Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ini Alasan Tiongkok Menolak Keputusan Tribual Arbitrase Filipina

26 Juli 2016   20:22 Diperbarui: 28 Juli 2016   15:50 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 12 Juli 2016, Tibunal Arbitrase (Majelis Arbitrase) untuk arbitrase Laut Tiongkok Selatan menerbitkan keputusan atau award yang mencoba untuk menyangkal kedaulatan dan hak maritim serta kepentingan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Sebagai tanggapan dari keputusan ini, Tiongkok mengeluarkan Pernyataan pada tanggal 12 dan 13 Juli 2106, berupa sebuah Buku Putih yang menyatakan Tiongkok berhak Mentaati Posisi Perkenalan Melalui Negosiasi Perselisihan Relevan antara Tiongkok dan Filipina di Laut Tiongkok Selatan, yang menyatakan posisi khidmat Tiongkok untuk Tidak menerima dan tidak mengakui award (keputusan), dan menegaskan kembali kedaulatan dan hak maritim dan kepentingan teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Pengamat Tiongkok mengatakan bahwa peningkatan habis-habisan kampanye kotor melawan Tiongkok dengan mendistorsi fakta dasar telah dilakukan untuk arbitrase tersebut, dimana negara-negara tertentu menggunakan hukum internasional sebagai alasan untuk mengejar agenda tersembunyi mereka.

Mereka mengatakan, beberapa tahun terakhir, negara-negara tertentu di luar kawasan, dengan didorong oleh agendanya sendiri, telah sering melakukan intervensi dalam masalah Laut Tiongkok Selatan dengan dalih menjunjung tinggi “kebebasan navigasi” dan “memelihara perdamaian kawasan” yang mengarah pada eskalasi ketegangan.

Masalah Laut Tiongkok Selatan adalah masalah antara negara pantai sekitarnya, dan harus diserahkan kepada negara-negara yang bersangkutan untuk menyelesaikan melalui negosiasi damai.

Tiongkok menyatakan mereka tidak pernah menolak hak hukum dan kepentingan negara-negara non-regional di laut Tiongkok Selatan, menyerukan negara-negara yang relevan untuk menghormati pilihan independen Tiongkok dan negara-negara tetangganya di Laut Tiongkok Selatan untuk melakukan lebih banyak memfasilitasi perdamaian yang berkelanjutan dan stabilitas di kawasan ini.

Untuk hubungan Tiongkok-Filipina, mereka mengatakan arbitrase ini merupakan kendala politik terhadap peningkatan hubungan Tiongkok dan Filipina, dan Tiongkok menyerukan pemerintah baru Filipian untuk ingat dengan kepentingan umum dari kedua negara dan gambaran yang lebih luas dari ikatan bilateral dan benar-benar menangani isu yang relevan.

Isu Laut Tiongkok Selatan bukan masalah antara Tiongkok dan ASEAN, dan Tiongkok menyatakan akan memelihara komunikasi dan konsultasi dengan negara-negara anggota ASEAN yang langsung berkepntingan untuk mengatasi perselisihan tertentu dengan cara yang tepat.

Kisah Pengajuan Arbitrase Filipina

Pada 22 Januari 2013, Filipina mengajukan pernyataan kepada Kedubes Tiongkok di Filipina, mengumumkan bahwa mereka akan menyerahkan isu Laut Tiongkok Selatan ke Arbitrase.

Pada 19 Pebruari 2013, Kedubes Tiongkok dengan tegas menolak untuk mengambil bagian dalam arbitrase yang diajukan Filipina. Tiongkok menganggap Filipina telah melanggar beberapa konsensus diplomatik dan mekanisme negoasiasi yang telah disepakati sebelumnya, jadi Tiongkok tidak bisa menerimanya.

Pada 2013, arbitrase sementara untuk Laut Tiongkok Selatan dibentuk. Lima angggota arbitrase dikonfirmasi. Dari mereka Filipina mengirim angggota dari Jerman untuk Hukum Laut (UNCLOS)-Rudiger Walfrum untuk mewaklili Filipina dalam pengadilan arbitrase.

Ilustrasi: Youtube.com
Ilustrasi: Youtube.com
Karena Tiongkok tidak menerima dan tidak akan ambil bagian dalam arbitrase, sisa anggota di tunjuk oleh mantan diplomat pengalaman Shunji Yanai yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden ITLOS dan empat anggota hakim lain: Thomas A. Mesh dari Ghana, Stannishlaw Pawlak dari Polandia, Jean- Pierre Cot dari Prancis, dan Alfred H.A. Soons dari Belanda.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pertama-tama, itu bukan ITLOS  (the International Tribunal for the Law of the Sea ). Kedua, itu bukan PCA (Permanent Court of Arbitration) di Den Haag, itu hanya pengadilan sementara arbitrase yang dibentuk dibawah ITCLOS khusus untuk kasus ini. Sikap Tiongkok atas gugatan internasional Filipina tetap jelas dan pasti tidak menerima atau tidak akan berpartisipasi dalam arbitrase, sikap ini tidak akan berubah.

Pada 7 Desember 2014, Departemen Luar Negeri Tiongkok secara remi merilis “Paper on Position of the Government of the People’s Republic of China on the Matter of Jurisdiction in the South China Sea Arbitration Initiated by Republic of the Philippines,” (Dokumen resmi tentang Posisi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok Pada Masalah Yuridiksi Arbitrase di Laut Tiongkok Selatan yang diprakarsai oleh Republik Filipina).

Secara komprehensif dan sistemik menggambarkan sikap resmi pemerintah Tiongkok mengenai masalah yurisdiksi arbitrase di Laut Tiongkok Selatan---bahwa tribunal arbitrase ini tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus Laut Tiongkok Selatan yang secara sepihak diajukan oleh Filipina, dan cacat hukum berdasarkan hukum internasional. Dan posisi Tiongkok untuk tidak menerima atau mengambil bagian dalam arbitrase yang diajukan Filipina mempunyai dasar hukum yang kuat berdasarkan hukum internasional.

Pada 29 Oktober 2015, tribunal arbitrase Laut Tiongkok Selatan membuat keputusan menerima gugatan tersebut, pemerintah Tiongkok dengan segera mengumumkan bahwa setiap keputusan terkait masalah ini tidak efektif dan mengikat.

Pada tahun 2006 berdasarkan UNCLOS pasal 298 mengenai kepemilikan bersejarah perbatasan maritim, operasi militer, dan operasi penegakan hukum. Tiongkok membuat pernyataan mengklasifikasikan sebuah kekecualian, bahwa Tiongkok tidak bisa akan menerima prosedur pemaksaan untuk menyelesaikan masalah apapun tentang batas matitim.

Sifat khusus arbitrase Filipina yang melibatkan kasus teritorial dan perbatasan maritim. Seperti diketahui mengenai kedaulatan teritorial, dalam UNCLOS tidak tercakup mengenai sektor dan skala ini. Dan Tiongkok telah menciptakan pengecualian mengenai batas maritim.

Isu Laut Tiongkok Selatan menjadi rumit karena keterlibatan negara utama ekstra-teritorial telah berusaha untuk ikut intervensi.

Pada 18 Juni 2016, kapal induk bertenaga nuklir USS Nimitz-Klas:  USS John C. Stennis dan USS Ronald Reagan membentuk group tempur ganda kapal induk. Dua kapal induk ini melakukan saling lepas landas beberapa jet tempur dan helikopter untuk menampilkan kekuatan militer dari kelompok tempur ganda.

Ilustrasi: Youtube.com
Ilustrasi: Youtube.com
Selain itu, “Kyodo” kantor berita Jepang, melaporkan bahwa menurut intelijen AL- AS , Angkatan Laut AS akan mengerahkan tiga kapal induk perusak Klas Arleigh Burke ke Laut Tiongkok Selatan, untuk mulai “melakukan operasi pengamanan dan pengintaian” di Laut Tiongkok Selatan.

Pada akhir Juni 2016, tiga kapal perusak tiba di Laut Tiongkok Selatan, AS telah menjadi “tangan tak terlihat” dibalik ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.

Shannon Ebrahim, seorang komentator berpengalaman Afrika Selatan, pada awal Juni tahun ini, di Shangrila Dialogue yang diadakan di Singapura, dan seorang pejabat senior Jepang mengatakan akan membantu Asia Selatan untuk menekan Tiongkok. Tanda-tanda segala macam intervensi kekuatan utama sudah ada untuk mempengaruhi keputusan arbitrase sekarang ini oleh “Tribunal Arbitrase Laut Tiongkok Selatan,” ini semua mengirim sinyal berbahaya bagi masyarakat internasional.

Sebagaian analis bahkan prihatin bahwa ini bahkan berbahaya untuk seluruh kawasan. Dengan dukungan dari negara-negara utama/besar ekstrateritorial kepada beberapa negara di kawasan ini secara sepihak, tanpa otorisasi, dan mendistorsi hukum internasional yang kemudian digunakan untuk menciptakan ketidak stabilan di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Jika hal ini dilakukan, banyak analis yang mengkhawatirkan akan semakin banyak situasi yang sama akan terjadi di kawasan lain di masa yang akan datang. Dari sudut internasional, ini jelas merupakan sinyal yang sangat berbahaya, karena adanya undang-undang internasional dan domestik yang berbeda.

Hukum internasional adalah jenis dokumen internasional yang semua negara berdaulat menyepakati melalui konsensus melalui proses negosiasi. Ini adalah janji antara semua negara. Dan jika sekarang ada beberapa negara yang melanggar janji ini, dan menafsirkan hukum internasional tanpa otorisasi dengan menggunakan metode mereka sendiri. Jika preseden ini tidak terkendalikan, di masa depan akan lebih banyak kasus di masyarakat internasional yang akan menyalah gunakan hukum internasional.

Seorang mantan penasehat hukum dari Kantor Luar Negeri & Kesemakmuran Inggris (the UK’s Foreign & Commonwealth Office) – Chris Whomersley, baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel yang menuliskan, bahwa jika arbitrase memungkinkan Filipina untuk mengingkari janjinya dalam Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan (DOC), dan terus mendorong maju arbitrase, metode (cara) ini untuk menangni masalah ini, maka akan menajdi “pratek buruk” yang akan menyebabkan potensi gangguan bagi stabilitas keseluruhan hubungan internasional.*1

Whomersley sudah berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam hukum di luar negeri Inggris dan di Kantor Kesemakmuran Inggris, seorang yang pengalamannya tidak diragukan lagi dalam hukum maritim internasional. Dan juga banyak ahli hukum internasioanl yang berpendapat sama.

(*1 The South China Sea: The Award of the Tribunal in the Case Brought by Philippines against China—A Critique  by  Chris Whomersley.  The Author 2016. Published by Oxford University Press 

Chinese Journal of International Law Advance Access published June 6, 2016)

Kerusakan Jenis Apa Arbitrase Laut Tiongkok Selatan

Pada 22 Januari 2013, Departemen Luar Negeri Filipina merilis pernyataan resmi bahwa mereka menyerahkan sengketa Pulau Huangyan ke tribunal arbitrase, seperti yang tertulis dalam UNCLOS biasanya prosedur ini akan berlangsung lebih dari dua tahun.

Pernyataan yang disampaikan untuk arbitrase untuk Laut Tiongkok Selatan terutama termasuk empat permintaan: sembilan garis putus Tiongkok tidak sah bahwa Tiongkok hanya memiliki pulau dan karang di sekitar Pulau Huangyan; fasilitas bawah air dalam sembilan garis putus Tiongkok ilegal; dan pelecehan maritim Tiongkok atas warga Filipina itu ilegal.

Empat pemintaan Filipina diatas lebih kearah isu kedaulatan, sehingga dalam kenyataan ini bukan sengekta yurisksi (masalah hukum), ini lebih kearah sengketa kedaulatan, dan UNCLOS tidak memiliki yurisdiksi dalam hal masalah ini.  Demikian menurut para ahli hukum internasional.

Sebenarnya dalam UNCLOS itu dengan jelas dinyatakan masalah kedaulatan tidak berada dalam lingkup UNCLOS, dan jika perselisihan tersebut melibatkan perbatasan maritim, kepemilikian sejarah atau kegiatan militer dan penegakan hukum, negara-negara penandatangan berhak untuk tidak menerima arbitrase yang dipaksakan sebagai sengketa, dan yang masuk dalam kategori yang dikecualikan oleh negara lain, sehingga arbitrase tidak memiliki yurisduksi.

Sebelum tahun 2006, Tiongkok menyatakan bahwa sengketa perbatasan maritim ini jatuh (sebagai) dalam kategori dikecualikan dari arbitrase sesuai dengan peraturan yang relevan dalam pasal 298 dalam UNCLOS.

Pada kenyataannya ini merupakan hal yang menglobal, bukan hanya sesuatu Tiongkok saja yang telah melakukannya. Ada sekitar 34 negara yang telah membuat deklarasi serupa yang dikotegorikan dikecualikan, dan dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, hanya AS yang belum meratifikasi UNCLOS, selain dari AS, empat negara lainnya telah semua menyatakan kategori dikecualikan dan deklarasi ini sebenarnya hak yang diberikan kepada negara-negara ini oleh UNCLOS.

Dalam rangka untuk mendapatkan PCA (Permanent Court of  Abritration) untuk menerima kasus arbitrase ini, Filipina sengaja membuat paket yang menarik. Pertama merancang dengan mengajukan banding untuk sembilan garis putus, dengan mengatakan “sembilan garis putus tidak sesuai dengan hukum internsional, dengan mengatakan Tiongkok tidak memiliki hak maritim di Laut Tiongkok Selatan.”

