“Kamu telah berburuk sangka, kamu telah menuduh tanpa dasar, kamu sendiri sebenarnya yang sombong, merasa benar, merasa layaknya utusan Allah yang bisa bertindak bagai tengah menerima FirmanNya”
“Bila benar demikian, maka segera akan aku terima dengan kerelaan besar hukuman kalian akibat kesombonganku, tapi bila ternyata salah apa yang kalian sangkakan maka aku pasti sedih. Sebab dengan resiko jiwaku, kalian tidak memperoleh apapun melainkan kekosongan yang membodohi kasunyatan”
“Kamu memang keras kepala, kini kami tidak akan memukulimu. Kami akan memberimu hukuman yang lain. Kamu harus bisa menghargai betapa susah membangun masjid ini!
"Susah? siapa yang susah membangun?”
“Apa kamu tidak ingat, kami semua berkeringat dan berduyun-duyun menjalankan fungsi kebersamaan demi Masjid ini?”
“Bagus! kamu sekarang dengan ikhlas mengakui bahwa yang mewujudkan Masjid ini bukan aku, atas jasaku, atas ku ku yang lain. Kamu dengan rela berkata bahwa yang mewujudkan Masjid ini adalah "kami”, artinya kepasrahan dan kebersamaan kalian ternyata lebih utama untuk mengundang Kasih Sayang Allah dalam menolong hajat kalian. Tapi benarkah kalian yang membangun?“
"Apa kamu tidak melihat dan tidak ingat?”
“Yang aku lihat Kasih sayang Allah, dan yang aku ingat adalah bahwa Allah yang menggerakkan telinga, mata, dan hati kalian. Kalian menyangka kalian yang melempar batu, padahal tangan yang melempar batu itu adalah TanganKu. Tidak juga seorangpun dapat memberikan petunjuk melainkan Aku, dan tidak dapat seorangpun menghalangi kepada siapa aku akan memberikan petunjuk”
“Kamu berbicara soal petunjuk, apakah adanya kesanggupan kami membangun Masjid ini dan selesai dengan segala kemudahanNya bukan merupakan petunjuk bahkan keridhloanNya?”
“Ingat selain Maha Memberi Petunjuk, Allah juga Maha mbombong, nglulu. Istidroj. Bagaimana kalian bisa merasa yakin itu bukan Istidroj Allah?”
“Allah tidak akan menggerakkan suatu kaum bila bukan kaum itu sendiri yang menggerakkan dirinya”