Pada suatu malam, lantunan syukur dan kumandang takbir mewarnai keharuan warga yang tengah merayakan terselesaikannya bangunan suci. Yakni sebuah Masjid, sebuah rumah Allah di kampung mereka. Mereka merasa malam ini adalah malam spesial yang sejak lama ditunggu-tunggu.
Sekitar setahun yang lalu, mereka semua sepakat bergandengan tangan dan bergotong-royong meniatkan diri mewujudkan impian. Impian untuk semakin dipeluk dengan Kasih Sayang Allah secara lebih intim. Impian untuk bisa dibelai setiap saat. Impian untuk merasa menjadi bagian dari pekarangan Rumah Allah Dzat Yang Maha Suci dan Luhur.Kampung kecil ini akan merasa lebih berarti, berada dalam santunanNya. Kebanggaan dan pengharapan bahwa Allah mempercayakan kepada kampung itu menjadi salah satu wilayah curahan Rahmat dan HidayahNya. Sebab tiada yang lebih berarti di dalam kehidupan ini selain bermandikan pendaran Cahaya CintaNya.
Di halaman masjid, semua warga yang merayakan terwujudnya masjid itu saling bermanja-manja dalam luapan emosi cinta dan syukur. Laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua. Mereka terhanyut dalam keharuan tiada tara, kebahagiaan tiada terkira. Kumandang takbir dan lantunan beruntai-untai kata syukur bersahut-sahutan. Tak sedikit air mata tertumpah. Namun tiba-tiba, seseorang dengan kedatangannya yang terlambat, ikut bergabung dalam kerumunan itu. Di pundak kanannya terpanggul sebuah kapak besar yang gagah, tajam berkilat-kilat. Dengan perangainya yang demikian aneh, kontan dia menarik perhatian seluruh warga. Serta-merta seluruh ungkapan dan luapan syukur itu terhenti tiba-tiba. Pandangan mereka tertuju pada langkah dan lenggang pasti orang ini. Entah apa yang merasuki orang ini, dengan dingin dan penuh kemantapan dia mendekati masjid. Dia ayunkan kapak besarnya itu ke arah tiang masjid dengan garang. Satu per satu tiang tumbang dan masjid yang baru saja selesai dibangun itu ambruk berdebum di tanah, pandangan kemegahan tiba-tiba berubah menjadi tumpukan runtuhan yang sama sekali tanpa kemegahan. Dan kekhidmatan berubah menjadi kemarahan tanpa hingga.
Orang-orang sejak tadi terhenyak dan tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah, sejak awal yang bisa mereka lakukan hanyalah rasa penasaran kepada orang ini, berlanjut ketidakpercayaan terhadap segala tindakannya. Mulut mereka tercekat, lidah kelu, mata terbelalak, dan tiba-tiba mereka terlambat sadar bahwa masjid mereka baru saja hancur oleh seorang warganya sendiri.
Pada saat mereka menyadari, orang itu sudah hendak pergi dengan lenggang dan langkah tenang nan pasti yang sama persis dengan kedatangannya. Para warga segera mencegat dan berkerumun hendak memukuli orang ini. Orang ini berhenti kemudian berkata,
“Apakah dengan memukuliku hingga mati sekalipun kalian akan mendapati masjid kalian kembali seperti semula?” kata orang itu
“Kurang ajar, kamu menghina rumah Allah!!” kata salah seorang warga
“Tidak aku justru sedang takut Allah dihina”
“Apa maksudmu? apa kamu tidak menyadari dengan apa yang kamu lakukan, sudah sepantasnya kamu diganjar dengan hukuman”
“Kalaulah ada yang menghukumku, itu adalah Allah, sebab aku sangat takut bila bukan Dia, segala hukuman yang kalian ciptakan suatu hari hanya akan membuatmu merasa bersalah, berdosa menghantui seumur hidup, dan menyesal hingga terbawa ke dalam kubur” kata orang itu dengan penuh yakin
“Kalau begitu sekarang katakan apa maksudmu menghancurkan Rumah Suci ini?”
“Rumah ini akan tetap Suci, meskipun kalian hanya mampu melihat tumpukan reruntuhan, bahkan dia akan sangat mungkin kehilangan kesucian ketika masih berdiri gagah dengan membawa makin banyak kesombongan-kesombongan dan ke-aku-an kalian. Akhirnya Rumah suci yang kalian kira itu hanya ada di dalam pikiran dan pembenaran kalian saja”
“Kamu tidak usah berfilsafat, dan tidak perlu merasa seakan kamu ini Nabi Khidir. Hey..ingat! Kamu itu siapa? kamu itu hanya orang yang selama inipun nggak jelas kehidupannya”
“Hahahahaha… kalian ini lucu, mengapa kalian mengira pantas bahwa untuk mengingatkan kalian perlu kedatangan Nabi Khidir. Seharusnya kalian bisa belajar dan bisa diingatkan dengan aliran air, daun yang melayang jatuh, gunung yang gagah menjulang, dan dari apapun yang sebenarnya adalah ayat-ayatNya yang bisa kalian baca”
“Bagaimana kamu bisa menuduh kami yang banyak ini dengan pendapatmu yang hanya seorang diri, bagaimana kamu merasa yakin bahwa kamu yang benar?”
“Luapan syukur kalian akan menjadi penghinaan bila akhirnya menjadi keangkuhan. Kumandang Takbir kalian akan menjadi pelecehan bila akhirnya berubah menjadi kesombongan. Lantunan kata-kata syukur dan lelehan air mata malah bisa menjadi pengkhianatan tatkala kalian melanjutkannya dengan merasa diri kalian yang menjadikan semua ini dapat terwujud. Sekarang ini kalian sedang dalam persatuan, karena ada aku yang membuat hati kalian merasa diperangi. Kalian sedang melihat musuh yang nyata, meski aku bukan tampil dengan niat menjadi musuh. Kalian beruntung mampu melihat dengan konsep yang sama bahwa aku ini adalah sosok kurang ajar yang berani mengusik kekhidmatan rasa syukur, keharuan, dan air mata taqwa kalian. Tapi bayangkan bila tidak ada sosok yang bisa kalian lihat, tidak ada sosok yang bisa kalian kambing-hitamkan, tidak ada sosok yang mengusik ketentraman kalian. Akan lebih sulit bagi kalian mencari posisi jasa kalian di mata manusia, karena sosok itu hanya di dalam wilayah kedalaman hatimu. Kalian nanti akan menjadikan diri kalian pahlawan. Kalian akan melihat orang lain tidak penting. Maka, dengan makin indahnya masjid, makin banyak juga berhala-berhala yang kalian dirikan di dalam hati kalian”
“Heh.. hati-hati kalau bicara, dengan bukti apa kamu bisa menuduh kami seperti itu?”
“Bila bukti bahwa kalian sedang menjadi Umat yang bersatu dengan adanya orang yang merelakan dirinya diumpat dan disumpah serapahi, maka aku tidak mampu memberikan bukti yang lain. Andaikan aku gali bumi ataupun terjun ke kedalaman samudera maka aku hanya menemukan kesia-siaan dengan segala perbantahan kalian. Bukti itu tidak bisa digali dari bumi, tidak bisa dicari dari dasar samudera, sebab bukti itu ada di suatu tempat yang tak seorangpun mampu menggalinya, tidak sedikitpun kemampuanku untuk menguak hati manusia selain Allah dan manusianya itu sendiri”
“Bila kamu mengakui bahwa kamu tidak mampu menguak apa yang ada di dalam hati kami, mengapa kamu merasa yakin dengan tindakanmu?”
“Aku tidak sedang kalian minta menguak hati kalian, tapi sedang kalian minta untuk memberikan bukti. Dan hati manusia tanpa perlu dikuak akan tercermin dari sikap dan perilaku hidupnya, sedangkan perilaku dan sikap hidup adalah energi yang sulit dibungkus dan disodorkan menjadi bukti. Kalian sendiri yang harusnya dengan kejujuran menyimpulkan sendiri, sejauh mana kalian membangun masjid, dan sebanyak apa kalian membangun berhala”
“Apa berhala yang kamu maksud?”
“Ke-aku-an kalian adalah berhala pertama, merasa berjasa sifat berhalanya, merasa suci adalah berhala kedua, merasa benar adalah berhala selanjutnya, dan lahir secara terus-menerus berhala-berhala keangkuhan yang mulai berani memandang remeh kepada yang lain. Kemudian lahir lagi berhala-berhala yang lain. Seiring makin tergapainya impian akan sebuah Masjid. Kamu pikir kamu sedang dalam misi membangun masjid dan merasa yakin bahwa itulah misi paripurna. Padahal adanya masjid tidak untuk membuntukan akal kalian, bukan untuk menumpulkan persepsi iman kalian, masjid itu bukan tujuan melainkan cara. Bila tujuan kalian hanya membangun masjid maka kalian akan selesai membangun diri setelah masjid selesai, karena kalian menganggap telah menyelesaikan tugas suci, tapi bila masjid adalah cara, maka meskipun masjid ini megah namun dia tetap merupakan cara atau sarana untuk mempersatukan umat, menjadi pusat kegiatan konstruktif yang berkesinambungan. Dengan aku menghancurkan masjid yang kalian kira bisa menjadi cara baru pamer kepada manusia lain, maka bersamaan dengan keruntuhanya, runtuh dan hancur juga berhala dalam hati kalian. Allah tidak membutuhkan masjid yang ternyata hanya menciptakan penyakit-penyakit kalbu”
“Kamu telah berburuk sangka, kamu telah menuduh tanpa dasar, kamu sendiri sebenarnya yang sombong, merasa benar, merasa layaknya utusan Allah yang bisa bertindak bagai tengah menerima FirmanNya”
“Bila benar demikian, maka segera akan aku terima dengan kerelaan besar hukuman kalian akibat kesombonganku, tapi bila ternyata salah apa yang kalian sangkakan maka aku pasti sedih. Sebab dengan resiko jiwaku, kalian tidak memperoleh apapun melainkan kekosongan yang membodohi kasunyatan”
“Kamu memang keras kepala, kini kami tidak akan memukulimu. Kami akan memberimu hukuman yang lain. Kamu harus bisa menghargai betapa susah membangun masjid ini!
"Susah? siapa yang susah membangun?”
“Apa kamu tidak ingat, kami semua berkeringat dan berduyun-duyun menjalankan fungsi kebersamaan demi Masjid ini?”
“Bagus! kamu sekarang dengan ikhlas mengakui bahwa yang mewujudkan Masjid ini bukan aku, atas jasaku, atas ku ku yang lain. Kamu dengan rela berkata bahwa yang mewujudkan Masjid ini adalah "kami”, artinya kepasrahan dan kebersamaan kalian ternyata lebih utama untuk mengundang Kasih Sayang Allah dalam menolong hajat kalian. Tapi benarkah kalian yang membangun?“
"Apa kamu tidak melihat dan tidak ingat?”
“Yang aku lihat Kasih sayang Allah, dan yang aku ingat adalah bahwa Allah yang menggerakkan telinga, mata, dan hati kalian. Kalian menyangka kalian yang melempar batu, padahal tangan yang melempar batu itu adalah TanganKu. Tidak juga seorangpun dapat memberikan petunjuk melainkan Aku, dan tidak dapat seorangpun menghalangi kepada siapa aku akan memberikan petunjuk”
“Kamu berbicara soal petunjuk, apakah adanya kesanggupan kami membangun Masjid ini dan selesai dengan segala kemudahanNya bukan merupakan petunjuk bahkan keridhloanNya?”
“Ingat selain Maha Memberi Petunjuk, Allah juga Maha mbombong, nglulu. Istidroj. Bagaimana kalian bisa merasa yakin itu bukan Istidroj Allah?”
“Allah tidak akan menggerakkan suatu kaum bila bukan kaum itu sendiri yang menggerakkan dirinya”
“Kalau kalian merasa digerakkan sebagai kaum, seharusnya kalian tepis dan singkirkan jauh-jauh ke-aku-an kalian. Dan setelah kalian merasa digerakkan sebagai kaum maka kalian tidak meniti jalan bergerak ke ranah keangkuhan, wilayah kesombongan, dan area ke-aku-an”.
“Bagaimanapun kamu telah bersalah. Kesalahan itu harus memperoleh hukuman”
“Aku akan dengan senang hati menjalani hukumanku, asal kalian sekarang berada pada kerangka persatuan Umat dan membangun Kemaslahatan”
“Jangan banyak argumentasi. Kamu pikir kami sedang terpecah-belah?”
“Tidak akan kalian sadari keterpecahan jika pecah itu sendiri kalian tidak kenal”
“Coba jelaskan apa itu pecah?”
“Pecah adalah ketika sebatang lidi merasa menjadi sapu, ketika segelas air merasa menjadi samudra, ketika kreweng merasa menjadi atap”
“Teorimu itu tidak membuat Masjid ini kembali berdiri”
“Tapi membuat kalian bangkit dalam kebersamaan”
“Kamu tidak bisa lari dari hukuman dengan segala jawabanmu. Dirikan kembali Masjid yang telah dengan susah dibangun itu. Bagaimanapun caranya!”
“Baiklah aku akan menyanggupi. Ini adalah hukuman yang semakin membuatku yakin bahwa kalian hanya berharga dengan kemegahan Masjid dan tidak merasa berharga tanpanya, Rumah Allah itu sebenarnya sudah pernah kalian bangun sendiri di atas kepala kalian, tapi bangunan suci tempat tinggal Kasih sayang Allah di dalam dirimu tidak berharga lagi berbanding kemegahan bangunan bernama Masjid. Aku akan menuruti hukuman kalian bila memang ini adalah kesepakatan kalian, meski dengan penuh sesal aku rasakan. Aku akan merasa sedih dan menyesal kalau yang kalian lakukan adalah menindas, membenci, dan memperturutkan hawa amarah. Semoga kalian sedang tidak menindasku, sebab tidak baik sebuah masjid yang akan digunakan sebagai berkumpulnya umat dan tempat ibadah dibangun dengan penindasan. Semoga kalian juga tidak sedang membenciku sebab masjid untuk menyambung kasih sayang dan kebaikan bukan kebencian. Dan semoga kalian tidak sedang memperturutkan dendam dan hawa amarah kalian, sebab Masjid tidak dibangun dengan dendam dan amarah”
***
Tiba-tiba seseorang terbangun dan mendengar alunan lembut suara Adzan. “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” dia segera bergegas bangkit dan berlari menuju Masjid. Dilihatnya Masjid itu masih berdiri dengan anggun dan indah, dan menggabungkan diri bersama Jamaah yang telah terlebih dulu hadir. Ternyata… merdu suara Muadzin membangunkan tidurnya. Kegelapan hampir luruh dan cahaya mentari siap hendak menggantinya. Alunan Iqamah melehkan air matanya"…Haiyaalas solah Haiyaalal falah . Qadqamatis solah Qadqamatis solah“, dan jamaah bersama-sama bangkit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H