bersama.... dan semoga bisa berhasil.....

Pandangan Dan Pendapat Para Tokoh Dunia

Jean-Pierre Raffarin, mantan perdana menteri Prancis, mengatakan bahwa strategi pembangunan yang ditetapkan Kongres CPC ke-19 Tiongkok tidak hanya menyangkut rakyat Tiongkok, tapi juga akan mempengaruhi seluruh dunia.

Alvaro Elizalde Soto, presiden Partai Sosialis Chili, dan Francisco Melo Contreras, presiden Pemuda Sosialis di Cile, mengatakan dalam pesan ucapan selamat mereka bahwa pedoman dan kebijakan yang dibuat oleh Kongres CPC ke-19 Tiongkok  "akan terus mempromosikan pembangunan Tiongkok dalam lima tahun mendatang. dan berkontribusi pada perdamaian, stabilitas dan kemakmuran dunia".

Romulo Roux, sekretaris jenderal Partai Demokrasi Demokratik Panama, mengatakan bahwa Kongres CPC ke-19 Tiongkok tersebut akan "berusaha jauh-jauh berdasarkan politik internasional, inovasi teknologi dan pembangunan dunia multipolar".

George A. Papandreou, mantan perdana menteri Yunani, mengatakan bahwa Kongres CPC ke-19 Tiongkok tersebut memberikan pesan kuat mengenai kesatuan, kohesi dan tekad untuk memperjuangkan perdamaian, pembangunan berkelanjutan dan penciptaan masyarakat yang harmonis.

Jon Taylor, seorang profesor Ilmu Politik di Universitas St. Thomas di Houston, Texas, mengatakan bahwa kebijaksanaan dan pengalaman Tiongkok dapat memberi jalan untuk menyelesaikan beberapa masalah mendesak di dunia melalui pesona, promosi kerjasama win-win. dukungan pasar terbuka.

Martin Jacques, seorang peneliti senior di Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pengetahuan Universitas Cambridge, mengatakan bahwa Kongres CPC ke-19 Tiongkok tersebut adalah "pertemuan politik terpenting di dunia tahun ini" seiring dengan kepercayaan Tiongkok yang tumbuh di panggung global.

Hao Ping, seorang delegasi ke kongres dan sekretaris partai Universitas Beijing, mengatakan bahwa laporan tersebut telah mewujudkan banyak gagasan penting, Tiongkok akan memainkan peran lebih besar dan memberikan kontribusi lebih banyak kebijaksanaan dan solusinya kepada organisasi internasional.

Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam Dan Luar Negeri

https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX

https://www.voaindonesia.com/a/perkuat-hubungan-ekonomi-jokowi-bertemu-jinping-/3851321.html

http://www.bbc.com/zhongwen/simp/chinese-news-41693086

https://www.voachinese.com/z/5244

http://news.xinhuanet.com/politics/19cpcnc/2017-10/24/c_1121848930.htm

http://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/2115953/real-message-world-chinas-first-global-congress

http://english.chinamil.com.cn/19thCNC/2017-10/24/content_7798048.htm

*Generasi Milenial (Biasanya merujuk generasi yang lahir pada rentang tahun 1980an-1990an)

*Generasi Z (Biasanya merujuk generasi yang lahir diatas tahun 1993an-2011an)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun