Menurut para pakar berdasarkan aturan prinsip dasar dari UNCLOS dan hukum internasional, ada dua kondisi : Pertama adalah semua metode diplomatik harus dicoba. Antara Tiongkok dan Filipina, ada saluran negosiasi diplomatik dan mekanisme dialog normal untuk menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan yang masih belum dicoba, jadi tidak semua metode diplomatik telah dicoba. Ini bisa dianggap melanggar prinsip dasar hukum internsional yang harus dipatuhi.
Belum lama ini, seorang mantan pegawai senior dalam urusan maritim di Filipian di Dempartemen Kemenlu Filipina—Albert Encomiena mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa selama dalam pemerintahan Aquino III, Departemen Kemenlu Filipina percaya bahwa sejak lebih dari 50 putaran negosiasi antara Tiongkok dan Filipina telah dilakukan antara tahun 1995 dan 2012, dan sengketa belum juga terselesaikan, maka semua itu menyebabkan diajukan ke pengadilan arbitrase.
Tapi semua itu Kemenlu Filipina telah bohong, karena pada saat itu dia yang bertanggung jawab atas masalah ini. Dan dia tahu semua detail dari peristiwa ini, Tiongkok telah  terus menerus meminta Filipina untuk bernegosiasi, tapi Filipina tidak pernah merespon.
Untuk hari ini, Tiongkok masih mengatakan kepada Filipina bahwa kita masih bisa duduk dan berbicara—pintu Tiongkok selalu terbuka untuk berbicara, tapi Filipina terus menolak negosiasi dan konsultasi dengan kami.
Aspek lain adalah pengadilan arbitrase Laut Tiongkok Selatan didirikan atas permintaan Filipina telah menarik kecurigaan dan hati-hati bagi masyarakat internasional karena ekspansi dan penyalahgunaan kekuasaan. Demikian menurut komentator Tiongkok.
Pada 26 Juni 2016, lebih dari 26 pakar hukum internasional dari Asia, Afrika, Eropa dan negara-negara Amerika mengadakan simposium akademik (seminar ) di Den Haag, Belanda, mengenai kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan Pengaruhnya Terhadap Hukum Internsional.
Mereka menyerukan kepada dunia hukum internasional untuk menafsirkan UNCLOS secara komprehensif dan secara keseluruhan yang tepat, dan mempromosikan negosiasi langsung dari sengketa Laut Tiongkok Selatan sebagai metode yang efektif lebih rasional untuk resolusi yang lebih bermanfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dan masyarakat internasional.
Akar masalahnya sekarang, apakah pengadilan ini sebanarnya memiliki yurisdiksi atas/atau kemampuan untuk menerima kasus arbitrase yang diajukan Filipina ini.
Banyak pakar yang berpendapat pengadilan ini tidak mempunyai yurisdiksi hukum atas kasus ini. Dengan kata lain sebenarnya tidak  bisa menerima kasus arbitrase ini. Jika memang telah mencapai keputusan ini dalam persidangan tahun lalu, maka pada kenyataan, itu semua akan berakhir---dan pengadilan sementara ini sudah seharusnya berakhir tahun lalu.
Tapi sayangnya, pengadilan ini telah melakukan kesalahan, dan mereka memutuskan untuk pengadilan ini terdiri dari lima orang yang memiliki yurisdiksi dan kemampuan untuk menerima hal ini.
Pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi atas masalah kedaulatan dan perbatasan, dan menentukan hak maritim individu pulau dan terumbu seperti yang satu itempun dari apa yang telah diargumentasikan itu milik siapa. Ini adalah cacat hukum dan vonis tidak sah. Jika anggota tribunal ini mencapai vonis mengenai ini milik siapa. Mereka telah jauh lebih melangkahi batas wewenang mereka. Demikian menurut Mantan Komisi Hukum Internsional PBB—Rao Pemmaraju.