Pada bulan Juli 2015, selama masa pemerintahan Obama, enam negara terlibat dengan isu nuklir Iran dan Iran telah mencapai kesepakatan komprehensif mengenai masalah nuklir Iran.
Menurut kesepakatan tersebut, Iran berjanji untuk membatasi dan menunda rencana niklirnya dan sepakat menerima pengawasan ketat dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dengan imbalan atas pelepasan sebagian besar sanksi finansial dan perdagangan Iran.
Sehari sebelum mengucapkan pernyataannya, Tillerson mengatakan dalam sidang Kongres rutin yang berlangsung setiap tiga bulan pada 18 April lalu, Iran masih belum melanggar perjanjian nuklir Iran, namun Iran “masih menjadi sponsor terorisme” dan perjanjian nuklir yang telah ditanda-tangani dengan Iran tersebut terutama telah gagal.
Tidak ada bukti yang mengatakan bahwa Iran telah melanggar kesepakatan ini, itu tidak sesuai dengan kenyataan. Dan AS sangat menyadari hal itu, Pemeritnahan Trump sebenarnya beraksi dengan motif tersembunyi. Dia sebenarnya tidak mengambil tindakan apa-apa hanya ingin tahu apakah perjanjian nuklir Iran harus dilaksanakan atau tidak, semacam peringatan kepada Iran. Dia memperingatkan Iran jangan dikira semua itu baik-baik saja dan tidak perlu takut pada AS hanya karena memiliki perjanjian nuklir Iran.
Pada 19 April lalu ketika Menhan AS James Mattis mengunjungi Arab Saudi, dia mulai membuat ucapan yang menyerang Iran, juga dalam ucapan lain ada menyerempet-nyerempet tentang Iran. James Mattis mengatakan saat bertemu dengan Raja Salman: “Kemanapun Anda melihat, jika ada masalah di kawasan Anda (Timteng) pasti disitu ada Iran.”
Seperti diketahui, Saudi dan Iran adalah dua negara instrumental di Timteng. Yang satu Sunni dan satu lagi Syiah, sudah menjadi musuh bebuyutan.
Arab Saudi adalah salah satu sekutu utama AS di Timteng. Kedua negara membentuk aliansi saat berakhirnya P.D. II. Arab Saudi menukarkan perjanjian minyak dengan imbalan perlindungan keamanan dari AS, hubungan mereka sangat baik.
Namun selama pemerintahan Obama, sikap AS terhadap isu nuklir Iran dan isu Syria membuat Arab Saudi marah, dan terjadi keretakan hubungan antara AS-Arab Saudi.
Obama membentuk citra damai untuk dirinya sendiri dan mendapat pujian di AS, ini sesuai dengan cita-cita pemerintah Demokrat, namun di saat yang sama, juga membawa fakktor potensial diplomatik baru yang tidak stabil ke AS---itulah Israel, Arab Saudi, negara-negara Teluk Arab lainnya, dan bahkan seluruh dunia Arab khawatir tentang peran AS.
Pad 14 Maret, Presiden AS Trump bertemu dengan Menhan Saudi Mohammed bin Salman Saud, dan keduanya mencapai sikap bersatu mengenai masalah Iran “untuk menentang tindakan Iran untuk menstabilkan kawasan tersebut dan juga terus menilai secara ketat tentang penerapan perjanjian nuklir Iran.
Pada 19 April “pukulan satu dua” ditujukan kepada Iran. Di Washington D.C. Menlu Tillerson mengumumkan sebuah penilaian komprehensif kebiajakan AS untuk Iran. Dan di Riyadh, Menhan AS Mattis memperkuat tekad Arab Saudi , memastikan bahwa AS akan membantu menekan Iran.