Mantan Presiden R.I. Bambang Yudhoyono saat menggelar silaturahim bersama tokoh agama Islam beserta kader dan pengurus Partai Demokrat Jawa Timur di Surabaya, Jumat, 16 Juni 2017. Antara lain dalam siaran persnya ada menyebutkan tiga isu penting yang harus diwaspadai bangsa Indonesia, yakni pertama isu ketidak-akuran antara Qatar dan negara-negara Teluk, kedua maraknya aksi terorisme di negara-negara Eropa, dan ketiga Islamophobia yang mulai mewabah di dunia. Disini penulis hanya akan memamparkan tentang isu Krisis Diplomatik Qatar dengan negara-negara Arab terutama yang bersekutu dengan Arab Saudi.
Terakhir ini tampaknya negara Teluk Qatar berada dalam masa-masa sulit, sembilan negara dan organisasi telah memutuskan hubungan dengan Qatar. Termasuk juga pemutusan pebuh hubungan angkatan laut, angkatan darat, angakatan udara.
Dan pemutusan ini dilakukan dan dipimpin negara tetangganya "saudara besar" di teluk---Arab Saudi.
Sudah hampir 2 minggu telah berlalu, dan badai pemutusan hubungan ini malah tumbuh makin kuat, gejolaknya tidak hanya sebatas negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerjasama Teluk, bahkan telah menyeret lebih banyak lagi negara-negara Timur Tengah dan ekstra-regional.
Jadi, mengapa gejolak ini meletus di GCC yang selama ini dipandang cukup solid bersatu? Mengapa Qatar diblokir oleh saudara-saudara Arabnya? Apa alasan yang mendalam mengapa Qatar dimusuhi saudara Arabnya di semua sisi?
Dengan terjadi peristiwa ini, terjadi pasar saham merosot, kenaikan harga minyak mentah, penutupan perbatasan, penghentian rute penerbangan multinasisonal, terjadinya kepanikan masyarakat melakukan pembelian komoditas supermaket.
Piala Dunia FIFA 2022, juga mungkin bisa terpengaruh. Negara Teluk Qatar, 5 Juni adalah hari bencana, Bahrain, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Yaman, pemerintah militan di Libya timur yang belum diakui secara internasional, secara berturut-turut mengumumkan pemutusan hubungan kerja dengan Qatar.
Kemudian negara kepulauan di Asia Selatan Maladewa, negara kepulauan Afrika Timur Mauritus dan negara Afrika Barat Senegal bergabung dengan badai pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Yordania, yang biasa melakukan politik "penyeimbang diplomatik" mengumumkan akan mengurangi tingkat representasi diplomatiknya di Qatar, dan juga akan mencabut izin operasi TV Al Jazeera di Yordania.
Arab Saudi dan negara-negara yang disebutkan diatas ini, menuduh Qatar mempunyai hubungan dengan Iran, dan melindungi "kekuatan teroris," Â hal ini seolah suatu "Gempa Bumi di Timur Tengah."
"Bild" Jerman menyebutkan insiden ini merupakan krisis diplomatik paling parah di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir ini.
Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Qatar adalah anggota GCC. Sebagai salah satu anggota pendiri GCC, mengapa Qatar menjadi target bagi semua anggota lainnya untuk melakukan blacklist bersama?
Krisis Diplomatik Tampaknya Disebabkan "Berita Hoax"
"Daily Telegraph" yang berbasis di Inggris, memberitakan pada 23 Mei malam lalu, bahwa sebuah website Qatar News Agency (QNA) tiba-tiba menayangkan pidato yang disampaikan oleh Emir Qatar, kepala negara Qatar, Tamimbin Hamad Al-Thani, saat dia menghadiri upacara wisuda dari delapan kelompok lulusan dari akademi militer Qatar.
Dalam pidato tersebut, Al-Thani mengatakan bahwa dia mendukung gerakan perlawanan Islam (Hamas) di Iran dan Palestina, dan mengkritik AS dan Arab Saudi, sementara juga mencela tuduhan Qatar yang mendukung kelompok-kelompok teroris.