Banding yang kedua, mengenai definisi pulau dan karang. Pertama diyakini bahwa Pulau Huangyan tidak dapat mendukung tempat tinggal manusia, atau melakukan kegiatan ekonomi, sehingga tidak harus dianggap sebagai bagian dari 200 mil laut landas kontinen Tiongkok atau zona ekonomi ekslusif (ZEE) – itu hanya bisa menjadi bagian dari mil laut (12 mil laut) wilayah perairan Tiongkok.  

Kedua, dipercaya bahwa “pulau dan trumbu karang yang dikuasai Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, ada lima karang yang teremdam dalam air pasang surut, untuk ini Tiongkok tidak memiliki hak maritim, tiga diantaranya adalah pulau dan karang, dan dimana seharusnya dibatasi hak maritimnya.

Jika dilihat masalah seperti diatas ini, secara sepintas, masalah ini merupakan terlingkup dalam kedaulatan dan isu-isu militer, tetapi mereka semua mengacu pada kepentingan “hak maritim.”

Juru bicara Kemenlu Tiongkok Zhao Lie memberi pernyataan, Inti sengketa antara Tiongkok –Filipina adalah Filipian telah secara ilegal mengivasi dan menduduki pulau-pulau dan karang dari milik Tiongkok di Kepulauan Nansha, dan UNCLOS tidak punya kepentingan dan kewenangan untuk kepentingan maritim dan perselisihan hak antara Tiongkok dan Filipina.

Sebelum tahun 2002, Tiongkok dan negara-negara ASEAN termasuk Filipina, telah menanda-tangani “DOC” (yang juga diprakarsai Indoensia), dimana semua pihak berjanji untuk perselisihan teritorial dan yurisdiksi dapat diselesaikan dengan konsultasi ramah dan negosiasi damai.

Pada tahun 2011, Filipina dan Tiongkok sekali lagi merilis pernyataan dimana kedua belah pihak menegaskan kembali bahwa mereka akan menghormati dan mematuhi “DOC.”

Namun, pada tahun 2013, meskipin Tiongkok telah protes, Filipina tetap secara sepihak mengajukan permohonan arbitrase sengketa Laut Tiongkok Selatan ke pengadilan arbitrase.

Menurut para pakar berdasarkan aturan prinsip dasar dari UNCLOS dan hukum internasional, ada dua kondisi : Pertama adalah semua metode diplomatik harus dicoba. Antara Tiongkok dan Filipina, ada saluran negosiasi diplomatik dan mekanisme dialog normal untuk menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan yang masih belum dicoba, jadi tidak semua metode diplomatik telah dicoba. Ini bisa dianggap melanggar prinsip dasar hukum internsional yang harus dipatuhi.

Belum lama ini, seorang mantan pegawai senior dalam urusan maritim di Filipian di Dempartemen Kemenlu Filipina—Albert Encomiena mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa selama dalam pemerintahan Aquino III, Departemen Kemenlu Filipina percaya bahwa sejak lebih dari 50 putaran negosiasi antara Tiongkok dan Filipina telah dilakukan antara tahun 1995 dan 2012, dan sengketa belum juga terselesaikan, maka semua itu menyebabkan diajukan ke pengadilan arbitrase.

Tapi semua itu Kemenlu Filipina telah bohong, karena pada saat itu dia yang bertanggung jawab atas masalah ini. Dan dia tahu semua detail dari peristiwa ini, Tiongkok telah  terus menerus meminta Filipina untuk bernegosiasi, tapi Filipina tidak pernah merespon.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Menlu Tiongkoki Wang Yi dalam suatu wawancara mengatakan, Filipina mengajukan kasus untuk arbitrase karena semua metode negosiasi telah dicoba, tapi itu tidak benar. Dengan blak-blakan ini adalah dusta. Tidak ada negosiasi bilateral dengan sunguh-sungguh telah dilakukan dengan Tiongkok, tapi telah mengajukan banding ke pengadilan arbitrase.

Untuk hari ini, Tiongkok masih mengatakan kepada Filipina bahwa kita masih bisa duduk dan berbicara—pintu Tiongkok selalu terbuka untuk berbicara, tapi Filipina terus menolak negosiasi dan konsultasi dengan kami.

Aspek lain adalah pengadilan arbitrase Laut Tiongkok Selatan didirikan atas permintaan Filipina telah menarik kecurigaan dan hati-hati bagi masyarakat internasional karena ekspansi dan penyalahgunaan kekuasaan. Demikian menurut komentator Tiongkok.

Pada 26 Juni 2016, lebih dari 26 pakar hukum internasional dari Asia, Afrika, Eropa dan negara-negara Amerika mengadakan simposium akademik (seminar ) di Den Haag, Belanda, mengenai kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan Pengaruhnya Terhadap Hukum Internsional.

Capture: youtube.com
Capture: youtube.com
Sebagian besar ahli yang hadir menyatakan keraguan tentang legalitas pengadilan tersebut, dan mengeluarkan peringatan tentang ini akan menyebabkan kerusakan hukum internasional yang memaksakan mendorong maju arbitrase Laut Tiongkok Selatan.

Mereka menyerukan kepada dunia hukum internasional untuk menafsirkan UNCLOS secara komprehensif dan secara keseluruhan yang tepat, dan mempromosikan negosiasi langsung dari sengketa Laut Tiongkok Selatan sebagai metode yang efektif lebih rasional untuk resolusi yang lebih bermanfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dan masyarakat internasional.

Akar masalahnya sekarang, apakah pengadilan ini sebanarnya memiliki yurisdiksi atas/atau kemampuan untuk menerima kasus arbitrase yang diajukan Filipina ini.

Banyak pakar yang berpendapat pengadilan ini tidak mempunyai yurisdiksi hukum atas kasus ini. Dengan kata lain sebenarnya tidak  bisa menerima kasus arbitrase ini. Jika memang telah mencapai keputusan ini dalam persidangan tahun lalu, maka pada kenyataan, itu semua akan berakhir---dan pengadilan sementara ini sudah seharusnya berakhir tahun lalu.

Tapi sayangnya, pengadilan ini telah melakukan kesalahan, dan mereka memutuskan untuk pengadilan ini terdiri dari lima orang yang memiliki yurisdiksi dan kemampuan untuk menerima hal ini.

Pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi atas masalah kedaulatan dan perbatasan, dan menentukan hak maritim individu pulau dan terumbu seperti yang satu itempun dari apa yang telah diargumentasikan itu milik siapa. Ini adalah cacat hukum dan vonis tidak sah. Jika anggota tribunal ini mencapai vonis mengenai ini milik siapa. Mereka telah jauh lebih melangkahi batas wewenang mereka. Demikian menurut Mantan Komisi Hukum Internsional PBB—Rao Pemmaraju.

Jika melihat dari dasar ini, kita dapat melihat bahwa dalam kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan, pengadilan ini telah jelas telah diperluas dan disalahgunakan kekuasaannya. Karena itu setiap vonis adalah ilegal dan cacat hukum. Maka tidak heran jika Tiongkok tidak menerimanya.

Isu Laut Tiongkok Selatan yang rumit dan menjadi tambah ruwet dengan banyaknya pihak yang coba terlibat. Tujuan penting Filipina mengajukan kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan adalah untuk menolak kedaulatan Tiongkok atas pulau di Laut Tiongkok Selatan.

Tampaknya dalam menghadapi provokasi konstan Filipina, kebijakan Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan tidak mengalami perubahan substansial. Alasan Tiongkok karena menganggap kedaulatan atas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan mempunyai dasar sejarah yang panjang, dan bukan sesuatu yang berdasarkan hukum internsional saja. Dan ini secara laus telah diakui oleh masyarakat internasional.

Historis Penamaan Kepulauan dan Pulau di Laut Tiongkok Selatan

Secara internasional Laut Tiongkok Selatan mengacu pada wilayah selatan Guangxi, Hainan, Guangdong, dan timur Vietnam, Selat Taiwan, sebelah barat Filipina dan utara Maaysia dan Kepulauan Natuna. Yang luasnya 3,5 juta km persegi.

Ratusan pulau dan karang, besar dan kecil yang tersebar diseluruh kepulauan Dongsha, Xisha, Zhongsha dan Nansha yang diklaim milik Tiongkok. Kepulauan dan nama-nama pulau-pulau ini telah dinamai demikian dari generasi ke genarasi dalam proses panjang dalam sejarah.

Menurut catatan sejarah kuno, orang Tiongkok pertama yang menemukan kepulauan ini sekitar tahun 200SM dan dinamai kepulauan Nansha yang berarti kepulauan diujung selatan. Kep. Nansha terdiri dari empat pulau besar, sebagian besar terdiri dari terumbu karang tersebar luas. Enam terumbu utama terdiri dari : Terumbu Yongshu (永暑礁), Mishief Reef (美济礁), Subi Reef (渚碧礁), Pulau Taiping (太平岛), P. Zhongye (中业岛), P. Nanwei (南威岛), Xijiao (西礁), Dongjiao (东礁), Danwan Jiao (弹丸礁), Wan’an Tan (万安滩), yang paling selatan Lidi Ansha (立地暗沙).

Pada zaman Dinasti Han (157 SM-87SM) orang Tiongkok sudah mulai banyak menggunakan Laut Tiongkok Selatan, dan pada Dinasti Song kelautan dikembangkan dengan skala besar dan memasukan Kep. Nansha ke dalam wilayah Tiongkok kuno. Pada Dinasti Qing dan Ming kepulauan ini telah dimanfaatkan sebagai tempat dagang dan industri nelayan Tiongkok kuno, bahkan didirikan kantor negara. Pada P.D II, P. Taiping, P. Zhongye, dan Parung Pasir Dun Qian (敦谦沙洲) menjadi pusat patroli militer Tiongkok secara luas, terdiri dari 9 garis putus yang diakui internasional.

Dalam Dinasti Han (Han Barat & Timur tahun 206 SM – 220M), orang-orang Tiongkok telah menemukan kepulauan di Laut Tiongkok Selatan selama pelayaran/navigasi dalam melakukan  pekerjaan pekerjaan mereka, dan memberi nama seperti apa yang disebutkan sekarang oleh orang Tiongkok : Laut Tiongkok Selatan (涨海/zhang hai atau laut pasang) dan pulau-pulaunya dengan “Qitou” (崎头).

Selama Diansti Sui (tahun Masehi 581 - 618) dan Tang (tahun 618 – 907), diberi nama “Jiaoshi Shan”( 焦石山/Gunung Cadas), “Xiangshi” (象石/Cadas Gajah)” and  “Qizhou Sea (七州洋/Negeri Tujuh Lautan)”

Selama Dinasti Song (tahun 960 – 1279), orang Tiongkok baru mulai memnggunakan nama-nama tempat yang tepat seperti “Shitang” ( 石唐) dan “Changsha” (长沙) untuk merujuk kepada pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan dan perairan sekitarnya, yang menjadi wilayah tradisional untuk operasi kegiatan pekerjaan (nelayan dan pedagang) orang Tiongkok, sehingga wilayah ini menjadi area penting untuk pertahan maritim dan patroli.

Teks-teks klasik dari Dinasti Yuan 元(tahun1271 – 1368), Ming 明(tahun 1368 – 1644), dan Qing清(tahun 1644 – 1911)) terus berlanjut menggunakan nama-nama “Shitang” dan “Changsha”. “Peta Darat dan Kawasan Terpadu dan Kawasan Ibukota Semua Dinasti” (混一疆理历代国都之图 ) pada dinasti Ming juga selalu menggunakan dua nama untuk tempat ini, dan dalam “Rekaman/Catatan Aneka Rupa Dari Pertahanan Laut Tiongkok Selatan” (海南卫指挥签事柴公墓志銘) mencatat bahwa selama Dinasti Ming, Penjaga Maritim Hainan telah memiliki “10,000 tentara dan 50 kapal-kapal besar” yang berpatroli di Kepulauan Xisha (西沙), Zhongsha (中沙), and Nansha (南沙群岛).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dari dinasti Qing hingga Republik Tiongkok, telah dimasukkan dalam wilayah pemerintahan mereka, dan mereka berdaulat di wialyah ini. Banyak Peta-peta yang berabel pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan sebagai bagian dari Wilayah Tiongkok.

(lebih jelasnya baca juga: di Kompasiana.com).

Sedang Penamaan Kepulauan Spratley,  baru terjadi ketika pada tahun 1791, Kapten Spratle pernah singgah di kepulauan ini, dan sejak itu di peta maritim dinamai dengan nama dia—Spartly. Pada 1798, Inggris mendidrikan menara dari besi di pulau Aba yang masih bisa dilihat hingga sekarang. Pada 1804, HMS Macclesfield Inggris pernah bersandar di salah satu pulau atol dan hingga kini dinamai Macclesfield (shoals bank)

Pada tahun 1883, Jerman pernah coba mengklaim beberapa pulau di Spratly, tetapi pemerintah Tiongkok mengancam untuk perang untuk merebut kembali, setelah melakukan beberapa kali perundingan Jerman mengembalikan Kep.

Spratly dan Paracel, tetapi berhasil menguasai Qingdao di Shandong. Pada tahun 1885, seluruh Kepulau Nansha dan Xisha atau Spratly dan Paracel sebagai daerah teritorial Tiongkok.  Pada tahun 1887, Prancis mendirikan menara di karang atol Amboyna.

Pada tahun 1909, pemerintah Qing mengirim Laksamana AL dari Guangdong-- Li Zhun (李准) untuk memimpin armada mengunjungi Kepulu Xisha dan juga melakukan suvei dan kunjungan ke Dongsha dan Kepulauan Nansha.

Capture: youtube.com
Capture: youtube.com
Pada 1935, pemerintah Republik Tiongkok memverifikasi nama-nama pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan dan menerbitkan “Peta Pulau-Pulau Laut Tiongkok Selatan” (中国南海岛屿图), yang dengan jelas menggambarkan Kepulauan Dongsha, Xisha, Zhongsha dan kelompok pulau-pulau ini sebagian dari wilayah Tiongkok, dan mengkonfirmasikan perbatasan terselatan Laut Tiongkok Selatan pada lintang 4 derajat utara sisi Karang Atol Zengmu (Zengmu Reef).
Capture: youtube.com
Capture: youtube.com
Menurut prinsip hukum internasional, yang pertama-tama harus ada empat syarat harus dipenuhi untuk awal mengklaim sebuah pulau, untuk menentukan ke nagara mana yang sesuai pulau dan karang, wilayah dan peairan sekitarnya yang mereka miliki.

Keempat kondisi tersebut adalah: penemuan awal, awal penamaan, pengembangan awal dan terjadinya terus menerus pembentukan administrasi. Dari negara-negara sekitar  Laut Tiongkok Selatan , Tiongkok benar-benar memiliki  dan memenuhi empat “awal” kondisi ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, di antara nelayan Hainan, ditemukan dalam “Genglubu” (buku petunjuk pelayaran) kuno. Pada zaman Ming dan Qing dinasti ada 98 catatan yang telah dinamai, dimana 22 berada di kepulauan Xisha, dan 76 di Kepulauan Nansha. Telah dicatat dengan jelas dan rinci setiap pulau dan lingkungannya.

Capture: youtube.com
Capture: youtube.com
Arti dari “Genglubu” (更路簿) adalah “Buku Petunjuk Rute Pelayaran” Buku ini memiliki banyak versi yang berbeda dan merupakan kumpulan dari pengalaman berabad-abad yang diperoleh melalui pengalaman kerja keras. “Genlubu” tidak hanya telah menandai lokasi pulau, karang, dan jalur perairan, juga menandai distribusi lahan perikanan.

Ahli Tiongkok percaya bahwa ini membuktikan nelayan Tiongkok merupakan yang pertama mengeksplorasi Laut Tiongkok Selatan. Wang Xiaopeng, seorang peneliti pada Insttitute Perbatasan Tiongkok mengemukakan, menurut penelitian selama bertahun-tahun dalam mengumpulkan dan penelitian teks navigasi nelayan Laut Tiongkok Selatan, seperti “Genglubu”, buku ini menjelaskan beberapa informasi sejarah, bukan hanya nama-nama pulau-pulau dan perairan. 

Juga telah memberitahu kita tentang ruang lingkup operasi di Laut Tiongkok Selatan, yang dikombinasikan dengan beberapa peraturan Tiongkok yang dikeluarkan pada dinasti Ming dan Qing, terutama di awal dinasti Qing.

Misalnya, nelayan tidak boleh pergi melewati batas-batas provinsi mereka ketika memancing atau menjaring ikan., dan bagaimana nelayan tidak bisa membeli banyak beras dan biji-bjian atau gabah jika mereka pergi berlayar, dan serangkaian pembatasan, seperti pembatasan untuk ukuran perahu.

Dari sini kita dapat melihat bahwa pemerintah Tiongkok telah memasukkan pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan dalam lingkup yurisdiksi mereka. Ini berarti pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan milik Guangdong dan dengan demikian Tiongkok mengklaim milik mereka.

Status Pulau-Pulau di Laut Tiongkok Selatan Pasca P.D. II

Selama Jepang menginvasi Tiongkok, Jepang juga menduduki banyak pulau di Laut Tiongkok Selatan, termasuk Kepulauan Dongsha, Xisha, dan Nansha. Pada bulan Desember 1943, dalam  “Deklarasi Kairo” telah resmi diumumkan bahwa Jepang harus mengembalikan semua wilayah yang  mencurinya dari Tiongkok kepada Tiongkok.

Pada Juli 1945, dalam “Deklarasi Postdam”  menegaskan bahwa “Deklarasi Kairo harus di-implementasikan.”   Pada bulan September tahun yang sama, Dalam “Instrumen Jepang Menyerah” (“Japanese Instrument of Surrender”) yang ditandatangani Jepang, dengan jelas dinyatakan bahwa Jepang menerima “Deklarasi Postdam”, dan pasca P.D. II,  Tiongkok menerima kembali kepulauan di Laut Tiongkok Selatan yang telah diduduki Jepang.

Tindakan pemulihan ini merupakan hasil dari kemenangan Tiongkok dalam Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok terhadap agresi Jepang, serta akibat dari kemenangan dunia dalam perang melawan fasis. Jadi ada deklarasi yang mengkonfirmasikan perintah internasional agar “Deklarasi Kairo” dan “Deklarasi Postdam” yang merupakan salah satu bukti hukum dan bukti sejarah  untuk semua ini.

Kembali pada waktu itu, AL-Tiongkok dan AL-AS bersatu untuk membantu Tiongkok memulihkan pulau dan terumbu karang di Laut Tiongkok Selatan. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemulihan Tiongkok atas pulau dan karang di Laut Tiongkok Selatan (LTS) adalah hasil dari kemenangan di P.D. II, dan komponen konfirmasi.

Setelah tahun 1970an, Filipina dan Vietnam kedua negara ini mengklaim teritorial di pulau-pulau dan karang di laut Tiongkok Selatan, dan keduanya menggunakan kekuatan untuk secara sepihak menduduki beberapa pulau dan terumbu karang di kepulau Nansha.

Pada bulan September 1970, Filipina menduduki Kepulauan Mahuan dan Pulau Feixin, sehingga menyebabkan gelombang negara-negara yang berbatasan dengan LTS mulai menduduki pulau-pulau dan karang di LTS.

Pada 11 Juni 1978, Filipina mengumumkan Keputusan Presiden No.1596 yang ditangdatangani oleh Presiden Ferdinand Marcos lalu, yang menyatakan wilayah 64,796 mil persegi yang termasuk 33 pulau, beting, dan gundukan pasir di kepulauan Nansha adalah “bagian dari wilayah Filipina, yang akan dibawah permintahan Filipina,” dan menamakan kepulauan ini adalah “Kepulauan Kalayaan.”

Pada 1999, Filipina menggambar ulang peta nasional, dan mengambil kesempatan ini untuk memasukkan Pulau Huangyan sebagai bagian dari wilayahnya. Pada bulan Agustus tahun itu (1999), pemerintah Filipina mendaftarkan amandemen konstitusi bahwa “Kepulaun Nansha wilayah Filipina.”

Pada tahun 2009, Filipina secara resmi mensahkan teritorial batas dasar laut yang tercantum dalam pulau Huangyan dan beberapa pulau dan karang Kepulauan Nansha sebagai milik Filipina. RUU ini kemudian ditanda-tangani oleh Presiden Gloria Arroyo, secara resmi mengubah menjadi undang-undang.

UNCLOS sebenarnya memiliki beberapa ide dasar. Sebagai contoh, kita bisa secara garis besar mendefinisikan berdasarkan atas batas daratan. Prinsip ini sebenarnya berdasarkan pada kepentingan maritim suatu negara merupakan perpanjangan dari daratan mereka.  Jika berdasarkan UNCLOS sebuah pulau memiliki batas perairan 12 mil laut , 24 mil laut zona contiguause, 200 mil laut ZEE dan batas landas kontinen luar tidak melebihi 350 mil laut.

Sejauh yang dilakukan Filipina, Tiongkok dan beberapa ahli menganggap selama bertahun-tahun itu telah sengaja disesatkan dari semangat “UNCLOS”. Sehingga mendefinisikan batas berdasarkan laut, dan Filipina secara sepihak manarik garis batas beberapa pulau dan dan terumbu karang di Kepulauan Nansha masuk dalam ZEE mereka, dan secara paksa menduduki wilayah ini dan berusaha untuk menempati pulau-pulau ini selama dalam proses.

Jadi dalam kasus arbitrase internasional untuk LTS, Filipina mendorong ke depan dengan pendekatan ini.

Koran terbesar ke-empat Filipina “Manila Standard Today”, sebelumnya menerbitkan artikel dari seorang pria Filipina bernama—Victor N. Arches, dari San Juan, Manila. Seorang akuntan publik bersertifikat, ekonom, dalam artikelnya, ia menuliskan: Huangyan adalah milik Tiongkok, Tiongkok yang telah menemukannya lama sekali pada tahun 1279 selama Dinasti Yuan.

Sebaliknya, “peta tua” yang diandalkan Departemen Luar Negeri Filipina yang dipakai untuk mengklaim palsu dan dibuat hanya pada tahun 1820, atau 541 tahun dari apa yang telah tergambar dalam peta Tiongkok. Sampai tahun 1990an, tidak ada peta resmi Filipina yang memasukkan Kepulauan Nansaha atau Pulau Huangyan dalam lingkup wilayah Filipina.

Peraturan pemerintah Republik Filipina Act No.3046, baru disahkan oleh Kongres dan disetujui pada tahun 1961, kemudian Filipina berhenti mengklaim pulau-pulau ini. Tapi, kemudian mereka berani mengubah hukum ini pada 10 Maret 2009, setelah 48 tahun, untuk secara sepihak mengsengketakan wilayah ini.

Seperti diketahui Filipina belum dirikan sebelum 1946. Setelah tahun 1946 baru ada undang-undang domestik, perjanjian AS-Filipina dan lainnya, ruang lingkup wilayah Filipina tidak termasuk Kepulauan Nansha atau Pulau Huangyan.

Tiga perjanjian dari “Perjanjian Paris” tahun 1898, “Perjanjian Washington” tahun 1930, “Konvensi Antara Inggris dan AS” serta konstitusi Filipina sendiri baru pada tahun 1935 menentukan batas-batas teritorial Filipina, dimana bagian timur pada bujur timur 118 derajat, tapi Pulau Haungyan dan kepulauan Nansha benar-benar berada di sebelah barat dari bujur timur 118 derajat, dan tidak termasuk wilayah Filipina.

Tapi, setelah P,D, II, Filipina tertarik lebih kearah LTS, sehingga mereka membawa ide-ide “Prinsip Kedekatan (adjacency prinsiple) dan “Prinsip Keamanan” tersebut untuk mengklaim pulau-pulau dan karang di LTS dan Pulau Huangyan dan sebagainya dengan mengklaim milik Filipina.

Juga, mereka mengatakan pulau-pulau dan karang tersebut sangat penting bagi Filipina dalam segi keamanan nasional, sehingga harus milik Filipina. Namun dalam kenyataannya, apakah itu berdasarkan hukum internasional, kedekatan, keamanan, militer, ekonomi dan faktor lainnya tidak merupakan dasar untuk menuntut klaim kedaulatan.

Secara internasional, tidak ada hal seperti prinsip kedekatan atau prinsip keamanan, jadi jelas Filipina menggunakan alasan ini untuk mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau Nansha dan Pulau Huangyan ini tidak bisa dipertahankan dan dianggap konyol.

Dalam waktu yang lama,  isu LTS  hanya bersifat lokal dan terkontrol. Sebagai contoh yang baik dimulai tahun 1990an, Tiongkok dan negara-negara ASEAN telah mengalami sebuah “zaman emas 20 tahun,” dengan pertumbuhan yang kuat dalam kerjasama, dan hubungan ekonomi serta perdagangan yang mempersonakan. Tapi sejak tahun 2009, terutama setelah 2012, situasi di LTS telah memulai tumbuh menjadi ketegangangan.

Bagaimana ini bisa terjadi? Proses apa yang terjadi selama akhir-akhir ini?

Pada tahun 2011, pemerintahan Obama mengumumkan “Poros Strategis Untuk Kawasan Asia-Pasifik.” Pentagon berencana untuk mengerahkan 60% dari kapal-kapal AL dan 60% AU luar negeri untuk Asia-Pasifik sebelum tahun 2020, meningkatkan kerajsama militer dengan sekutu seperti Jepang, Korsel dan Filipina.

Pada saat yang sama, AS telah mulai menggunakan sengketa LTS sebagai jalur akses untuk mengontrol strateginya di Asia-Pasifik. Dari perspektif kepentingangan AS, pengajuan kasus arbitrase LTS adalah kesempatan untuk intervensi dalam LTS lebih terbuka.

Pada 2013, setelah Filipina mengajukan arbitrase, AS terus menciptakan diskusi internsional untuk mendukung Filipina dan menjelekan Tiongkok.

Pada bulan Oktober 2013, selama KTT Asia Timur (EAS) di Brunei, Menlu AS John Kerry menyatakan AS “mendukung strategi arbitrase Filipina dalam mengklaim teritorial.”

Pada 28 April 2014 Oabma tiba di Manila, Ibukota Filipina. Ini merupa yang pertama kalinya bagi Obama melakukan kunjungan ke Filipian dalam lebih dari 6 tahun sejak ia menjabat presiden. Pagi itu Filipina dan AS secara resmi menandatangani perjanjian untuk memperkuat kerjasama pertahanan mereka.

Obama juga secara terbuka menyatakan mendukung sikap Aquino III untuk LTS untuk pertama kalinya.  Obama mengatakan, “Kami bahkan tidak mengambil posisi tertentu pada sengketa antara bangsa-bangsa. Tetapi untuk masalah hukum internasional, kami tidak berpikir untuk melakukan pemaksaan dan intimidasi dalam mengelola sengketa ini, dan untuk alasan itu kami sangat mendukung pendekatan Presiden Aquino.”

Setelah Filipina mengajukan kasus arbitrase, AS segera menyatakan dukungan diplomatik. Dukungan ini telah mengabaikan janji internasional AS untuk tidak mengambil sisi mengenai apa yang disebut isu LTS atau klaim teritorial.

Pada 5 Desember 2014 Departemen Luar Negeri AS merilis “Batas Tiongkok di LTS : Klaim Maritim Tiongkok di LTS” untuk Sembilan garis putus ilegal. Dan mendukung permintaan arbitrase Filipina, ini menambah pengaruh dan tekanan untuk putusan pengadilan LTS mengenai yurisdiksinya terlihat sangat kentara dan jelas.

Dengan menggunakan kekuatan utama ekstra regional atau kelompoknya yang terus menerus menciptakan sikap opini yang bias untuk menekan maritim Tiongkok, sepertinya AS dan Filipina bekerjasama untuk mengarahkan keputusan arbitrase internasional. Dan memang benar pada 12 Juli 2016, Tibunal Arbitrase Sementara (Majelis Arbitrase) untuk arbitrase Laut Tiongkok Selatan menerbitkan keputusan atau vonis yang mencoba untuk menyangkal kedaulatan dan hak maritim serta kepentingan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Provokasi AS di LTS  Menjelang Keputusan Arbitrase LTS

Pada 30 Januari 2016 sebuah kapal perang AS memasuki wilayah perariran Tiongkok Pulau Zhongjian di Kepulauan Xisha. Pada 10 Mei 2016 kapal perusak USS Williem P. Lawrence memasuki perairan sekitar pulau-pulau tertentu dan terumbu karang di Kepulauan Nansha tanpa otorisasi Tiongkok.

Pada Juni 2016, sebuah detasemen khusus empat dari AL-AS - EA-18G Growler pesawat serbu elektronik dikerahkan di Pangakalan Udara Clark di Luzon, Filipina  Dari bulan Maret sampai Juni 2016, Kapal Induk Tenaga Nuklir USS John C. Stennis menghabiskan 78 hari di LTS dan melakukan lebih dari 4,000 kali peluncuran dan pendaratan di kapal induk ini.

Ilustrasi: airforce.gov.au
Ilustrasi: airforce.gov.au
Dalam beberapa tahun terakhir ini, AS bahkan telah melakukan shown-off forces (unjuk kekuatan) beberapa kali, dan mengirim pasukan militer dan kapal perang berkali-kali ke LTS dan perairan terdekat untuk menekan Tiongkok, dan mengekspresikan dukungannya kepada Filipina.

Pada 19 April 2016, empat pesawat serbu AU-AS,  A-10C dan dua helikopter “Pave Hawk” secara terbuka melanggar wilayah udara dalam radius 100 km dari Pulau Huangyan untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu AS Filipina.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kemudian, kapal perang dan pesawat AS melakukan operasi “Kebebasan navigasi” selama beberapa kali waktu sensitif tanapa izin dalam 12 mil laut di pulau tertentu dan terumbu, lebih-lebih di daerah sengketa di LTS.

AS dengan menggunakan alasan operasi “kebebasan navigasi” yang kenyataannya untuk mempromosikan aturannya sendiri dan strategi perairan dunia, sehingga AS dapat memperoleh posisi hegemoni maritim. Demkkian pendapat sebagian analis.

Pada awal April, dalam rangka untuk berkoordiansi dengan AS dan menciptakan insiden di LTS, Jepang mengirimkan kapal selam “Oyashiao” JMSDF (Pertahanan Bela Diri Maritim Jepang) untuk berkungjung ke Subic Bay di Filipina. Ini menjadi yang pertama kalinya bagi sebuah kapal selam Jepang berlabuh di teluk Filipina dalam 15 tahun.

Pada pertengahan April 2016, Jepang juga ambil bagian dalam Latma militer AS-Filipina “Balikatan” untuk pertama kalinya sebagai “pengamat.”

Motivasi Jepang tidak perduli tentang isu masalah Tiongkok di LTS, yang penting bisa melibatkan diri untuk mengambil keuntung untuk diri sendiri, dengan melibatkan perselisihan lanjutan di LTS, Jepang berharap berkesempatan untuk meningkatkan kebutuhan negara-negara ASEAN untuk Jepang.

Jika dilihat kenyataannya, Jepang telah berketetapan hati untuk melihat seberapa manfaat untuk dirinya sendiri di LTS. Dan hal ini tidak berusaha membantu Filipina keluar dari permasalahannya, bahkan mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan segala sesuatu yang bisa.

Pada 2016, Obama mengatakan pada pertemuan informal antara AS dan pemimpin ASEAN bahwa AS akan terus “menjadi kuat” dan akan selalu abadi kehadirannya di Asia,” dan menggunakan kekuatan yang ada untuk “menegakkan ketertiban” di Asia-Pasifik.

Media AS “The New York Times” juga menyuarakan dukungan mereka kepada Filipina, sementara juga menuntut Tiongkok untuk menerima dan mengambil bagian dalam arbitrase.

Dapat dimengerti bagi AS, bagaimanapun hasil kasus arbitrase tidak penting lagi, karena AS telah campur tangan dalam masalah LTS dengan mengsensasionilkan kasus arbitrase, bersamaan dengan hangatnya kasus ini juga menghembuskan “kebebasan navigasi”, dan menggunakan dua alasan ini untuk mendapatkan pijakan di LTS.

Maka tidak heran ketika Menlu Tiongkok—Wang Yi diwanwacarai Al Jazeera di Qatar dia mengatakan, serial baru US beroperasi di LTS tidak membantu untuk resolusi masalah ini, hal itu bahkan membuat masalah menajdi lebih rumit, dan membuat siatuasi menjadi tegang.

Wang Yi mengatakan: “Saya pikir aksi semacam ini setidaknya menciptakan unsur ketidakstabilan di LTS dan bahkan telah memicu ketegangan lebih lanjut. Ini bukan perilaku konstruktif. Siapa yang melakukan latihan militer besar di kawasan tersebut? Yang telah mengirim senjata canggih mereka ke LTS? Dan terus membangun pangkalan militer baru? Saya pikir tanpa menyebutnya, semua orang tahu ini adalah AS.”

Seorang kolumnis “The Standard” terbitan Filipina Rod Kapunan mengatakan jika membicarakan masalah LTS “Filipina yang menarik chestnut AS keluar dari api.”

AS sengaja menggunakan perbedaan Filipina dengan Tiongkok dalam isu-isu LTS untuk menemukan alasan untuk dirinya sendiri  menggelar pasukan di Filipina dan melaksanakan “patroli maritim secara rutin” di LTS.

Sebagian analis berpendapat, jika AS mengerahkan pasukan di Filipina untuk waktu yang lama, hal itu akan membuat Filipina membayar harga yang mahal.

Yang sudah jelas sikap Tiongkok bagaimanapun tidak akan menerima rencana paksa dan resolusi sepihak yang dilakukan pihak ketiga.

Mengapa Banyak Negara Dunia Yang Mendukung Sikap Tiongkok?

Sikap Tiongkok seperti yang bisa dilihat mengenai arbitrase untuk LTS sangat jelas tidak akan menerima atau berpartisipasi, dan ini mendapat dukungan dari banyak negara di dunia internasional.

Pada 12 Mei 2016, pada Perrtemuan ke-7 Tiongkok-Forum Kerjasama Negara-negara Arab (the 7th Ministerial meeting of China-Arab States Cooperation Forum) telah mengadopsi “Dekalrtasi Doha” yang menekankan negara-negara Arab mendukung Tiongkok untuk mencapai kesepakatan bilateral dengan negara-negara terlibat, dan membentuk konsensus regional untuk menggunakan konsultasi ramah dan negosiasi damai untuk menyelesaikan teritorial dan sengketa maritim.

Dan menekankan penghormatan terhadap hak untuk mandiri memilih metode untuk melakukan penyelesaian sengketa dengan baik oleh negara-negara kedaulatan dan negara-negara yang menandatangani UNCLOS.

Sejauh yang diketahui, ada lebih dari 40 negara yang secara jelas telah menyatakan dukungannya atas sikap Tiongkok terhadap kasus arbitrase LTS, pendukung ini termasuk negara-negara ASEAN dan negara-negara di luar kawasan.

Ini Alasan Tiongkok Menolak Keputusan Tribual Arbitrase Filipina
Ini Alasan Tiongkok Menolak Keputusan Tribual Arbitrase Filipina
Pada 3 Juni 2016 hampir 130 partai politik asing dan kelompok politik dari Asia Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Oceania aktif menyatakan dukungan mereka atas sikap Tiongkok pada isu-isu LTS.

captured: yotube.com
captured: yotube.com
Jose Jala, Profesor dari Universitas Mayor, Chili mengatakan, “Kami percaya bahwa membuat sengketa internasional tidak kondusif untuk resolusi mereka. Negara-negara yang terlibat harus damai menyelesaikan masalah ini melalui dialog.”

Lourdes Palacios, Central Komite Anggota Parabundo Marie Front Nasional mengatakan, “Kami percaya bahwa Tiongkok telah memilih jalan yang benar. Kami berharap negara-negara yang telibat dapat terus menggunakan beberapa metode untuk terus memecahkan masalah.”

Selama kunjungan Presiden Rusia, Vladimir Putin  ke Tiongkok, pada 25 Juni 2016, Tiongkok dan Rusia menandatangani pernyataan mempromosikan hukum internasional.

Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Tiongkok dan Rusia bertanggung jawab untuk menjaga dan mempromosikan hukum internasional. Dalam pernyataan mereka mengenai mempertahankan hukum internasional, Tiongkok dan Rusia benar-benar menyinggung hal ini, bahwa mereka yang menyalahgunakan representsi hukum internasional.

Penyalahgunaan hukum internasioanl benar-benar tidak menghargai hukum ini. Tiongkok menyatakan sikapnya dengan jelas. Tidak ada negara yang senang atas pemotongan hukum internsional ini, apalagi dikenakan kepada Tiongkok, kemudian menempatkan ini kepada Tiongkok harus menerima hukum ini. Tiongkok menegaskan bahwa ini jelas telah melanggar prinsip-prinsip paling dasar dari hukum internasional.

Maka dari itu Tiongkok menunjukkan sikap menolak terhadap perilaku semacam ini yang dianggapnya mendistrosi semangat hukum dan menyalahgunakan proses hukum. Keberatan tidak hanya kerena penyalahgunaan ini berkaitan dengan kerusakan nyata terhadap kedaulatan Tiongkok, juga karena menyalahgunaan hukum internasioanl ini akan menyebabkan kerusakan tantanan hukum internasional.

Presiden baru Filipina Rodrigo Duterte ketika membahas sengketa LTS antara Tiongkok dan Filipina pada 30 Juni, 2016, mengatakan “Filipina tidak ingin menyatakan perang terhadap siapapun. Saya akan bahagia selama resolusi damai dapat dicapai melalui negosiasi.”  Menlu Filipina yang baru—Perfecto Yasay juga mengatakan bahwa Filipna tidak akan menjadi seperti advokat pemerintah negara tertentu lainnya, dan membuat pernyataan militan atau keras tentang keputusan arbitrase.

Tiongkok menyatakan menyelesaikan sengketa melalui resolusi damai adalah sikap dasar Tiongkok yang selalu diserukan. Sehingga mereka menyatakan negosiasi diplomatik akan selalu terbuka. Kita semua mengharapkan sengketa LTS ini bisa diselesai dengan damai, untuk kedamaian dan ketentraman serta kesejahteraan rakyat di kawasan ini.

Solusi harus disesuaikan dengan situasi mereka, kita semua yang cinta damai mengharapkan Tiongkok dan Filipina bisa berkonsultasi ramah dan negosiasi damai seperti pepatah orang Tionghoa yang mengatakan : “Semua masalah akan baik-baik saja ketika keluarga harmonis / all matter are fine when a family is harmonious ((家和万事兴).”

Negara-negara di sekitar LTS juga seperti keluarga, hanya melalui berbaikan sebagai tetangga yang ramah barulah pembangunan nasional sesuai dengan kepentingan dari negara kita sendiri bisa terwujud.

Kiranya Tiongkok juga menyadari hal ini, berharap penyelesaian sengketa LTS melalui konsultasi ramah dan negosiasi damai.

Tapi bagaimanapun perkembangan situasi tergantung pada kesadaran dan pilihan semua pihak. Jika kita memilih kerjasama yang saling menguntungkan, dan jika kita memlilih oposisi, maka mungkin menyebabkan jalan buntu atau konflik, yang kelak akan sulit bagi pihak manapun untuk sepenuhnya manfaat.

Harap ini bisa dicamkan oleh semua pihak.

Sucahya Tjoa 

Sumber: Media Tulisan dan TV Dalam Negeri & Luar Negeri

- The South China Sea: The Award of the Tribunal in the Case Brought by Philippines against China—A Critique  by  Chris Whomersley.  The Author 2016. Published by Oxford University Press  - Chinese Journal of International Law Advance Access published June 6, 2016

Web: satu ,  dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun