Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Sesal

10 September 2015   20:38 Diperbarui: 10 September 2015   22:23 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Nomor 47: Mas Nuz

________

Pengumuman:

1. Ujian Akhirussannah akan dilaksanakan tanggal 3-15 Ramadhan 1436 H.

2. Persyaratan mengikuti ujian adalah: 1) Lunas syahriyah sampai dengan bulan Ramadhan 1436 H, 2) Menyerahkan bukti tanda tidak ada tanggungan peminjaman kitab di perpustakaan ma'had dan asrama, 3) Menyerahkan tanda habis tanggungan dari BAZ bagi yang menerima beasiswa.

3. Masa tenang akan dimulai tanggal 24 Sya'ban - 2 Ramadhan 1436 H.

________

Dan kini, masih saja aku terpekur di sini. Rasa sedih ini entah harus bermuara ke mana. Tak seharusnya semua ini terjadi. Seharusnya ini tak terjadi. Masih saja pikiranku melayang ke sore itu.

"Abi, kenapa kok telat datangnya?" Tiba-tiba saja Nabil anakku memelukku erat. Air matanya berderai tanpa bisa ditahan lagi. Sementara aku pun berdiri saja. Tercekat. 

"Maafkan, abi sayang. Kapal dari Makassar sempat mengalami gagal sandar beberapa kali. Sehingga penumpang harus menunggu sampai laut tenang," kataku mencoba menenangkan. Namun tangis Nabil malah semakin bertambah keras.

"Bapak Dayat...?" Seorang perawat perempuan dengan pelahan mendekat ke arahku.

"Ya," jawabku singkat.

"Sebaiknya Nabil bisa dibawa ke luar dulu, Bapak. Biarlah Firli untuk sementara kami jaga. Kasihan dia. Sejak pagi tadi tak henti-hentinya menangis."

Sejenak aku pandangi perawat itu. Wajah teduh itu menawarkan gelegak resahku.

"Saya mohon bisa menjenguk Firli sebentar ya, Mbak?" Pintaku memohon.

"Disila, Bapak." Aku pun berananjak meminta Nabil untuk diam. Memintanya duduk di kursi tunggu depan ICU. Sementara aku lihat, Firli terbaring diam di salah satu sudut ruang ICU.

Ya, Allah. Mengapa ini harus terjadi? Aku yakin sebelumnya Firli lebih kuat dibandingkan kakaknya, Nabil. 7 tahun masa bersama di pesantren sudah cukup menjadi bukti. Meski berbeda komplek, setiap kakaknya sakit, Firli anakku yang bungsu selalu menjaga dengan kakaknya dengan sabar di poliklinik pesantren.

"Maafkan abi ya, nak...." Tangan putih lembutnya ku raih dengan perlahan. Lalu, kucium kening dan pipinya pelan-pelan. Tak terasa bulir-bulir bening itu jatuh dengan derasnya. Aku pun duduk bersimpuh di bawah bed perawatan. Langit-langit ruang ICU yang berwarna putih itu pun terlihat berubah jadi abu-abu.

"Maafkan abi ya, nak..." Kembali kalimat itu meluncur dari mulutku. Aku pun tak mampu memandang wajahnya yang begitu pucat.

"GCS-nya 2-2-2, Bapak...," terngiang-ngiang jawaban perawat ICU saat ku tanya kondisi terakhir anakku. Kesadaran dan respons motorik yang sangat jelek.

"Abi..." Akupun menjadi geragapan.

"Abi..." Suara yang teramat lirih itu menyapaku.

"Firli. Ya. Ini abi sayang. Maafkan abi ya, sayang," mulutku tergetar tanpa bisa ditahan.

"Maafkan Firli, ya..." Lalu semua menjadi senyap. Kecuali lengkingan alat monitor yang menunjukkan kondisi kegawatdaruratan.

Bergegas 2 orang perawat mendekati kami. 

"Bapak, tolong ke luar dulu ya," seorang perawat menarik pelan lenganku.

"Tidak, Mbak. Ini sayangku. Biarlah saya menunggu di sini." Pintaku memelas.

Kemudian dengan sigap mereka lakukan tindakan medis ke Firli. Aku pun hanya mampu berdoa agar Allah berikan terbaik untuk anakku.

___________

"Abi, salat jamaah dulu yuk," ajak Nabil. Ku lihat wajahnya masih nampak begitu pucat.

"Ya. Abi nyusul sebentar lagi ya."

"Pak Dayat...," tiba-tiba suara yang cukup kenal mendekatiku, Ustaz Fakhri.

"Afwan ya, Pak. Kami sudah berusaha maksimal untuk merawat Firli." Kemudian kami pun terdiam. Keheningan yang terasa aneh.

"Maaf, seharusnya saya yang memohon maaf kepada pengasuh di sini semua. Bahkan ucapan terima kasih pun rasanya tak cukup untuk membalas kebaikan Antum semua." Segera kuraih tangan beliau. Kami pun berpelukan.

Kembali mata air ini liar mengalir.

"Maafkan saya Ustaz. Maafkan abi, Nabil. Maafkan aku, Firli..."

Kembali semua hening. Menyusuri rasa sesal yang masih saja belum bermuara.

 

---Bumi Majapahit, 9 September 2015.

(Karya ini orsinil dalam belum pernah dipublikasikan - Gambar koleksi pribadi.))

 

Untuk melihat karya yang lain bisa dibuka di sini. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun