Lahirnya ISIS menurut Analis dan Pengamat
Perang Irak pada tahun 2003, menyebabkan keseimbangan politik dalam negeri Irak terganggu dan menyebabkan kerusuhan dalam negeri. Pada tahun 2011, AS terlalu keburu-buru menarik pasukan dari Irak, dan menggunakan “Calor Revolution” dalam upaya untuk menggulingkan pemerintahan Syria, sehingga memberi kesempatan bagi ISIS untuk dapat melakukan pemberontak militer yang tiba-tiba.
Maka dapat dikatakan bahwa ISIS adalah produk dari kekacauan di Timur Tengah, dan AS yang harus disalahkan. Jadi seharusnya AS harus bisa membereskan kekacauan ini. Selain itu, dari pengalaman di Irak dan Afganistan militer AS mendapat pelajaran untuk tidak lagi mudah untuk terjun langsung di medan perang Timteng lagi. Tapi tanpa pasukan darat, dan hanya mengandalkan serangan udara saja akan tidak cukup untuk menangani ISIS. Demikian pendapat para pengamat dan analis militer untuk Timteng.
ISIS Menjadi Isu Kampanye Politik di Pemilu AS
Dengan berkembangnya kekuatan ISIS, dan direbutnya kota Ramadi. Isu ini menjadi isu kampanye menjelang pemilu di AS, menjadi bahan “pertempuran” antara Republiken dan Demokrat di AS. “Fox News” di AS melaporkan dengan jatuhnya Ramadi Obama menjadi sasaran serangan Republiken.
Adik mantan Bush yang mantan gubernur Florida, yang juga dari republiken ikut menyerang Obama : “Kemarin, Ramadi telah dikuasai ISIS, ISIS tidak ada ketika saudara saya jadi presiden. Al Qaeda di Irak telah musnah ketika saudara saya jadi presiden. Ada kesalahan yang dilakukan di Irak, itu pasti, meng-stabilkan Irak dan jangan kasih kesempatan ISIS dan ISIL, itu adalah yang harus dibangun dan dilakukan presiden.”
Republiken lain juga ikut menguntuk pemerintahan Obama, dengan mengatakan strategi melawan ISIS sudah tidak effektif. Ketua DPR AS yang dari Republiken, John Boehner mengatakan : “Pesawat presiden tidak jalan. Sudah waktunya bagi dia untuk datang dengan rencana yang lebih komprehensif untuk mengalahkan ancaman teroris.”
Mantan Menhan AS, Robert Gate bahkan lebih bersikeras, dengan mengatakan “Kita tidak memiliki strategi. Kita hanya melakukannya hari per hari, dan permasalahan Timteng terus berkelanjutan.”
Menghadapai kertikan yang gencar tersebut, dalam wawancara esklusif yang ditayangkan pada 21 Mei lalu, Presiden Obama membantah bahwa AS dan pasukan gabungan kalah perang melawan ISIS, tetapi mengakui mereka harus bekerja lebih keras untuk membantu Irak merebut kembali wilayah yang dikuasai lawan.
Meskipun Obama berjanji untuk bekerja lebih keras, tapi dia tidak berencana untuk mengubah strategi melawan ISIS. Seorang juru bicara dari Pentagon mengatakan ;”Metode yang kami gunakan untuk menyerang militan ISIS di Irak masih layak. Hilangnya Ramadi hanyalah bagian dari naik turunnya perang.”
KASTAF Gabungan Umum AS, Martin Demsey mengatakan, jatuhnya Ramadi tidak akan mengubah kebijakan AS di Irak. Strategi AS terhadap ISIS memiliki garis bawah kritis (putusan mati), yang jelas tidak akan mengirim pasukan darat.
Ketika AS mempimpin GCTF (Global Countertrorrism Forum) yang dibentuk tahun lalu, Obama menekankan berkali-kali, pasukan Amerika yang telah dikerahkan di Irak tidak lagi dan tidak akan memiliki misi tempur. Misi mereka untuk penasehat dan membantu mitranya di darat. Seperti apa yang sudah dikatakan, bahwa pasukan AS bisa bergabung dengan sekutu dan menghancurkan ISIL tanpa pasukan AS berperang di daratan lain di Timteng.
AS jelas tidak akan mengirim pasukan darat. Ini sudah menjadi keptusan mati bagi Obama ketika membentuk GCTF tahun lalu. Metode tempur forum ini harus dengan serangan udara. Tapi tanpa adanya pertempuran pisik langsung di lapangan, untuk ingin menghancurkan ISIS tampaknya merupakan misi yang mustahil.
Pengamat mengatakan, tujuan akhir dari serangan udara tidak bisa menghabisi pasukan darat ISIS, karena orang-orang ISIS yang ada di daratan ini biasa bercampur dengan warga sipil, dan mereka mendapat dukungan sipil, jadi dalam hal ini tidak bisa membunuh setiap orang di wilayah strategis. Selama tidak dengan jumlah pasukan darat yang cukup untuk menggelar serangan darat, maka ISIS akan terus eksis.
“Wall Street Jounal” yang berbasis di AS menuliskan, kota-kota kunci di Syria dan Irak akan terus jatuh, dan mengekspose kelemahan strategi AS dalam berurusan dengan ISIS. Dan semakin banyak ahli militer AS yang percaya, AS harus mengirim pasukan darat, bukan hanya mengandalkan “dukungan udara terbatas dan bantuan militer”.
George Poloki, Mantan gubenur New York mengatakan “Saya sih tidak akan merugikan Amerika dengan mendaratkan orang Amerika untuk menghancurkan pusat-pusat pelatihan dan pusat perencanaan (ISIS). Saya tidak ingin melihat kita memasukan 1 juta tentara, menghabiskan 10 tahun dan triliunan dollar untuk mencoba men-demokrasikan negara dimana itu masih belum ada. Tapi mengirim pasukan, menghancurkan pusat pekrekrutan mereka, menghancurkan daerah dimana mereka ingin merencanakan untuk menyerang kita di sini (AS), dan kemudian keluar, dan meninggalkan catatan kecil di belakang. Kalian datang, demikian juga kita. Tidak ada perang 10 tahun, tidak ada korban besar, tetapi untuk melindungi kehidupan Amerika sebelum kita diserang disini.”
Namun suara keras demikian juga menyulitkan bagi arus utama di AS. Pada 11 Pebruari 2015, Presiden Obama secara resmi meminta Kongres untuk memberinya wewenang untuk melakukan putaran baru untuk memerangi ISIS, tetapi permintaannya ditolak.
Jadi dapat dikatakan bahwa ISIS bisa menjadi serperti sekarang ini sebagai akibat dari sikap pemerintah dan masyarakat AS.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Depertemen Petahanan AS, anggaran dasar Dephan AS untuk tahun fiskal 2016 sebesar US$ 534 milyar, alokasi untuk oeprasi militer melawan ISIS, termasuk untuk pelatihan ISF dan penyediaan persenjataan dan peralatan mereka, hanya US$ 5,3 milyar atau hanya 1% dari anggaran tersebut.
Pengamat melihat AS dalam memerangi ISIS terlihat canggung, sepertinya adanya lingkaran setan. Karena di satu sisi, ketika mereka pertama kali mengumumkan ingin menyerang ISIS, dan menekan ISIS bahkan menghancurkannya, tetapi ada kekurangan yang menyolok antara metode dan tujuannya. Ini yang disimpulkan setiap analis, hanya mengandalkan serangan udara saja tidak akan bisa menghancurkan ISIS.
Tapi AS telah memutuskan yang cukup tegas sebagai bottom line tidak akan mengirim pasukan darat. Jika melihat kondisi saat ini pengamat tidak melihat adanya tanda-tanda AS mungkin akan mengirim pasukan darat masuk. Terlihat bahwa AS kini masuk dalam lingkaran setan. Jadi bisa diprediksi strategi AS tidak akan memiliki perubahan besar dalam waktu dekat ini.
Dan bisa dikatakan bahwa GCTF yang dibentuk AS September 2014 yang lalu juga tidak effektif. Arab Saudi adalah sekutu paling penting dari AS di kawsan teluk, sedang salah satu tujuan yang paling jelas ISIS untuk mengambil alih kota suci Mekkah dan Medina di Arab Saudi. Untuk langka penting dalam menangani ISIS, Saudi Arabia saat ini sedang membangun tembok sepanjang 600 mil atau 900 km untuk pemisah dengan negara Irak. Tembok ini akan dimulai dari barat di kota Tuarif yang berbatasan dengan Yordania, dan akan berakhir di sebelah timur di perbatasan Arab Saudi dan Kuwait di Hafar Al-Batin. Yang dimulai sejak 5 September 2014.
Proyek ini terdiri dari dinding dan kanal, yang akan meliputi 40 sentra menara pengawasan, 5 lapis penjaga tanggul pasir pagar defensif, radar dan monitor pengawasan, yang terdiri dari 10 unit kedaraan pengintai surveilans yang masing-masing dilengkapi dengan SPEXER Radar, video, termal dan teropong malam (NVG). (Spexer radar : Radar darat yang menggunakan (AESA) operasional pengawas darat dengan pindai aktif elektronik array teknolgi serta inovatif digital beam forming (DBF) teknologi.)
Tetapi, saat terjadi pertempuran sengit antara Kurdi dan ISIS di perbatasan Turki dan Syria pada Oktober tahun lalu, ketika Turki dihadapkan harus mengambil keputusan apakah membantu atau tidak orang-orang Kurdi melawan ISIS, ternyata Turki tidak bisa mengambil keputusan.
Beberapa negara sekitar Arab diserukan untuk mengirim pesawat tempurnya dalam rangka mengambil bagian dalam operasi militer GCTF, tetapi dalam kenyataannya, mereka lebih memperhatikan hal-hal yang mereka pedulikan. Misalnya negara seperti Arab Saudi, Qatar, Turki dan Yordania mungkin mereka lebih perduli menghancurkan Syria. Itu yang menjadi perhatian utama mereka. Dan mungkin mereka lebih perduli dengan bagaimana menangkal munculnya pengaruh Iran, setidaknya itu yang menjadi keperdulian utama, dibandingkan dengan bagaimana mengeliminasi ISIS.
Situasi yang lebih gawat adalah seluruh negara anggota GCTF, terlepas dari beberapa negara yang berpartisipasi dalam apa yang dianggap serangan udara taktis, hampir tidak ada negara yang bersedia untuk menyebarkan pasukan daratnya. Menggabungkan kekuatan dengan didasari dukungan moral murni atau suatu aliansi yang lemah, mungkin akan sulit untuk memobilisasi setiap saat.
Seperti kenyataan yang ada sekarang, keberadaan ISIS sudah menjadi ancaman komprehensif bagi negara-negara sekitarnya, tapi dari mana motivasi dan kemauan untuk menghancurkan itu berasal? Hal itu menjadi masalah yang sangat besar. Dalam situasi sekarang, jika meminta Iran untuk mengirim pasukan darat untuk menghabisi ISIS, Iran akan berpikir bahwa ini adalah masalah Arab, dan karena ISIS belum menyerang territori Syiah di Iran, maka orang Arab harus dapat menangani sendiri.
Jika ingin Yordan dan Arab Saudi untuk melakukannya, mereka akan berkata: “Maaf” tapi ISIS belum menyerang wilayah kita. Kami telah melakukan apa yang kami bisa. Kami telah mengirim pesawat dan telah melakukan pengorbanan. Jika minta bantuan Turki, Turki akan mengatakan itu adalah masalah Arab. Jika bertanya kepada pemerintah Syria, mereka akan mengatakan;”Maaf, tapi mereka coba menggulingkan kita, kita tidak bisa mengendalikan situasi.” Jika meminta pemerintah pusat Bagdad, mereka akan mengatakan: “Maaf, tapi kelompok ini berkembang dan tumbuh kuat di Syria. Kita tidak bisa menangani mereka.”
Saat ini tidak ada satu negara atau kekuasaan yang memang benar-benar mencoba untuk membendung kemajuan penguasaan darat oleh ISIS yang terus berekspansi bagi semua pihak. Kekuatan ini masih belum ada. Maka dari itu, walau bagaimanapun ekstrimnya kelompok ini (ISIS) akan terus eksis untuk jangka waktu lama.
AS juga mengalami kesulitan dalam menyerang ISIS, “Apakah musuh dari kawan saya itu benar-benar musuh?” Dalam daftar GCFT yang dipimpin AS, beberapa negara telah memunculkan diri, tetapi tidak melakukan banyak, dan tidak memainkan peran satupun yang substansial. Yang bisa memainkan peran kunci dalam serangan terhadap ISIS, seperti Rusia, Iran dan Syria, bukan anggota dalam forum ini. Hal ini yang menjadi satu masalah besar yang dihadapi CGTF.
Dengan ISIS terus bertumbuh besar, apa strategi AS untuk jalan keluar untuk ini ?
Peran Rusia
Dari 21 s/d 23 Mei 2015, PM Irak Haider al-Abadi mengunjungi Rusia. Untuk mencari dukungan militer dari Rusia dalam menyerang ISIS. Rusia juga menyatakan akan membantu Irak melawan ISIS. Meskipun Irak masih dianggap pro-AS, pakar Russia percaya bahwa Irak selalu memiliki sikap positif ketika berhadapan dengan Rusia, sebagian karena melihat pengaruh Rusia di Temteng. Terutama untuk masalah Iran dan Syria, selain itu juga karena dimana AS enggan memberikan senjata untuk melawan ISIS, sehingga Irak harus mendapatkan dukungan dari Rusia.
Kini Irak menghadapi situasi yang komplek, membutuhkan persenjataan yang modern dan effektif. Dalam hal ini Rusia dapat memberikan Irak persenjataan yang dibutuhkan ini. Seperti jet tempur SU-25, Helikopter tempur Mi-28, Mi-35 dan K-52, berbagai artileri, dan sistem volley-fire, yang akan membantu militer Irak lebih effektif melawan ISIS. Rusia telah menyediakan batch pertama.
Beberapa analis mengatakan, Rusia mau melakukan ini karena Irak, Syria dan Mesir berada di garis depan dalam kontraterorisme, dan keberadaan ISIS menjadi acaman langsung terhadap mitra strategi Rusia di Timteng yaitu Syria. Oleh karena hal ini Rusia bersemangat memberikan sejumlah besar senjata kepada Irak dalam periode yang yang sangat singkat, dan senjata-senjata ini telah memainkan peran utama dalam memerangi ISIS.
Peran Iran
Disisi lain, Iran oleh “The Guardian” Inggris, dianggap sebagai sekutu paling ideal bagi AS untuk memerangi Pasukan ekstrrimis ISIS. Namun AS tidak pernah secara terbuka mengundang Iran untuk bergabung dalam CGTF dalam menyerang ISIS.
Iran negara Islam Syiah terbesar di Timteng. Pada 2003, setelah AS menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein, yang juga musuh Iran. Kini Irak untuk pertama kalinya dikontrol oleh kaum Syiah setelah beberapa generasi dijadikan warga nomor dua di Irak. Iran akan mencoba untuk melakukan yang terbaik untuk menjaga pemerintah Irak yang dipimpin kaum Syiah agar ramah terhadap Iran.
Pada 12 Mei 2015, Presiden Irak---Fuad Masum mengunjungi Teheran, bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani dan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei. Juru bicara Khamenei mengatakan, Jika pemerintah Irak meminta secara resmi kepada pemerintah Iran, maka Republik Islam akan menanggapi permintaan ini.
Saat ini, Iran telah menyatakan secara tidak langsung bahwa keamanan dan integritas Irak menjadi perhatian utama dari kebijakan luar negerinya. Sebelumnya, pada bulan Agustus 2014, Menlu Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan ketika mengunjungi Irak bahwa Iran melihat keamanan Irak sebagai urusan keamanannya sendiri.
Aso Ali seorang analis politik Irak mengatakan, Pemerintah AS akan menyadari bahwa itu akan sulit bagi AS untuk bisa mengumpulkan semua negara (sekutu CGTF). Dan akan menyadari bahwa tanpa dukungan Iran atau bahkan Syria akan sulit untuk mengalahkan ekstrimis, karena serangan udara memerlukan informasi dari daratan, untuk misi ini perlu bantuan Syria.
Para analis mengatakan, berhadapan dengan kekacauan di Timteng, AS membutuhkan kekuatan lebih untuk menekan ekstrimis, dan Iran adalah salah satu pilihan. AS dan Iran memiliki kepentingan bersama yang luas dalam memerangi ISIS. Kedua negara berharap Irak memiliki pemerintahan yang kuat yang ada diatas masalah konflik agama.
Tapi bagaimanapun, permusuhan tradisional antara Iran dan AS untuk berbicara perdamaian dan memulai kerjasama lebih mudah diucapkan daripada untuk dilaksanakan. Para ahli strategi internasional dan media Eropa seperti “The Daily Telegraph” di Inggris, telah menyarankan AS melepaskan prasangka dan bergabung dengan Iran dan negara-negara lain untuk melawan ISIS.
Karena Iran satu satunya yang dapat mengirim pasukan darat secara langsung untuk berperang di Irak dari luar. Satu-satunya alasan kenapa garis perbatasan Irak di bagian timur laut pada umumnya keamanannya cukup mantap karena atas bantuan Iran. Sejauh perasaan Iran untuk mengambil tanggung jawab secara sadar atau tidak sadar untuk melindungi pemerintah Bagdad sebagai negara sesama Islam Syiah, sehingga bila Bagdad terancam, Iran pasti akan membantu.
Sekretaris Pers Gedung Putih AS, Josh Earnest mengatakan bahwa aliansi yang dipimpin AS akan mendukung pasukan militer lokal di Iran, dan membantu mereka merebut kembali Ramadi dari tangan ISIS. Tetapi seluruh dunia percaya bahwa kerjasama semacam ini hanyalah kerjasama dalam batas tertentu.
Karena jika pengaruh Iran mampu sepenuhnya mengendalikan Irak dan menyebar hingga ke Syria dengan memerangi ISIS, AS sungguh akan tidak akan menerima itu. Jadi walaupun seandainya sudah ada kerjasama taktis antara AS dan Iran, AS pastilah tidak akan mau publik boleh mengetahui atau menerima kebijakan Iran di Irak atau Syria.
Setelah ISIS merebut Ramadi dan Palmyra, AS bersikeras bahwa strategi terhadap ISIS tidak akan disesuaikan dengan cara lain yang lebih besar. Banyak pengamat lalu mempertanyakan, renana apa yang akan AS lakukan?
Sebuah artkel yang diterbitkan “Altlantic” mungkin bisa menjawab pertanyaan ini. Dalam artikel tersebut dikatakan, dengan hanya menggunakan serangan udara dan perang proxy (perwakilan) agar ISIS berdarah perlahan-lahan hingga darahnya kering mungkin pilihan yang terbaik dengan tidak adanya pilihan lain. ISIS tidak sekuat yang mereka bayangkan. Karena rakyat/kaum Kurdi dan Syiah tidak akan tunduk kepada ISIS, jadi perluasan ISIS akan sulit di daerah-daerah di luar daerah penduduk Sunni.
Ada pengamat ahli Timteng yang memberi analisis, saat sekarang tidak ada yang bisa memusnahkan ISIS. Karena semua pihak yang ikut bergesekan dengan perang tersebut saat ini hanya sebatas kebijakan, kerena selama ISIS itu masih eksis akan terus memiliki dukungan keuangan secara konstan dan dukungan dari orang-orang sekitarnya.
Jika situasi seperti ini dimana dikelilingi dan ditekan, jika ini berlangsung dengan jangka panjang, orang-orang yang berada di daerah yang dikontrol mungkin akan timbul pikiran kedua, dan berhenti mendukung ISIS. Dan jika ada jihadis dari seluruh dunia pergi kesana, mereka akan merasa kecewa ketika mereka sampai disana. Dan akan ada pertikaian setelah itu. Jika mereka bertikai, solusi akan lebih mudah. Situasi seperti ini yang mungkin akan membantu meleburkan ISIS, tetapi ini perlu waktu dan memerlukan waktu yang lama.
Pejabat senior AS dan Obama yang terlibat dengan masalah ISIS ini, mengakui kontes antara AS dan ISIS akan menjadi perang panjang, dimana akan terjadi tenggelam-timbul. Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan? Apakah sekutu AS memiliki kesabaran untuk terus berjuang? Akankah organisasi ekstrimis akan mendapat kesempatan untuk bernafas dan benar-benar tumbuh lebih kuat? Hal ini semua menjadi pertanyaan bagi AS dan sekutunya yang perlu dipertimbangkan.
Selain itu perlu diingat bahwa dengan berkepanjangan perang yang terjadi ini, luka di Timteng akan tetap menjadi terbelah dan terus berpendarahan. AS dan sekutunya yang terlibat berperang langsung di Timteng diharapkan bisa dengan sungguh-sungguh menelorkan kebijakan yang meng-refleksikan kebijakan Timteng yang bisa membawa perdamaian dan keamanan di Timteng. Semoga..... rakyat Timteng yang sudah cukup lama menderita akibat perang ini bisa cepat mendapatkan kedamaian dan kesejahteraan hidup di masa yang akan datang .... amin...
(Habis).
Sumber : Media Tulisan & TV dalam dan Luar Negeri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H