Gores luka yang kau tinggal di garis wajahku
Adalah prasasti tempat menitip pelajaran seumur hidup
Betapa luka itu, Bund
Kelak hilang sakitnya, tapi kekal rupanya
Barangkali tujuan mulia pernah kau titip di sana
Kala lancangku lampaui amarahmu rendahkan ajimu selaku Ibu
Kala kaki kecilku yang kau besarkan sepenuh peluh injak-injak kesabaranmu
Dan kala, petang yang kita gelar dalam perang tak lahirkan satupun pemenang itu
Adalah murka yang kau gagal redupkan hingga nyalanya membakar kasihanmu
Atas jasadku, yang kecil ringkih dengan sejuta negosiasi tak surut pada rautmu merengut
Bund, waktu bertalu-talu menabuh masa yang mustahil kembali
Aku bukan bayimu lagi
Aku tumbuh besar kini
Aku denganmu berdiri sama tinggi
Aku kuasa, Bund
Mudah menendang kapanpun hendak pada tubuhku tanganmu melayang
Tapi sungguh, hingga mati tak pernah akan aku berani laksanakan
Bukan sebab dosa yang membayang timpa nasibku malang di waktu yang akan datang
Bukan, Bund
Sebab tanganmu yang asuhku sampai susut kering kini
Sebab garangmu yang buatku kokoh hari ini
Dan kesetiaan paling murni jadikan aku yang tak cantik selalu rupa tuan putri
Ialah rangkai perhiasan tak dari siapapun kudapati
Hanya kau yang bisa, Bund
Hanya
Bund, pada perih yang sempat keringkan hormatku dan luncurkan luh dari matamu teduh
Hujankan maaf, basuhkan di tubuhku dengan tangan sama yang mandikanku saat bayi rapuh
Hingga tiba saatnya senja jatuh
Pada titahmu kugenapkan seluruh
Bund, kulo sendiko dawuh
[-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H