Hingga kini, Perang Suriah telah memasuki tahun ke-enam. Dalam enam tahun terakhir perang ini benar-benar telah meluluh lantakkan negara yang indah dan paling stabil diTimur Tengah sebelumnya.
Situasi perang terkini, AS dan negara-negara Barat lainnya masih belum mencapai tujuan mereka untuk menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Pemerintahan Bashar al-Assad telah menjadi lebih berani karena terus memerangi terorisme dan berhasil melindungi pemerintahannya.
Pada 23 Agustus lalu, Menhan Rusia Seergey Shogyu mengatakan: Â "Berdasarkan situasi saat ini, perang saudara di Suriah sebenarnya dapat dikatakan telah berhenti."
Jadi, apakah memang perang saudara benar-benar telah berakhir?
Pada 5 September, Kemenhan Rusia menerima sebuah laporan intelijen yang mengatakan bahwa "ISIS" mengadakan pertemuan para komandan di sebuah ruang komando bawah tanah di dekat Deir ez-Zor di timur Suriah, ibukota Provinsi Deir ez-Zor.
Setelah meverifikasi otensitas info intelijen dan dilakukan misi pengintaian, militer Rusia memobilisasi pesawat Su-34 dan Su-35, dan menggunakan bom untuk menghancurkan pusat komando dengan tepat, menewaskan sekitar 40 militan "ISIS." Dari militan "ISIS" yang terbunuh, ada empat pemimpin senior, termasuk "Menteri Perang" Gulmurod Khalimov, dan Menteri Keuangan, dan "Emir" Deir ez-Zor yang baru diangkat untuk bergabung oleh militan "ISIS", Abu Muhamamad Al-Shimali.
Lgor Morozov, anggota Komite Urusan Internasional Dewan Federasi Rusia, mengatakan kepada Sputnik News yang berbasis di Rusia: "Ini adalah kesuksesan besar bagi intelijen Rusia, Angkatan Udara, dan militer Suriah. Kami menghabisi hampir semua pemimpin senior 'ISIS' dalam satu pukulan."
Pada hari yang sama, Deir ez-Zor, yang sudah berada dalam blokade "ISIS" selama tiga tahun, telah diterobos oleh militer Suriah. Perintah militer Suriah menyatakan bahwa ini adalah titik balik penting dalam perang melawan terorisme.
Juru bicara militer Suriah mengatakan: "Setelah serangkaian operasi yang sukses, militer Suriah dan sekutu-sekutunya mengakhiri operasi tahap kedua di gurun Suriah tengah dengan bantuan angkatan udara Suriah dan Rusia, menerobos blokade tiga tahun Deir ez-Zor dengan pertempuran pasukan yang sengit. Pasukan dari selatan Raqqa telah terhubung dengan orang-orang yang gigih membela kota tersebut."
Beberapa analis menekankan bahwa dengan dibebaskannya Dier ez-Zor, itu sangat mempunyai arti yang signifikan, bahkan lebih besar artinya daripada membebaskan Raqqa. Provinsi Dier ez-Zor adalah distrik produksi minyak utama Suriah, ini menjadi pementasan terakhir bagi "ISIS."
Dengan telah dibebaskannya Dier ez-Zor, "ISIS" telah kehilangan sumber minyak. Saat ini wilayah utama yang dikuasai "ISIS" sudah sangat menyusut dalam Provinsi Dier ez-Zor. Jika mereka dikalahkan disini, saluran ini tidak lagi terbuka untuk "ISIS," mereka hanya tinggal memiliki beberapa basis yang tersebar di sekitar Raqqa yang sudah terkepung. Di front-front lain perang juga telah dicapai kemajuan besar bagi militer Suriah.
Pada tanggal 4 September, koalisi internasional mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa Pasukan Demokrat Suriah telah menguasai Masjid Agung Raqqa, yang sangat strategis.
Robert Jones, Komandan Koalisi Global untuk melawan ISIS menyatakan: Pembebasan Raqqa akan benar-benar merupakan pukulan yang menentukan untuk Daesh/ISIS. Ini akan menyelesaikan pembebasan apa yang mereka sebut ibukota yang diproklamirkan sendiri di Suriah dan bila dikombinasikan dengan pembebasan Mosul sangat penting bagi kekalahan Daesh."
Suriah Dalam Keadaan Terfragmentasi
Saat ini situasi Suriah benar-benar dalam terfragmentasi. Semua pihak yang berkepentingan sudah memiliki wilayah atau wilayah kekuasaan sendiri. Pemerintah Suriah tidak akan dengan mudah bisa  menuntut daerah-daerah ini, namun pada saat yang sama, kampanye penyerangan terhadap Dier ez-Zor dan Raqqa sesungguhnya tidak ada saling kaitannya secara langsung.
Alasan mendasar mengapa mereka tidak terkait langsung adalah karena Raqqa dikendalikan oleh AS, atau Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung oleh AS. Mereka sudah membangun kontak dimana semua pihak tidak akan bisa ambil bagian di Raqqa. Dengan kedaaan demikian, bahkan jika militer Suriah sudah mengambil Deir ez-Zor sebagai batu loncatan untuk langkah ke Raqqa, hal itu tidak akan mungkin.
Di sebelah utara, militer Suriah telah berada di sekeliling Pasukan Demokratik Suriah yang dipimpin Kurdi dan telah  tiba di tepi selatan Sungai Efrat Provinsi Aleppo sekali lagi, yang berjarak 160 km dari Raqqa yang telah benar-benar dikuasaikan oleh militer Suriah. Di Suriah tengah, pada 12 Agustus, militer Suriah membebaskan basis "ISIS" besar Al-Sukhnah, di Provinsi Homs.
Kemudian pasukan Suriah membebaskan juga Uqayribat di Hama timur. Ini berarti penghancuran basis besar akhir teroris di Suriah tengah. Dan di Provinsi Idlib, Suriah barat, kelompok teroris "Al-Nusra Front" secara bertahap mendapatkan posisi dominan dalam pertempuran dengan pasukan oposisi Suriah "Ahrar al-Sham."
Menurut sebuah laporan dari "Komersant" yang berbasis di Rusia, Rusia telah mengundang Kyrgyzstan untuk mengerahkan pasukan untuk bertugas di Suriah, bersama mereka akan menjaga ketertiban di Provinsi Idlib, yang berpenduduk satu juta orang.
Pakar militer Rusia Viktor Murakhovsky percaya bahwa Kazakhstan dan Kyrgyzstan hanya akan secara simbolis membawa pasukan ke Suriah. Kedua negara sudah biasa memnggunakan senjata buatan Rusia, sehingga lebih mudah untuk mengkoordinasikan komando mereka. Rusia akan mendapatkan inisiatif lebih besar di Suriah.
Banyak analis melihat tujuan politik Rusia di Suriah adalah untuk memperpanjang pemerintahan al-Assad. Inilah yang menjadi tujuan politik fundamentalnya. Untuk memperpanjangnya, pertama-tama al-Assad perlu diberikan kekuasaan yang cukup kekuatan militernya untuk melawan serangan dari militan oposisi.
Yang kedua, perlu secara politis memperkuat legalitas pemerintahan al-Assad, karena mereka yakin pemerintahan al-Assad dipilih oleh rakyat, dan juga merupakan kekuatan yang teguh dalam perang internasional melawan teror.
Semua dari dukungan ini menunjukkan legalitas pemerintahan al-Assad. Saat ini, ada informasi yang mengatakan bahwa Rusia mengundang dua negara Asia Tengah untuk ambil bagian dalam operasi penjaga perdamaian di zona de-eskalasi konflik seperti yang telah disebutkan diatas. Ini juga memberi sinyal kepada masyarakat internasional bahwa pemerintahan al-Assad memiliki empati dan lebih banyak mendapat dukungan dari negara-negara.
Menurut sebuah laporan "Rusia Today", pada 23 Agustus, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoguy mengatakan saat bertemu dengan Menteri Pertahanan Nasional Laban Yaacoub Sarraf di Moskow bahwa setelah pasukan oposisi Suriah yang moderat dan militer Suriah menerapkan gencatan senjata di zona de-eskalasi, perang saudara di Suriah praktis benar-benar berhenti.
Pada awal Mei tahun ini, perwakilan dari Rusia, Turki, dan Iran menandatangani sebuah memorandum yang menetapkan zona de-eskalasi di barat laut Provinsi Idlib, di sentral Suriah--Homs dan pinggiran kota Damaskus, serta Suriah selatan. Tindakan ini tampaknya menyebabkan Perang Syria beralih dari perang sipil ke perang komprehensif melawan teror.
Dibayangi Perang Yang Lebih Besar
Rusia mengatakan bahwa perang telah berhenti. Pada kenyataannya, gambaran perang yang lebih besar telah ditentukan. Jika ada orang yang memikirkan gagasan lain, dan ingin mengubah kekalahan menjadi kemenangan, itu tidak mungkin. Ini bukan untuk mengatakan bahwa semua pertempuran telah berhenti.
Pertarungan akan terus berlanjut, namun Rusia percaya bahwa tujuan utamanya telah tercapai - pemerintah Suriah telah diselamatkan, dan Rusia dan Iran telah membentuk aliansi yang gigih. Mereka telah mencapai tujuan strategis mereka, dan ini tidak dapat disangkal. AS telah mengakui hal ini, dan karena itulah, dapat dikatakan bahwa perang telah usai.
Dimulai pada tahun 2011, dengan dukungan dari Barat, oposisi Suriah memulai sebuah perang yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Namun hingga hari ini setelah enam tahun bertempur, pemerintahan al-Assad belum juga jatuh.
Banyak yang mempertanyakan, dengan pergantian presiden AS, apakah tujuan strategis awal di Suriah masih dapat dicapai? Â Tanpa kesepakatan AS, bisakah Perang Suriah benar-benar berakhir?
Apakah al-Assad akan lengser selalu menjadi salah satu topik utama dari semua pihak yang berkontes  dalam krisis Suriah. Tapi baru-baru ini, sebuah laporan Associated Press sangat menarik perhatian untuk dipikirkan. Laporan tersebut mengutip mantan Duta Besar AS untuk Suriah, Robert Ford, mengatakan, "Semua orang, termasuk Amerika Serikat, mengakui bahwa Bashar al-Assad akan tetap berkuasa."
Analis politik Suriah percaya bahwa karena perbedaan kekuasaan dan wilayah antara militer Suriah dan oposisi terus berkembang melebar, AS harus menerima kenyataan bahwa pemerintah Suriah tidak akan kehilangan kekuasaan.
Pembalikan nasib al-Assad dimulai setelah intervensi militer Rusia. Pada tahun 2015, setelah Rusia melakukan intervensi dalam situasi Suriah, Rusia terus mengirim pesawat tempur, menggunakan sistem rudal pertahanan udara canggih, dan memobilisasi sebuah gugus tugas kapal induk di Laut Mediterania untuk membantu pemerintahan al-Assad melawan pasukan oposisi Suriah dan "ISIS," membantu militer Suriah terus memulihkan wilayah yang diduduki lawan, dan meningkatkan suara dan pengaruh pemerintah al-Assad di Timur Tengah.
Belum lama ini, Kepala Direktorat Operasi Utama Staf Umum Rusia Sergei Rudskoy mengatakan bahwa menurut statistik, sebelum operasi militer Rusia di Suriah, wilayah yang dikuasai militer Suriah hanya tidak lebih dari 19.000 kilometer persegi. Saat ini jumlahnya hampir empat kali lipat, kira-kira 74.200 kilometer persegi.
Dari semua negara Timur Tengah, Suriah adalah satu-satunya negara di mana Rusia masih mempertahankan kehadiran militernya. Juga, pemerintahan al-Assad sangat bergantung pada Rusia. Dengan kata lain, Rusia ini dianggap sebagai andalan utamanya.
Saat ini, kehadiran militernya Rusia di Suriah telah dijadikan secara permanen. Tujuan di balik ini sangat jelas. Tampaknya hal ini telah dicapai kesepakatan dengan pemerintahan al-Assad untuk kehadiran militernya secara jangka panjang. Selama ini kehadiran militer jangka panjang telah meningkatkan kepercayaan dari pemerintahan al-Assad. Rusia tidak akan melepaskan titik poros geostrategis yang sama pentingnya dengan Suriah.
Dalam mendukung operasi militer Suriah untuk memecahkan blokade Dier ez-Zor, frekuensi serangan dengan pesawat tempur Angkatan Udara Rusia meningkat menjadi 60-70 kali per hari dan mereka memulai dengan mode pengingtaian 24 jam. Sejak Agustus, Angkatan Udara Rusia telah menyelesaikan total 990 penerbangan tempur, dan melakukan 2.518 serangan ke markas pasukan ekstrimis, gudang senjata, dan kamp latihan ekstrimis. Mereka telah menghancurkan 40 kendaraan lapis baja, 106 pickup taktis dan lebih dari 800 militan.
Hal ini dilakukan Rusia untuk kepentingannya. Deir ez-Zorm yang memiliki simbolisme tersendiri, dan Aleppo juga memiliki simbolismenya sendiri. Keduanya sangat penting di Suriah utara. Dengan perlindungan yang berkoordinasi dengan Rusia, militer Suriah menyelamatkan dua kota besar ini. Ini berarti misi Rusia telah tercapai.
Sedangkan untuk sabuk pengaman padang pasir di Suriah tenggara, dan kawasan tribal, Rusia tidak tertarik untuk kawasan ini. Dan seperti sabuk pengaman pantai yaitu sabuk dari pantai timur Suriah seperti daerah Tartus, misalnya, sudah dikuasai dengan kuat dalam genggaman Rusia. Kehadiran Rusia di Suriah setidaknya telah meningkat sepuluh kali lipat dari sebelum perang. Dan Rusia senang melakukan ini. Jika ada pihak yang memprovokasi Rusia dan mengatakan bahwa mereka harus menduduki semua wilayah Suriah, Rusia pasti tidak akan melakukan sesuatu kebodohan itu.
Ketika militer Suriah telah menguasai kota-kota penting Aleppo dan Al-Sukhnah di Suriah utara, dan menerobos blokade pada Deir ez-Zor, berita tentang keberhasilan militer dalam memberantas "ISIS" juga sering terdengar di sejumlah besar wilayah yang sudah dibebaskan.
Mantan Dubes AS untuk Suriah Robert Ford percaya bahwa militer Suriah akan terus berinisiatif di medan perang, dan mencapai masa yang  paling kuat dalam enam tahun ini.
AS Juga Berrebut Pengaruh
Namun, AS, yang juga ikut berkompetisi dalam Perang Suriah, bisa dikatakan sangat khawatir baik di dalam maupun di luar.
Pada 30 Agustus, AS mengumumkan bahwa tentara AS telah diserang di Manbij, sebuah kota di wilayah yang dikuasai Kurdi di Suriah utara oleh pasukan oposisi Suriah "Free Syrian Army," dan keduanya telah saling tembak-menembak.
Pada tahun 2015, setelah Rusia melakukan intervensi dalam situasi Suriah, pada bulan Oktober tahun itu, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung oleh AS diumumkan telah berdiri, dan pasukan utama tentara ini adalah orang Kurdi. Ini membuat rumit hubungan antara AS, Turki, dan Kurdi menghadapi sebuah variabel besar.
Pada bulan Mei tahun ini, Presiden AS Donald Trump memberi wewenang kepada Departemen Pertahanan AS untuk memberikan senjata kepada militan Kurdi--Pasukan Demokratik Suriah yang didukung oleh AS untuk memastikan bahwa mereka berhasil menyerang basis utama "ISIS" di Suriah----Raqqa.
Saat itu, Recep Erdogan menuduh Trump melakukan kesalahan dengan mengatakan: "Yang paling saya harapkan adalah AS memperbaiki kesalahannya dengan segera."
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Vavusoglu bahkan lebih terus terang, dengan mengatakan: Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (Syria's Kurdish People's Protection Unit) and Turkey's Kurdistan Workers' Party (PKK) keduanya adalah kelompok teroris, dan bahwa setiap senjata yang mereka terima merupakan ancaman langsung ke Turki.
Dalam kenyataannya, pada awal Juli, tidak lama setelah penggempuran Raqqa dimulai, Free Syrian Army yang didukung oleh Turki terlibat dalam banyak konflik dengan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (Kurdish People's Protection Unit) yang didukung oleh AS, yang juga dikenal sebagai Pasukan Demokrat Suriah (SDF).
Sarikis Kassargian, Analis Politik Suriah mengatakan: Itu adalah pesan politik bahwa "Jangan coba-coba memberi SDF peran politik." Jadi SDF sekarang memiliki peran militer di lapangan, maka mereka mencoba untuk bernegosiasi ingin mendapatkan kesepakatan dengan AS agar tidak memberi peran politik kepada orang-orang Kurdi di Suriah.
Beberapa komentator percaya bahwa AS harus menerima kenyataan bahwa al-Assad tidak akan jatuh, dan juga harus menerima kenyataan bahwa Rusia telah mendapatkan inisiatif dalam masalah Suriah.
Taliq Analis Politik Suriah mengatakan: "Dari perspektif politik internasional, faktor krisis Suriah terbesar adalah bahwa pengaruh Rusia telah melampaui AS. Saya percaya bahwa AS mengakui bahwa Rusia berada di atas angin."
Selama KTT G20 di Hamburg pada 7 Juli, setelah Presiden AS Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua negara bergabung dengan Yordania untuk mengumumkan pembentukan zona de-eskalasi di Suriah utara.
Pada 22 Juli, Rusia dan Mesir memimpin pembentukan zona de-eskalasi konflik di Damaskus timur laut. Pembentukan zona de-eskalasi konflik di Suriah utara mengindikasikan bahwa Rusia masih membutuhkan AS untuk memainkan peran, namun di sisi lain, hal itu juga mengindikasikan bahwa AS tidak dapat melepaskan pengaruh Rusia di Suriah.
Pertemuan antara Putin dan Trump pada bulan Juli tahun ini berlangsung tiga jam. Menurut analis, pertemuan ini memainkan peran penting untuk masa depan situasi Timur Tengah. Pertemuan ini berarti merupakan suatu pertemuan yang pada umumnya paling tidak telah menggambarkan lingkup kekuasaan AS dan Rusia di Suriah,
Setelah itu, maka terbentuklah sebuah batas di sepanjang Sungai Efrat. Daerah pegunungan di Suriah utara Sungai Efrat yang pada awalnya dikuasai oleh orang Kurdi pada dasarnya telah dikendalikan oleh AS.
Daerah selatan Sungai Efrat dikendalikan oleh Rusia. Jadi peran AS jelas menjadi menyusut, Tapi penyusutan semacam ini sesuai dengan kepentingan AS. Yang oleh analis di katakan seolah: "Kalian yang lain boleh menempati satu wilayah, tapi jika kita (AS) sangat kesal dengan satu pihak, kita bisa menimbulkan semacam keseimbangan, dan kemudian untuk mempertahankan keseimbangan itu pada setiap saat."
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa meskipun Perang Syria telah bertahun-tahun menjadi tragedi, dan banyak warga sipil menjadi korban dan tewas, hasil akhirnya tidak mengejutkan AS, dan hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap apa yang diinginkan AS.
Balum lama ini, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan bahwa AS tidak berniat untuk tinggal di Suriah setelah "ISIS" dihancurkan.
Dalam situasi saat ini, apakah AS bersedia melanjutkan perang Suriah? Berapa banyak ruang yang tersisa bagi AS untuk ikut campur tangan dalam situasi Suriah? Menjadi suatu yang perlu diperhatikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dukungan Rusia dan Iran, sebuah perubahan telah terjadi dalam situasi di Timur Tengah. Kontes baru akan terjadi antara para pihak di kawasan ini. Apakah ini berarti bahwa pengaruh hegemoni tradisional AS di Timur Tengah akan mulai terkikis di Suriah?
Baru-baru ini, serangan senjata kimia lain yang dicurigai telah terjadi telah melampaui garis merah (redline) Presiden AS Trump.
Pada 8 September, waktu setempat, Hussam Ala, Perwakilan Tetap Suriah di PBB di Jenewa, mengirim sebuah surat ke Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Komisioner Tinggi (UN Human Rights Office of the High Commissioner) yang menuduh dengan Laporan 6 September Komisi Penyelidikan Internasional Independen mengenai Suriah yang mengutuk pihak pemerintah Suriah karena menggunakan senjata kimia dengan tidak profesional dan tidak adil.
Dalam laporan ini dikatakan bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan senjata kimia setidaknya 20 kali selama krisis, termasuk insiden senjata kimia yang terjadi pada bulan April tahun ini, di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib. Laporan tersebut menyatakan bahwa mereka telah mewawancarai 43 saksi, dan juga telah menganalisis citra satelit, waktu serangan, fragmen bom, dan lebih banyak lagi, dan sampai pada kesimpulan bahwa senjata yang digunakan itu buatan Soviet yang dimiliki oleh pemerintah Suriah.
Beberapa analis Suriah percaya bahwa pemikiran laporan tersebut dikeluarkan oleh sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PBB, kebenaran penyelidikan bukti dari penyelidikan Organisasi Rehabilitasi Senjata Kimia (OPCW) patut dicurigai.
Menurut Mohammed, seorang Analis Politik Suriah mengatakan: Laporan ini tidak ditugaskan oleh Dewan Keamanan PBB, jadi tidak berkekuatan. Juga dalam membuat laporan, Komisi tersebut tidak pergi ke Syria untuk mendapatkan bukti. Semua saksi berada di Lebanon, Yordania atau Turki.
Sensasionalisasi kejadian senjata kimia menunjukkan bahwa AS masih berniat untuk ikut campur dalam situasi Suriah. Meskipun tampaknya Rusia saat ini memiliki posisi teratas dalam perang Suriah, dan AS memiliki posisi yang lebih lemah, pada kenyataannya, AS masih memiliki kekuatan yang kuat dan sasaran strategis AS dalam mengintervensi di Suriah tetap tidak berubah.
Tujuan AS tidak berubah. Mereka ingin menggulingkan pemerintahan al-Assad. Sekarang, ini telah mengalami kemajuan secara berkala. Tanda utama kemajuan berkala ini adalah bahwa AS telah membentuk kehadiran militer di Suriah. Kehadiran itu mencakup lebih dari 1.000 pasukan darat, termasuk tim Pasukan Pemukul Khusus dan SEAL. Jadi pasukan darat ini berada di utara dan timur laut Suriah. Mereka telah mendirikan enam titik dukungan dan bandara. Pada saat yang sama, mereka mendapat dukungan logistik dan dukungan senjata supresif dari Divisi Lintas Udara AS ke-101. Kehadiran militer ini adalah salah satu yang membuat semua pihak tidak ada yang berani menyentuh.
Dari 14 sampai 15 September, putaran keenam perundingan perdamaian Suriah diadakan di Astana, Kazakhstan. Utusan Suriah PBB, Staffan de Mistura mengambil bagian dalam pembicaraan tersebut. Oposisi AS dan Suriah juga mengirim perwakilan ke perundingan ini.
Menurut analis melihat Perundingan Damai Astana diadakan di Kazakhstan, latar belakangnya adalah bahwa Rusia dan Iran adalah pemenang, atau merupakan pihak yang merasa puas. Mereka tidak membiarkan pertemuan ini teralihkan. Mereka akan melegalkan dan mengkonsuliditasikannya berdasarkan situasi saat ini.
Sebelum ini, menurut sebuah laporan pada 8 September dari Sputnik News yang berbasis di Rusia, sebuah informasi Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa Rusia berharap bahwa perundingan perdamaian ini bisa mengakhiri pekerjaan dalam membangun empat zona keamanan di Suriah.
Perundingan Damai Astana telah menyentuh masalah teknis, seperti membangun zona de-eskalasi konflik. Saat ini, ada empat zona de-eskalasi di Suriah. Rusia, Turki, Iran telah mencapai kesepakatan dan sudah seperti kesepakatan antar teman. Dan zona de-eskalasi ini berada di dalam wilayah yang dikuasai oleh pemerintah al-Assad, sehingga dapat dikatakan bermanfaat bagi mereka. Apa manfaatnya? Ini telah memungkinkan Turki, Iran, dan Rusia untuk menempatkan militer mereka di Suriah, dan penempatan pasukan ini telah dilegalisasi. Kenyataannya, hal ini kepentingannya lebih besar daripada zona de-eskalasi konflik yang dapat mereka bangun.
Bila dibandingkan Perundingan Damai Astana dengan Perundingan Damai Jenewa mengenai nasib Suriah, Perundingan Damai Jenewa belum banyak kemajuan.
Perundingan Damai Suriah yang diadakan di Jenewa melibatkan isu-isu praktis, yang berarti mereka membahas apakah al-Assad harus tetap berkuasa atau harus digulingkan, namun perundingan damai Astana tidak menyentuh hal itu. Juga, faksi oposisi yang diundang ke perundingan Astana pada dasarnya adalah semua kelompok oposisi moderat.
Faksi oposisi yang lebih keras dengan gigih menyerukan dijatuhkannya pemerintahan al-Assad tidak hadir. Pembicaraan Jenewa terutama terbentuk dari faksi-faksi oposisi yang menyerukan penghapusan al-Assad. Tujuan mereka adalah menggulingkan pemerintahan al-Assad, dan mereka menyerukan hal ini pada perundingan damai Jenewa. Inilah alasan mengapa perundingan damai Jenewa tidak ada hasilnya.
Apa yang tercermin dalam perang kata-kata di meja perundingan ini sebenarnya adalah untuk mendemonstrasikan keseimbangan yang diraih oleh berbagai pihak di Suriah. Dengan tidak adanya kekuatan yang menonjol luar biasa, mempertahankan manfaat situasi saat ini jelas merupakan pilihan terbaik.
Kecuali bahwa Suriah yang menangani "ISIS" dan Al-Qaeda sekarang, ada pula yang memikirkan pengaturan pascaperang, mereka semua memikirkan berapa banyak lahan dan populasi yang dapat mereka kendalikan, berapa banyak pengungsi yang harus mereka serap, dan membangun basis pemilih, karena pada pokoknya mereka harus mempunyai pemilih.
Pernulis dari Al-Watan yang berbasis di Suriah, Bassam Abu Abdullah, menulis dalam sebuah artikel bahwa hegemon global AS tidak akan meninggalkan tujuannya---hanya akan mengubah metode, trik, dan strategi yang digunakan untuk mencapainya.
Banyak analis yang berpikir AS tidak lagi memiliki kekuatan untuk menyembunyikan kejahatannya yang keji, dan tidak akan dapat terus membodohi rakyat Syria lagi.
Dalam enam tahun Perang Suriah, Suriah telah berubah menjadi neraka di di bumi. Perang yang terus menerus berlangsung berkelanjutan telah mengubah banyak kota makmur menjadi reruntuhan. Dan dari perspektif Timur Tengah, akhir Perang Suriah telah memproklamasikan sebagai akhir periode sejarah di Timur Tengah.
AS dan Rusia telah menarik sebuah perbatasan di sepanjang Sungai Efrat. Selama perundingan damai Astana, AS tidak berpartisipasi secara aktif, namun merupakan salah satu penerima. Jika kita melihat negara-negara yang dilemparkan ke dalam kekacauan oleh gerakan 'Musim Semi Arab" (ditengarai buatan AS), masing-masing negara telah  masuk dalam jalur yang berbeda yang mereka jalani. Tunisia pada dasarnya telah dapat dipulihkan menjadi tenang.
Di Mesir, Ikhwanul Muslimin mengambil kendali untuk sementara waktu, namun kekuasaan telah direbut kembali oleh Abdel Sisi, sehingga Mesir telah kembali ke jalur normalnya.
Libya masih dalam keadaan perang dan kacau, dan belum ada hasilnya. Kekacauan Suriah adalah yang terbaru, dan mempelajari beberapa pelajaran dari negara lain. Jadi semua pihak mendukung pemerintah dan berharap tidak digulingkan oleh revolusi kekerasan atas nama "demokrasi." Mereka telah mencapai tujuan ini. Akhir Perang Suriah bisa dikatakan sebagai periode hitam besar untuk mengakhiri Musim Semi Arab. Demkian menurut para pengamat dan nalis Timur Tengah.
Mudah-mudahan Indonesia juga tidak dikacaukan atas nama "demokrasi" dan kebebasan mengemukakan mendapat seperti yang terjadi di dunia Arab dengan gerakan "Musim Semi Arab."
Sumber: Media Tulisan dan TV Luar Negeri
Syria 6 years on: What does the future hold?
As Syrian conflict enters its seventh year, Assad’s future is the sticking poin
How Russia, Iran and Turkey see the future of post-war Syria
The Battle Over Syria’s Future
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H