Dalam pidatonya, dia juga mengatakan bahwa Iran adalah pusat Islam di kawasan tersebut, dan meningkatnya ketegangan dengan Iran tidak bijaksana. Dia juga mengkritik AS karena kehadiran militernya di Qatar.
Akun Twitter QNA juga mengeluarkan tweet bahwa Kementerian Luar Negeri Qatar menuntut agar duta besar Qatar ke Arab Saudi, Kuwait, UEA, dan Bahrain ditarik, sementara juga mendeportasi para duta besar negara-negara ini dari Qatar.
Berita ini jelas seperti bom megaton, namun segera disahkan oleh media negara-negara Arab.
Beberapa jam kemudian, pejabat Qatar berupaya memadamkan api, dengan mengatakan bahwa situs DNA dan akun Twitter telah diretas, dan telah  mengubah isi pidato tersebut. Kementerian Luar Negeri Qatar juga mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan sepenuhnya menyelidiki serangan hacker ini dan mengejar semua yang tanggung jawab terkait untuk diproses secara hukum.
Tapi insiden ini dengan segera diperparah  dengan cara yang tidak tepat, Bahrain, Arab Saudi, UAE, dan Mesir segera memblokir TV Al Jazeera dan media Qatar lainnya.
"Okaz's" Koran Arab Saudi bahkan lebih keras lagi menurunkan berita: "Qatar telah mengkhianati kita dan memihak musuh."
Apa yang terjadi selanjutnya mendorong insiden tersebut menjadi kressendo. Pada 27 Mei, Emir Qatar memengucapkan selamat kepada Presiden Iran Hassan Rouhani yang dengan sukses berhasil terpilih kembali menjadi Presiden Iran, dan ini tampaknya mengkonfirmasi tuduhan sebelumnya.
Maka ada sebagian analis dan pengamat Timteng yang menamakan insiden ini sebagai "Reportgate" atau "Hackergate". Â Karena kebenaran dari masalah ini belum sepenuhnya di diselidiki dan klarifikasi. Tapi mengapa hal ini bisa mempunyai efek yang begitu besar? Karena informasi laporan tersebut tampaknya sangat realistik, dan informasi laporan tesebut yang paling membuat khawatir anggota GCC.
GCC
(Cooperation Council for the Arab States of the Gulf) Dewan Kerjasama Untuk Negara-negara Arab di Teluk didirikan 25 Mei 1981 di ibukota UAE---Abu Dhabi. Negara-negara anggotanya: Bahrain, Kuwait,Oman, Qatar, Arab Saudi dan UAE, kantor pusatnya didirikan di ibu kota Arab Saudi--Riyadh.
Pembentukan GCC sangat terkait dengan Iran. Ketika Revolusi Iran 1979 dan Perang Iran-Irak pecah, Arab Saudi dan negara-negara lain menjadi sangat khawatir dengan situasi politik di kawasan Teluk, dan ini membuat mereka memutuskan untuk membentuk sebuah organisasi regional untuk menanggapi ancaman bersama mereka pada saat itu---Iran.
Dari semua negara yang mengumumkan putusnya hubungan dengan Qatar, Arab Saudi adalah negara yang mengambil tindakan paling keras. Dengan menghentikan semua penerbangan-penerbangan sipil menuju Qatar, dan menerapkan blokade angkatan laut dan darat, melarang semua mobil dan kapal di Arab Saudi membawa penumpang atau kargo ke Qatar.
Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang berbatasan darat dengan Qatar. Sebelum ini, sebagian besar makanan Qatar dan produk ternak dan pertanian diangkut melalui Arab Saudi ke Qatar. Setelah Arab Saudi mengumumkan bahwa mereka menutup perbatasan dengan Qatar, Qatar menjadi sangat terisolasi.
Seorang ilmuwan politik Saudi mengatakan bahwa alasan mendasar mengapa Arab Saudi telah mengambil langkah-langkah komprehensif seperti itu karena kebijakan luar negeri Qatar telah melampaui batas bawah (botom line) Arab Saudi.
Analis politik Arab Saudi, Hani Wafa mengatakan: Dalam banyak pernyataannya baru-baru ini, Qatar telah mengakui memiliki hubungan yang erat dengan Iran. Ini benar-benar bertentangan dengan kebijakan Arab Saudi dan banyak negara lainnya. Selain itu, Arab Saudi juga percaya bahwa Qatar telah memberikan dukungan kepada Iran dan Syiah di Qatif, yang berada di Arab Saudi timur. Ini adalah isu utama bagi Arab Saudi.
Arab Saudi telah lama memandang Iran sebagai musuh utama regional. Pada bulan Januari 2016, Arab Saudi memutuskan hubungan dengan Iran karena warga Iran menyerang konsulat Saudi di Iran.
Bulan lalu, saat kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi, Arab Saudi menganjurkan pembentukan "pusat global untuk memerangi ideologi ekstremis," yang dipandang sebagai salah satu langkah baru Arab Saudi yang bekerjasama dengan AS untuk menentang Iran.
Pada saat Emir Qatar, yang menghadiri KTT Arab-Islam-Amerika di ibukota Arab Saudi, Riyadh, ia tidak menghadiri upacara pendirian pusat tersebut. Dan pertemuan puncak ini yang diikuti lebih dari 50 pemimpin Arab. Trump dan Raja Arab Saudi berbagi sikap dan bersatu terhadap pandangan mereka terhadap Iran.
Dalam pidatonya saat itu Trump mengatakan: "Saya berdiri di hadapan Anda, namun diskusi tidak lengkap jika ancaman ini tidak mencap (menyebutkan/stamping out) Â pemerintah ini yang telah memberi tiga macam kepada teroris: perlindungan, dukungan finansial, dan status sosial yang dibutuhkan untuk perekrutan. Ini adalah rezim yang bertanggung jawab atas ketidak-stabilan di kawasan ini, tentu saja yang saya maksud ini adalah --Iran."
Padahal Emir Qatar menghadiri pertemuan puncak, dan juga mengadakan pertemuan dengan Trump, namun saat itu dia tidak mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan pidato Trump atau bahwa dia tidak setuju dengan menentang terorisme. Pertemuan ini dilihat oleh Arab Saudi,  bahwa ini membuktikan Qatar menyetujui pidato Trump. Setelah pidato Trump, Arab Saudi memobilisasi negara-negara Muslim yang menghadiri pertemuan tersebut untuk menerbitkan sebuah "Deklarasi Riyadh," yang sebenarnya mengulangi pokok-pokok utama pidato Trump. Dalam  Deklarasi ini juga termasuk Qatar.
Jadi ketika terjadi insiden peretasan, Arab Saudi percaya bahwa Qatar berbalik pada kata-katanya. Apa yang memprovokasi adalah bahwa tindakan pemutusan hubungan dengan Qatar persis hampir bersamaan dengan negara-negara ini. Hal ini membuat pihak lain tidak bisa tidak menduga apakah pemutusan hubungan ini sudah direncanakan sebelumnya.
Sebenarnya menurut para analis Timteng, konflik dan prasangka antara negara-negara Arab dan Qatar, sudah ada sejak lama. Konflik dan sentimen semacam ini yang dapat juga disebutkan prasangka, sudah berangsur-angsur terakumulasi. Maka ketika masalah sensitif semacam "Hackergate" ini terjadi, mereka akan segera membuat keputusan terpadu dalam hitungan menit.
Jika menyangkut maslah beginian, mereka tidak perlu membahasnya teralu banyak, sunguh-sungguh, atau secara komprehensif. Mereka hampir tidak membutuhkan sinyal, bahkan hanya cukup dengan hubungan per tilpon, masalahnya sudah bisa diputuskan.
Qatar Menjadi Fokus Perhatian Dunia
Mengalami keruntuhan hubungan diplomatik ini, perhatian masyarakat internasional terfokus pada Qatar - sebuah negara yang biasanya tidak terlalu banyak menarik perhatian. Qatar memiliki luas wilayah hanya 11.000 km2, dan memiliki populasi hanya 2,5 juta.
Qatar adalah negara kecil di Timteng, namun belakangan ini, pengaruh Qatar telah jauh melampaui lingkup sebuah negara kecil. Bahkan kadang-kadang telah mencuri sorotan dari beberapa negara besar di kawasan itu, yang telah membuat beberapa negara tidak senang.
Jadi, apakah Arab Saudi dan negara-negara lainnya ini memutuskan hubungan dengan Qatar hanya untuk memberi pelajaran kepada negara ini? Atau mereka ini mempunyai tujuan lain?
Menanggapi berbagai negara memutuskan hubungan dengan Qatar pada 5 Juni lalu, Kemenlu Iran mengeluarkan pernyataan yang meminta semua pihak untuk mau mengekang sebisa mungkin, untuk mengurangi konflik, menghindari keputusan emosional dan bertindak rasional.
Dengan Arab Saudi mengumumkan penutupan rute darat, pelabuhan dan wilayah udara. Laporan mengatakan bahwa Iran telah siap untuk mengekspor berbagai produk pertanian melalui pelabuhan Iran di Bandar Abbas, Bushire, dan Bandar Lengeh.
Mohammand Marandi, Professor of International Relations at Tehran University, mengatakan: Saya pikir Iran mencoba untuk menciptakan koordinasi dan kerjasama untuk membantu negara-negara ini memberi tekanan pada Arab Saudi, sehingga mereka akan mulai bertindak lebih rasional dan lebih masuk akal.
AFP melaporkan pada 11 Juni, bahwa juru bicara Iran Air yang dioperasikan oleh pemerintah Iran, memverifikasikan bahwa saat itu Iran telah mengirim lima penerbangan ke Qatar, yang sedang mengalami krisis diplomatik berupa 90 ton makanan, terutama berupa buah-buahan dan sayuran.
Iran mengatakan bahwa jika Qatar meminta lebih banyak bantuan dalam bentuk makanan, Iran akan memberikan bantuan lebih lanjut.
Kesempatan Iran Menanamkan Pengaruh
Kali ini konflik Arab Saudi dengan Qatar yang meningkat tiba-tiba. Iran senang melihat kejadian ini. Mereka berpikir ini kesempatan bagus untuk memperjuangkan Qatar dan membawa Qatar ke dalam pelukannya. Mereka segera menunjukkan tanda persahabatan kepada Qatar.
Pada kenyataannya, bagi Qatar menjaga hubungan baik dengan Iran adalah untuk kepentingan nasional Qatar. Bukanlah karena peristiwa yang terjadi sekarang, ini adalah kampanye kontes selama 7 tahun untuk merebut kekuatan yang lebih kecil yang mencoba mendapatkan lebih banyak kekuatan.
Penilaian umum menganggap Qatar "negara kecil tapi ambisius." Qatar terletak di Semenanjung Qatar di pantai barat daya Teluk, dan dikelilingi oleh Teluk: di barat, utara, dan timur. Terhubung dengan Arab Saudi melalui darat ke selatan, dan dengan Iran melintasi Teluk.
Luas wilayah Qatar hanya 11.000 km2 dan berpenduduk sekitar 2,5 juta, dimana hanya di atas 300.000 yang berasal dari Qatar. Cadangan minyak Qatar terbesar ke-13 dunia, dan cadangan gas alamnya adalah yang ke-3 di dunia. Berkat sumber minyak dan gas alamnya yang kaya, GDP orang Qatar lebih dari 70.000 USD. Qatar pernah terdaftar di majalah "Global Finance" yang berbasis di AS sebagai yang terkaya di dunia.
"El Pais" terbitan yang berbasis di Spanyol menulis sebuah artikel yang mengatakan bahwa Qatar sangat mengesankan bagi Arab Saudi dan Iran, dua negara kuat di wilayah tersebut. Posisi perbatasan geografisnya memaksa Qatar untuk memainkan peran netral.
