Setelah Trump memenangkan pemilu, beberapa penerbitan AS percaya bahwa kemenangannya dikarenakan dukungan besar dari kaum pekerja krah putih dan biru (pekerja kasar dan pekerja perkantoran/white and blue collar class) AS. Setelah krisis keuangan, pemulihan ekonomi AS tidak memiliki kekuatan, dan kesenjangan pendapatan terus tumbuh, sedang kelas menengah telah menyungsut.
Banyak dari kaum pekerja kelas krah biru dan putih mengeluh bahwa manfaat dari pembangunan ekonomi telah diambil dan dinikmati oleh kaum elit Wall Street, sementara kehidupan mereka terus memburuk. Dan image atau gambaran dari Trump yang di bentuk selama kampanye adalah salah satu anti-tradisonalis dan anti-elitis.
Pemilih yang mendukung Trump percaya bahwa Trump tidak seperti orang-orang politisi “snake oil” (licin bak belut), yang menghindari kenyataan ini, Trump mengatakan hal-hal yang mereka ingin mengatakan, tapi tidak bisa, sehingga membuat dia sebagai juru bicara bagi mereka di arena politik tertinggi.
Pada 5 Nopember, akhir pekan terakhir sebelum pemungutan suara, Trump dan Clinton memasuki babak akir kampanye. Di hari yang sama, kedua kandidat bergegas ke berbagai tempat dan lokasi dalam upaya memenangkan lebih banyak pemilih, terutama di negara bagian yang masih goyah (swing state). Selama waktu itu Trump bekerja keras untuk membentuk citra anti-establishment (pandangan anti kemampanan atau kepercayaan adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip sosial, politik dan ekonomi konvensional masyarakat.)
Trump mengatakan: “Dia (Hillary) pernah di Oval Office (Kantor Kepresidenan AS Gedung Putih), Hillary dan kepentingan khususnya akan merampok habis-habisan negeri ini. Inti dari pemilihan kali ini sangat sederhana : Apakah negara kita akan di kelola oleh orang-orang atau kelas politik yang korup?”
“Dia itu orang dari luar dunia politik.” ---“New York Time” memberi komentar ini setelah Trump mengumumkan pencalonannya. Keseluruhan selama dalam proses kampanye, tidak menggunakan kata-kata santun dan resmi yang biasa digunakan pejabat yang berkomentar sopan, ia juga tidak memiliki gaya dan berprilaku apik dan bersih, dia selalu berjalan ditepian pisau cukur untuk “selalu membuat pernyataan yang mengejutkan.” Hal ini mungkin yang membuat para pemilih melihat Trump lebih nyata atau realistis dan asli di mata banyak pemilih, tidak seperti politisi lain yang selalu memakai topeng.
Masyarakat Amerika membenci status quo dan kepada para pemimpin politik saat ini. Mereka berpikir bahwa orang-orang ini tidak mewakili kepentingan mereka dengan cukup baik, pemimpin dan politisi ini tidak mendengarkan suara mereka dan menanggapi tuntutan mereka. Alasan ini yang oleh analis dianggap sebagai alasan penting. Seperti Jeb Bush dari Republikan yang awalnya disukai orang bahwa dia mampu dan banyak lagi “presiden AS” lainnya, tapi pada akhirnya mereka tidak berbuat lebih jauh. Ini benar-benar menunjukkan bahwa publik AS sangat tidak suka establishment/kemampanan dan mereka berharap ada perubahan.
Trump dilihat rakyat Amerika bisa membawa perubahan. Di AS tidak perduli apa yang dipikirkan politisi di depan umum, mereka harus belajar sistem berbicara yang disebut “political correctness” (kebenaran politik). “Kebenaran Poltik” AS bertujuan untuk melindungi kelompok-kdelompok yang kurang beruntung dari diskriminasi dan segala pelanggaran (violation). Namun saat ini di AS, suara political correctness dengan teguh berada di tangan politisi liberal dan media, jadi political correctness adalah segalanya.
“Political correctness” telah menyebabkan semua orang terlalu takut menyinggung pemilih. Seperti ketika membahas imigran ilegal, terutama untuk masalah agama, ketika mempersoalkan Islam, semua orang takut, semua orang coba menghindari berbicara masalah ini. Begitu tiba-tiba mendengar ada seseorang yang sangat lantang mengemukakan hal ini, langsung menyadari bahwa mereka menghadapi beberapa masalah yang sangat parah yang mereka percaya ada di masyarakat AS, banyak orang percaya bahwa ia telah setidaknya telah mengangkat masalah ini. Demikian menurut pandangan para ahli masalah Amerika.
Selama debat Super Tuesday (25 Peberuari 2016, debat antar kandidat Republikan tentang imigarsi) moderator wanita dengan sangat marah menanyakan kepada Trump “Mengapa membangun tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko dan tidak sepanjang perbatasan dengan Kanada? Itu rasis.”
Media mainstream membahas masalah atas sikapnya. Tapi mereka itu tidak menyadari bahwa justru sikapnya yang melampaui political correstness yang mendorong Trump yang tanpa pengalaman berpolitik dan bukan berlatar belakang politik, masuk ke Kantor Oval (Gedung Putih).”