Mohon tunggu...
Cerpen

Membangun Masjid

28 Oktober 2016   13:27 Diperbarui: 28 Oktober 2016   13:35 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Rumah ini akan tetap Suci, meskipun kalian hanya mampu melihat tumpukan reruntuhan, bahkan dia akan sangat mungkin kehilangan kesucian ketika masih berdiri gagah dengan membawa makin banyak kesombongan-kesombongan dan ke-aku-an kalian. Akhirnya Rumah suci yang kalian kira itu hanya ada di dalam pikiran dan pembenaran kalian saja”

“Kamu tidak usah berfilsafat, dan tidak perlu merasa seakan kamu ini Nabi Khidir. Hey..ingat! Kamu itu siapa? kamu itu hanya orang yang selama inipun nggak jelas kehidupannya”

“Hahahahaha… kalian ini lucu, mengapa kalian mengira pantas bahwa untuk mengingatkan kalian perlu kedatangan Nabi Khidir. Seharusnya kalian bisa belajar dan bisa diingatkan dengan aliran air, daun yang melayang jatuh, gunung yang gagah menjulang, dan dari apapun yang sebenarnya adalah ayat-ayatNya yang bisa kalian baca”

“Bagaimana kamu bisa menuduh kami yang banyak ini dengan pendapatmu yang hanya seorang diri, bagaimana kamu merasa yakin bahwa kamu yang benar?”

“Luapan syukur kalian akan menjadi penghinaan bila akhirnya menjadi keangkuhan. Kumandang Takbir kalian akan menjadi pelecehan bila akhirnya berubah menjadi kesombongan. Lantunan kata-kata syukur dan lelehan air mata malah bisa menjadi pengkhianatan tatkala kalian melanjutkannya dengan merasa diri kalian yang menjadikan semua ini dapat terwujud. Sekarang ini kalian sedang dalam persatuan, karena ada aku yang membuat hati kalian merasa diperangi. Kalian sedang melihat musuh yang nyata, meski aku bukan tampil dengan niat menjadi musuh. Kalian beruntung mampu melihat dengan konsep yang sama bahwa aku ini adalah sosok kurang ajar yang berani mengusik kekhidmatan rasa syukur, keharuan, dan air mata taqwa kalian. Tapi bayangkan bila tidak ada sosok yang bisa kalian lihat, tidak ada sosok yang bisa kalian kambing-hitamkan, tidak ada sosok yang mengusik ketentraman kalian. Akan lebih sulit bagi kalian mencari posisi jasa kalian di mata manusia, karena sosok itu hanya di dalam wilayah kedalaman hatimu. Kalian nanti akan menjadikan diri kalian pahlawan. Kalian akan melihat orang lain tidak penting. Maka, dengan makin indahnya masjid, makin banyak juga berhala-berhala yang kalian dirikan di dalam hati kalian”

“Heh.. hati-hati kalau bicara, dengan bukti apa kamu bisa menuduh kami seperti itu?”

“Bila bukti bahwa kalian sedang menjadi Umat yang bersatu dengan adanya orang yang merelakan dirinya diumpat dan disumpah serapahi, maka aku tidak mampu memberikan bukti yang lain. Andaikan aku gali bumi ataupun terjun ke kedalaman samudera maka aku hanya menemukan kesia-siaan dengan segala perbantahan kalian. Bukti itu tidak bisa digali dari bumi, tidak bisa dicari dari dasar samudera, sebab bukti itu ada di suatu tempat yang tak seorangpun mampu menggalinya, tidak sedikitpun kemampuanku untuk menguak hati manusia selain Allah dan manusianya itu sendiri”

“Bila kamu mengakui bahwa kamu tidak mampu menguak apa yang ada di dalam hati kami, mengapa kamu merasa yakin dengan tindakanmu?”

“Aku tidak sedang kalian minta menguak hati kalian, tapi sedang kalian minta untuk memberikan bukti. Dan hati manusia tanpa perlu dikuak akan tercermin dari sikap dan perilaku hidupnya, sedangkan perilaku dan sikap hidup adalah energi yang sulit dibungkus dan disodorkan menjadi bukti. Kalian sendiri yang harusnya dengan kejujuran menyimpulkan sendiri, sejauh mana kalian membangun masjid, dan sebanyak apa kalian membangun berhala”

“Apa berhala yang kamu maksud?”

“Ke-aku-an kalian adalah berhala pertama, merasa berjasa sifat berhalanya, merasa suci adalah berhala kedua, merasa benar adalah berhala selanjutnya, dan lahir secara terus-menerus berhala-berhala keangkuhan yang mulai berani memandang remeh kepada yang lain. Kemudian lahir lagi berhala-berhala yang lain. Seiring makin tergapainya impian akan sebuah Masjid. Kamu pikir kamu sedang dalam misi membangun masjid dan merasa yakin bahwa itulah misi paripurna. Padahal adanya masjid tidak untuk membuntukan akal kalian, bukan untuk menumpulkan persepsi iman kalian, masjid itu bukan tujuan melainkan cara. Bila tujuan kalian hanya membangun masjid maka kalian akan selesai membangun diri setelah masjid selesai, karena kalian menganggap telah menyelesaikan tugas suci, tapi bila masjid adalah cara, maka meskipun masjid ini megah namun dia tetap merupakan cara atau sarana untuk mempersatukan umat, menjadi pusat kegiatan konstruktif yang berkesinambungan. Dengan aku menghancurkan masjid yang kalian kira bisa menjadi cara baru pamer kepada manusia lain, maka bersamaan dengan keruntuhanya, runtuh dan hancur juga berhala dalam hati kalian. Allah tidak membutuhkan masjid yang ternyata hanya menciptakan penyakit-penyakit kalbu”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun