Pertemuan antara Putin dan Trump pada bulan Juli tahun ini berlangsung tiga jam. Menurut analis, pertemuan ini memainkan peran penting untuk masa depan situasi Timur Tengah. Pertemuan ini berarti merupakan suatu pertemuan yang pada umumnya paling tidak telah menggambarkan lingkup kekuasaan AS dan Rusia di Suriah,
Setelah itu, maka terbentuklah sebuah batas di sepanjang Sungai Efrat. Daerah pegunungan di Suriah utara Sungai Efrat yang pada awalnya dikuasai oleh orang Kurdi pada dasarnya telah dikendalikan oleh AS.
Daerah selatan Sungai Efrat dikendalikan oleh Rusia. Jadi peran AS jelas menjadi menyusut, Tapi penyusutan semacam ini sesuai dengan kepentingan AS. Yang oleh analis di katakan seolah: "Kalian yang lain boleh menempati satu wilayah, tapi jika kita (AS) sangat kesal dengan satu pihak, kita bisa menimbulkan semacam keseimbangan, dan kemudian untuk mempertahankan keseimbangan itu pada setiap saat."
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa meskipun Perang Syria telah bertahun-tahun menjadi tragedi, dan banyak warga sipil menjadi korban dan tewas, hasil akhirnya tidak mengejutkan AS, dan hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap apa yang diinginkan AS.
Balum lama ini, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan bahwa AS tidak berniat untuk tinggal di Suriah setelah "ISIS" dihancurkan.
Dalam situasi saat ini, apakah AS bersedia melanjutkan perang Suriah? Berapa banyak ruang yang tersisa bagi AS untuk ikut campur tangan dalam situasi Suriah? Menjadi suatu yang perlu diperhatikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dukungan Rusia dan Iran, sebuah perubahan telah terjadi dalam situasi di Timur Tengah. Kontes baru akan terjadi antara para pihak di kawasan ini. Apakah ini berarti bahwa pengaruh hegemoni tradisional AS di Timur Tengah akan mulai terkikis di Suriah?
Baru-baru ini, serangan senjata kimia lain yang dicurigai telah terjadi telah melampaui garis merah (redline) Presiden AS Trump.
Pada 8 September, waktu setempat, Hussam Ala, Perwakilan Tetap Suriah di PBB di Jenewa, mengirim sebuah surat ke Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Komisioner Tinggi (UN Human Rights Office of the High Commissioner) yang menuduh dengan Laporan 6 September Komisi Penyelidikan Internasional Independen mengenai Suriah yang mengutuk pihak pemerintah Suriah karena menggunakan senjata kimia dengan tidak profesional dan tidak adil.
Dalam laporan ini dikatakan bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan senjata kimia setidaknya 20 kali selama krisis, termasuk insiden senjata kimia yang terjadi pada bulan April tahun ini, di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib. Laporan tersebut menyatakan bahwa mereka telah mewawancarai 43 saksi, dan juga telah menganalisis citra satelit, waktu serangan, fragmen bom, dan lebih banyak lagi, dan sampai pada kesimpulan bahwa senjata yang digunakan itu buatan Soviet yang dimiliki oleh pemerintah Suriah.
Beberapa analis Suriah percaya bahwa pemikiran laporan tersebut dikeluarkan oleh sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PBB, kebenaran penyelidikan bukti dari penyelidikan Organisasi Rehabilitasi Senjata Kimia (OPCW) patut dicurigai.