Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dengan Hancurnya "ISIS" Perang Suriah Akankah Berhenti atau Membesar?

22 September 2017   09:44 Diperbarui: 23 September 2017   07:36 2045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.islamicinvitationturkey.com

Pada 30 Agustus, AS mengumumkan bahwa tentara AS telah diserang di Manbij, sebuah kota di wilayah yang dikuasai Kurdi di Suriah utara oleh pasukan oposisi Suriah "Free Syrian Army," dan keduanya telah saling tembak-menembak.

Pada tahun 2015, setelah Rusia melakukan intervensi dalam situasi Suriah, pada bulan Oktober tahun itu, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung oleh AS diumumkan telah berdiri, dan pasukan utama tentara ini adalah orang Kurdi. Ini membuat rumit hubungan antara AS, Turki, dan Kurdi menghadapi sebuah variabel besar.

Pada bulan Mei tahun ini, Presiden AS Donald Trump memberi wewenang kepada Departemen Pertahanan AS untuk memberikan senjata kepada militan Kurdi--Pasukan Demokratik Suriah yang didukung oleh AS untuk memastikan bahwa mereka berhasil menyerang basis utama "ISIS" di Suriah----Raqqa.

Saat itu, Recep Erdogan menuduh Trump melakukan kesalahan dengan mengatakan: "Yang paling saya harapkan adalah AS memperbaiki kesalahannya dengan segera."

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Vavusoglu bahkan lebih terus terang, dengan mengatakan: Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (Syria's Kurdish People's Protection Unit) and Turkey's Kurdistan Workers' Party (PKK) keduanya adalah kelompok teroris, dan bahwa setiap senjata yang mereka terima merupakan ancaman langsung ke Turki.

Dalam kenyataannya, pada awal Juli, tidak lama setelah penggempuran Raqqa dimulai, Free Syrian Army yang didukung oleh Turki terlibat dalam banyak konflik dengan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (Kurdish People's Protection Unit) yang didukung oleh AS, yang juga dikenal sebagai Pasukan Demokrat Suriah (SDF).

Sarikis Kassargian, Analis Politik Suriah mengatakan: Itu adalah pesan politik bahwa "Jangan coba-coba memberi SDF peran politik." Jadi SDF sekarang memiliki peran militer di lapangan, maka mereka mencoba untuk bernegosiasi ingin mendapatkan kesepakatan dengan AS agar tidak memberi peran politik kepada orang-orang Kurdi di Suriah.

Beberapa komentator percaya bahwa AS harus menerima kenyataan bahwa al-Assad tidak akan jatuh, dan juga harus menerima kenyataan bahwa Rusia telah mendapatkan inisiatif dalam masalah Suriah.

Taliq Analis Politik Suriah mengatakan: "Dari perspektif politik internasional, faktor krisis Suriah terbesar adalah bahwa pengaruh Rusia telah melampaui AS. Saya percaya bahwa AS mengakui bahwa Rusia berada di atas angin."

Selama KTT G20 di Hamburg pada 7 Juli, setelah Presiden AS Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua negara bergabung dengan Yordania untuk mengumumkan pembentukan zona de-eskalasi di Suriah utara.

Pada 22 Juli, Rusia dan Mesir memimpin pembentukan zona de-eskalasi konflik di Damaskus timur laut. Pembentukan zona de-eskalasi konflik di Suriah utara mengindikasikan bahwa Rusia masih membutuhkan AS untuk memainkan peran, namun di sisi lain, hal itu juga mengindikasikan bahwa AS tidak dapat melepaskan pengaruh Rusia di Suriah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun