“The Huffington Post” pecaya bahwa penundaan sanksi pemerintahan Obama baru-baru dalam hal rudal Iran telah mengirim sinyal yang kuat ke Arab Saudi. Arab Saudi cendrung makin percaya selain masalah nuklir, AS dapat mencapai kompromi dengan Iran tentang isu apa saja.
Dalam hal gangguan masalah diplomatik antara Arab Saudi dan Iran, AS sangat tegas mengeritik Iran atas dibakarnya kedutaan Arab Saudi, dan juga meminta agar kedua belah pihak tetap tenang. Namun Arab Saudi pasti tidak akan mendengarkan AS. “Mengapa kita harus tetap tenang? Semua ini telah memprovokasi kita, tapi Anda meminta kita untuk tetap tenang? Anda telah mengambil keuntungan dari kita untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan, dan bagaimana Anda meminta kita untuk tetap tenang?”Demkian perkiraan opini analis.
Arab Saudi pasti tidak akan mendengarkan AS tentang itu. Dengan aliansi tradisional mereka, kebijakan luar negeri Arab Saudi selalu selaras dengan AS dengan harapan hal itu bisa menerima perlindungan dari AS, dan menjadi kekuatan utma di kawasan ini.
Dan Arab Saudi tidak pernah mengendorkan kewaspadaanya ketika datang kekuatan utama di kawasan ini---Iran. Mulai dari Revolusi Iran pada tahun 1979, Arab Saudi telah berjaga-jaga dengan munculnya Iran. Dan selama 8 tahun Perang Iran-Irak yang diluncurkan Irak atas dukungan Arab Saudi.
Dalam Perang Iran-Irak, alasan penting mengapa Saddam Hussein bisa berperang selama delapan tahun dengan sengit pasca revolusi Iran, sampai Iran menerima kesepakatan gencatan senjata adalah berkat dukungan dari hampir semua nagara-negara Arab, terutama dukungan dari Arab Saudi. tanpa ada dukungan ini, Saddam Hussein tidak akan mampu bertahan selama itu. Dia tidak mempunyai uang untuk melakukan perang ini.
Tetapi selama tahun 1990an, situasi di Timteng cepat berubah. Irak dan para sekutunya berubah dari sekutu di mata AS dan Arab Saudi, kini menjadi musuh.
Pada tahun 2003, pemerintah Bush menuduh Sddam Hussein berkolusi dengan Al Qaeda yang menyebabkan dibalik serangan teroris 9-11. Dengan bimbingan AS, pemerintahan Hussein digulingkan, dan perbedaan besar terjadi antara Arab Saudi dan AS untuk masalah bagaimana memperlakukan Irak.
Arab Saudi adalah kekuatan utama, juga memiliki hubungan yang cukup baik dengan AS. Karena itu secara diplomatik relatif stabil. Ketika mempertimbangkan keinginan AS, dalam banyak kasus akan mendengarkan AS. Tapi itu hanya terjadi pada pada tahun 2003, ketika AS meluncurkan Perang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein, Arab Saudi menentang keras.
Hal itu bukan biasanya bersikap beroposisi dengan intens dengan AS, karena Arab Saudi telah memperingatkan AS sejak awal bahwa menggulingkan Hussein, akan ada kekacauan yang tak akan terselesaikan di Irak, yang gilirannya akan memberikan Iran peluang besar. Tapi AS tidak mau mendengarkannya. Sejak saat itu, Arab Saudi menjadi sangat kecewa dengan AS.
Setelah pemerintahan Obama memerintah, diadakan penyesuaian kebijakan AS di Timteng, secara garis besar cendrung meningkatkan hubungan antara AS dan Iran. Ahli dari “The Foundation for Defense of Democracies”(Yayasan Pertahan Demokrasi), Tony Badran menunjukkan bahwa pada masa lalu, AS telah memainkan peran “mediator” di Timteng, tapi sekarang berada pada titik dimana pengaruhnya telah berada pada titik terendah.
Obama perlu kerjasama dengan Iran untuk memastikan bahwa perjanjian nuklir Iran akan berjalan dengan sukses. Warisan politik Obama berada di tangan Iran. Pemerintahan Obama berusaha untuk menciptakan sebuah tatanan Timteng baru dan meningkatkan pengaruh regional Iran. Bahkan jika Iran tidak bisa menjadi pemimpin, AS ingin Iran menjadi salah satu negara inti di Timteng.