Qatar dan Iran memiliki hubungan kepentingan yang sangat erat. Yang paling utama adalah kepentingan ekonomi. Dan wilayah produksi gas alam utama Qatar adalah Teluk Persia - ladang gas alam ini dikenal sebagai "Ladang Gas Alam Pars Selatan"( "South Pars natural gas field" ) dan berbagi dengan Iran. Iran mengembangkannya dengan berdasarkan batas-perairan (waterway) internasional yang berbagi berdasarkan kesepakatan internasional, sisi itu adalah gas alam Iran. Dan Qatar mengembangkan gas alamnya di sisi yang merupakan milik Qatar sendiri. Namun, sisi Qatar memiliki area yang sedikit lebih besar, sehingga membuat Qatar dengan gas alam ini menjadi kaya raya. Oleh karena itu Qatar harus menjaga hubungan baik dengan Iran. Hal ini tak terelakkan dan tanpa diragukan lagi.
Qatar Berupaya Bertindak Netral
Dimulai dari tahun 1995, setelah Hamad bin Khalifa Al Thani menjadi Emir Qatar yang kesembilan, dia menggunakan sumber daya minyak dan gas Qatar yang melimpah untuk mempromosikan modernisasi negaranya, dan melaksanakan jalan baru menuju diplomasi komprehensif.
Di satu sisi, Qatar bersekutu setia dengan AS, dan secara aktif mengambil bagian dalam Organisasi Konferensi Islam, Liga Arab dan GCC. Aspek lain juga membuat Qatar menjadi satu-satunya negara Teluk Arab yang menjaga hubungan dagang normal dengan Israel.
Qatar tidak hanya berhasil mendekati Suriah dan Iran, bahkan menghadiri konferensi tingkat tinggi KTT ke-14 kepala negara atau pemerintah Gerakan Non-Blok, di mana ia bertemu dengan pemimpin Kuba Fidel Castro dan Presiden Venezuela Hugo Chavez.
Qatar juga secara aktif memainkan peran sebagai "mediator" Timur Tengah, dan secara khusus membentuk Komisi Bantuan Sudan dan lembaga bantuan luar negeri lainnya untuk menuangkan investasi ke dalam menengahi konflik di negara-negara seperti Sudan, Lebanon, dan Yaman.
Qatar menyadari dirinya negara yang sangat kecil di GCC, dan negara ini menjadi yang  terdekat dengan Iran. Ini membuatnya menonjol, hanya negara kecil di semenanjung dan di bawah Arab Saudi dan UEA. Qatar sendiri sangat sadar bahwa jika dunia Arab dan seluruh GCC mulai berkelahi dengan Iran, Qatar akan menjadi korban pertama dalam serangan dahsyat. Jadi Qatar sangat berhati-hati dalam situasi yang saling beroposisi tetangganya. Ini yang telah membuatnya beradvokasi sesuatu yang unik dan berusaha menjaga hubungan dengan Iran, sehingga Qatar memiliki rute pelarian. Ini bisa dimengerti.
Pada 25 Juni 2013, Hamad bin Khalifa Al Thani dengan sukarela turun tahta, dan mewariskan takhta ke putranya yang berusia 33 tahun Tamim bin Hamad Al Thani. Pada tahun-tahun transisi kekuasaan sebelum itu, Qatar benar-benar melakukan transisi lagi.
Dengan turbulensi di Asia Barat dan Afrika Utara, Qatar meninggalkan perannya sebagai "mediator", dan melakukan intervensi sebagai seseorang yang memiliki proxy dalam turbulensi regional, maka negara kecil dan moderat ini mulai secara dramatis mengiris "kue" dari kekuatan regional utama.
Di antara negara-negara Arab, Qatar adalah yang pertama yang mengerahkan jet tempur untuk ambil bagian dalam operasi militer untuk menggulingkan pemerintahan Muammar Gaddafi. Qatar juga adalah yang pertama yang secara terbuka mendukung militer Arab yang memasuki Suriah.
Tampaknya Qatar menempatkan sebuah taruhan dan berharapan untuk memperoleh redistribusi kekuatan Timur Tengah dalam kekuatan politik Islam yang meningkat di tengah pergolakan ini. Taliban, Hamas, dan organisasi lainnya yang tidak mudah diterima oleh negara-negara Timur Tengah lainnya diizinkan membuka kantor di ibukota Qatar, Doha.
Namun, pada saat yang sama, juga menerima Iran, negara yang mayoritas Syiah. Sikap seperti ini sedikit berbeda dengan perilaku negara-negara Arab lainnya, dan karena ini, banyak tetangga dan sekutu yang tersinggung.
Perilaku seperti ini yang tidak dapat diterima di mata Arab Saudi dan negara-negara lain. Setelah negara-negara lainnya gregetan beberapa lama, konflik akhirnya meletus di depan umum.
Peran Qatar juga dimainkan melebihi peran yang seharusnya dimainkan, dengan menggunakan TV Al Jazeera, dan hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan Iran, dan situasi ini tidak dapat bertahan lama. Dengan Qatar memainkan peran utama seperti itu, dunia Arab pasti membendung lingkup dan kedalaman pengaruhnya.
Jadi tampaknya Arab Saudi dan negara-negara lainnya memutuskan hubungan bersama-sama dengan Qatar adalah suatu hukuman kepada Qatar, yang selama ini mejadi duri dalam daging mereka. Tindakan ini mungkin bagi Arab Saudi untuk tujuan membangun prestise di GCC, Liga Arab, dan Dunia Islam.
Qatar yang mengalami pemutusan hubungan diplomatik yang begitu cepat, sehingga tidak sempat bereaksi. Lalu bagaimana Qatar menangani badai dipolmatik yang mendadak ini adalah merupakan satu ujian berat.
Qatar sangat berharap masyarakat internasional dapat menengahi ini, dan membuat badai ini berlalu lebih cepat. Sikap AS terhadap Qatar sangat penting pada saat ini. Sebagai sekutu baik dengan Arab Saudi maupun Qatar, bagaimana AS akan memilih?
Siapa yang akan memainkan peran penting dalam menetralisir krisis ini?
Menurut sebuah laporan CNN, Menteri Pertahanan AS bertemu dengan Menteri Pertahanan Qatar Khalid bin Mohammad Al Attiyah pada tanggal 14 Juni waktu setempat, dan mencapai kesepakatan AS untuk penjualan pesawat tempur. Qatar akan membeli 36 jet tempur F-15 Hawk dari AS dengan total 12 miliar USD.
Hal ini terjadi tepat setelah AS mengkritik Qatar karena mendanai terorisme, dan AS menjual pesawat tempur ke Qatar. Serangkaian tindakan pemerintah AS membuat satu goresan pada kepala mereka untuk kebijakan Timur Tengah. Dan situasi seperti ini telah terjadi berkali-kali setelah krisis diplomatik Qatar terjadi.
Pada  9 Juni, pada saat dalam sebuah konferensi pers, Menlu AS Rex Tillerson meminta Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir untuk melonggarkan blokade melawan Qatar, dan bahwa semua pihak melakukan dialog untuk mencegah agar keadaan tegang tidak meningkat. Dia menunjukkan bahwa blokade tersebut merugikan bisnis perusahaan AS dan negara-negara lain yang berada di Qatar, dan dapat menghalangi operasi militer AS untuk memerangi ekstrimis.
Tapi kurang dari dua jam kemudian, Trump mengatakan kepada Media bahwa selama kunjungannya ke Arab Saudi bulan lalu dan pertemuannya dengan banyak pemimpin negara Arab dan Islam, beberapa pemimpin telah berbicara dengannya tentang bagaimana "berurusan dengan" Qatar.
Pada saat itu, Trump, Tillerson, dan seorang pejabat senior militer AS telah memutuskan bahwa itu "saatnya memaksa Qatar untuk menghentikan pendanaan kepada terorisme."
Trump mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan Arab Saudi dan yang lainnya terhadap Qatar "dingin tapi perlu."
Sehingga AP menyebut ucapan yang dilakukan oleh Tillerson dan Trump pada hari yang sama dengan "pesan yang saling bertentangan" itu menunjukkan "diplomasi yang kacau."
Selama krisis diplomatik ini, Trump memiliki beberapa posisi. Arti dari sikap ini tampaknya saling bertentangan, tapi sebenarnya sama saja. Ketika sampai pada isu Qatar, Trump memiliki dua kalimat yang ingin dipastikan dengan jelas tentang krisis Qatar ini. Pertama, dia mendukung negara-negara Arab yang memberi pelajaran kepada Qatar. Yang kedua, ia ingin mempertahankan hubungan khusus antara AS dan Qatar.
Pejabat Pentagon secara pribadi mengatakan kepada media bahwa mereka terkejut dengan pernyataan Presiden Trump. Qatar adalah sekutu militer penting AS. Militer AS di pangkalan militer Al Udeid dekat Doha, Qatar adalah pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah dengan lebih dari 10.000 tentara AS di sana---ini adalah sebuah kamp garis depan untuk pasukan kontraterorisme AS di Timur Tengah. Jadi, bisa diketahui betapa pentingnya Qatar sebagai sekutu AS?
Salain itu, AS memiliki pangkalan militer besar di Qatar. Pangkalan militer ini berkemampuan untuk mendarat dan meluncurkan semua pesawat AS, termasuk B-52. Jika terjadi akan mengisolasi dan menghukum Iran, dan situasi ini jika berevolusi menjadi hukuman militer, maka pangkalan udara yang dimiliki AS di Qatar akan menjadi basis penjaga terdekat AS ke Iran.
Jadi keberadaan dan operasi normal basis ini adalah bottom line Trump, kartu terakhir yang dimiliki Trump. Dia harus berpegang pada itu, namun dia tidak memainkannya dengan cantik. Sama halnya dengan Qatar, keberadaan pangkalan AS ini merupakan perlindungan terbaik pemerintah dan teritorinya. Jadi keadaannya tidak ada situasi di mana Qatar bisa merusak hubungannya dengan AS.
Namun ada beberapa analisis yang  mengatakan bahwa meski pangkalan militer di Qatar sangat penting bagi kedua negara, tapi hal itu bukannya tidak dapat digantikan oleh AS. Saat ini, teknologi militer sangat maju dan sangat modern. Jika AS terlibat dalam operasi militer di negara lain atau di kawasan Timur Tengah, tidak masalah jika basisnya berada di Qatar, Bahrain, atau Arab Saudi.
Tapi bagaiamanapun dua sekutu terpentingnya di Timur Tengah yang memiliki perselisihan yang begitu parah jelas bukan hal yang baik bagi AS, dan niscaya akan membahayakan kepentingan nasional AS jika terus berlanjut.
Sebenarnya, AS sangat cemas, karena kunjungan Trump ke Arab Saudi baru saja berakhir, yang berusaha bersama dan memperluas koalisi regional untuk menekan Iran. AS berharap bisa memainkan peran dalam menggulingkan Iran secara efektif. Pada saat kritis ini, karena ada keretakan seperti ini, yang menjadi inti koalisi untuk menekan Iran - GCC, ini pasti akan mempengaruhi keefektifan koalisi tersebut, dan menyebabkan keefektifan kunjungan Trump ke Arab Saudi bisa menjadi tidak efektif beberapa derajat, dan ini akan berpengaruh terhadap langkah selanjutnya dalam desain strategis AS untuk Timur Tengah.
Antisipasi Qatar
Apa yang perlu juga dipikirkan, tidak lama setelah krisis diplomatik ini terjadi, Menlu Qatar pertama pergi ke Jerman dan Rusia.
Pada 10 Juni, waktu setempat, Menteri Luar Negeri Qatar Mohammad bin Abdulrahman Al-Thani mengunjungi Rusia, di mana dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Dalam pertemuan ini Lavrov mengatakan, bahwa Rusia meminta semua pihak terkait untuk menyelesaikan perbedaan mereka saat ini melalui perundingan dengan syarat saling menghormati. Dia mengatakan bahwa Rusia telah mempersiapkan diri untuk membantu menengahi krisis diplomatik ini, namun dia juga menekankan bahwa Rusia tidak akan mengganggu politik domestik atau hubungan bilateral negara lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa menurut laporan 11 Juni dari RIA Novosti, Menteri Luar Negeri Qatar Mohammad bin Abdurahman Al-Thani mengatakan dalam sebuah wawancara dengan saluran Berita Rusia-24 bahwa "Iran telah secara aktif mengusulkan untuk memberi kami bantuan, seperti negara yang lainnya. Rusia juga menyebutkan pemberian bantuan bila diperlukan, namun saat ini tidak diperlukan. Qatar dengan lembut menolak bantuan lebih lanjut dari Iran dan Rusia.
Secara geografis, Qatar adalah negara GCC, dan area interaksi sangat menonjol dengan Iran, namun dalam perselisihan ini, Qatar tidak ingin berperan sebagai garda depan. Sebagai negara kecil, sebagai negara yang cukup aktif secara ideologis, Qatar berharap bisa memainkan peran yang cukup konservatif di tengahnya. Itu tidak berarti Qatar telah memihak Iran sepenuhnya.
Upaya Menyelesaikan Krisis Diplomatik
Berbagai tanda menunjukkan bahwa kemungkinan krisis diplomatik Qatar saat ini diupayakan diselesaikan melalui mediasi diplomatik terus meningkat, dan beberapa negara yang memutuskan hubungan telah mengeluarkan isyarat untuk memulihkan hubungannya.
Langkah selanjutnya mungkin adalah tahap negosiasi yang kompleks, tapi apa yang ada di balik krisis diplomatik menyoroti keberlanjutan saat ini dari ekosistem politik Timur Tengah. Beberapa konflik yang mengakar membatasi situasi damai di Timur Tengah.
Situasi Tradisional Timur Tengah
Ekosistem sosial semacam ini, di mana berbagai negara dan sekte religius telah ada dan menentukan beberapa konflik tetap ini. Tapi berbeda waktu, konflik utama tampak juga berbeda. Selama Perang Dingin, yang terjadi terutama konflik Arab-Israel. Setelah Perang Dingin, setelah Revolusi Iran, dengan cepat menjadi konflik antara Persia, Iran, dan seluruh dunia Arab. Revolusi dan pertentangan dari konflik ini sangat kejam. Orang-orang Arab dan Yahudi bertempur dalam banyak peperangan. Perang Iran-Irak sangat kejam. Ini berlanjut selama delapan tahun, dan lebih dari satu juta orang meninggal, dan ini semua menyebabkan kerusakan besar-besaran. Segera setelah itu, terjadi kontraterorisme, dan dunia Arab mendukungnya. Seiring hal semacam ini mendidih, kekuatan Iran telah berkembang menguat lebih jauh, terutama karena mereka memiliki tenaga nuklir, dan karena itu, orang-orang Arab dalam keadaan berusaha untuk mengejar dan menentangnya.
Jadi jika kita melihat bagaimana semua negara Arab ini menolak untuk membiarkan tindakan ini dilakukan oleh negara kecil Qatar, dan bersikeras untuk memberinya sebuah pelajaran, alasan utamanya ada di sini --- jika mereka tidak memberi pelajaran itu, maka kekuatan mereka akan lemah dalam oposisi di masa depan antara negara-negara Arab dan Iran.
Kawasan Timur Tengah oleh analis dan banyak peneliti disebut seperti tong bubuk bahan peledak (sumbu pendek). Gargash Menlu UAE menyebutkan pengucilan Qatar bisa berlangsung lama bertahun-tahun. Saat ini, krisis diplomatik Qatar telah menambahkan faktor lain yang tidak stabil ke dalam hubungan regional yang kompleks. Para pemain utama di dunia semua telah mengekspresikan sikap mereka sendiri, dan masyarakat internasional telah terlibat dalam mediasi.
Saat ini, tekanan ganda diplomatik dan ekonomi yang dihadapi Qatar akan memaksanya membuat pilihan. Sangat mungkin Qatar akan menyerah pada beberapa penyelesaian diplomatik yang telah ditangani dengan susah payah selama bertahun-tahun, dan bernegosiasi untuk membebaskan diri dari situasi isolasi ini, dan menarik kembali ke kawasan Teluk, atau bahkan mungkin juga menggambar ulang tata letak baru Kekuasaan di Timur Tengah.
Tapi tidak peduli apapun, karena perang melawan terorisme saat ini di Timur Tengah telah memasuki fase yang paling penting, mampukah mereka mempertahankan persatuan internasional negara-negara Arab sebagai kemungkinan menjadi pilihan yang menguntungkan setiap orang.....
Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negri
https://www.theguardian.com/football/world-cup-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H