Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Posesif

28 Oktober 2022   11:10 Diperbarui: 28 Oktober 2022   11:28 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiroko mengikat tali sepatu lalu menatap Rio di sebelahnya. "Apa katamu? Harumi bunuh diri? Bagaimana mungkin, aku baru bertemu dengannya tadi pagi!""Mungkin setelah itu dia langsung naik ke puncak gedung kampus," ujar pria berambut ikal itu."Tapi kenapa? Dia tampak baik-baik saja tadi."

Sahabatnya itu mengangkat bahu. "Sepertinya kedekatan kalian membuat Megumi tak senang."

"Ah, yang benar saja! Aku dan Megumi hanya teman biasa," tukas Hiroko sambil memasukkan sepatu futsal ke dalam tas gymsack. Mereka baru saja berlatih untuk persiapan liga kampus bulan depan.

"Itu sangkaanmu, Hiro. Megumi sudah mengejarmu dari semester satu. Kau saja yang tidak pernah menanggapi."

Pria gagah itu mengedik. "Kami memang bersahabat, dan dia bukan tipeku. Meg terlalu posesif. Aku hanya telinga baginya. Dia sering curhat padaku, karena tidak punya tempat untuk mengadu. Kedua orangtuanya sudah berpisah, tidak ada yang memedulikan perasaannya."

Rio menarik tasnya dan menatap tajam. "Aku tidak menuduh. Namun, beberapa gadis yang dekat denganmu semua berakhir tragis."

Hiroko tersentak. "Maksudmu, Megumi membunuhnya?"

"Sudah kubilang, aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja, aku jadi kepikiran."

"Ah, kau mengada-ada. Megumi terlalu gemulai untuk melakukan itu. Bahkan memu'kul nyamuk pun, ia tak tega," ujar Hiroko tertawa kecil.

Sahabatnya menggeleng. "Entahlah, tapi kalau memang dia posesif , dia bisa saja melakukan sesuatu yang mustahil."

Hiroko semakin tergelak. "Kau kebanyakan nonton film horor, Rio. Otakmu jadi penuh dengan khayalan." Ia berdiri dan menyandang tas. "Ayo, kita pergi."

Rio tak menyahut. Ia menghela napas panjang lalu mengikuti sahabatnya ke parkiran. Hiroko berhenti di depannya dan mengeluarkan ponsel. Ia mengusap layar lalu membaca pesan yang masuk. "Sialan, aku lupa hari ini ulang tahun Megumi. Dia sudah menungguku di kafe Filio. Aku harus ke sana sekarang," katanya sambil menutup ponsel dan mengantonginya.

"Kau tidak pulang dulu? Mandi sebentar?" tanya Rio seraya mengeluarkan kunci motor.

Pria beralis tebal itu menggeleng. "Tidak sempat, sekarang sudah pukul delapan malam. Sudah terlambat."

"Kan, nggak apa-apa kalau dia menunggu sebentar?" balas sohibnya mulai menyalakan motor matik.

"Aku kasihan, Rio. Dia sendirian, orangtuanya di luar negeri tak ada yang sempat pulang merayakannya."

Rio menatapnya tajam. "Aku malah curiga. Apa memang benar dia ulang tahun?"

"Iya, setiap tahun dia mengundangku. Biasanya rame-rame, baru kali ini dia mengundangku sendirian. Mungkin dia mau menghemat karena BBM sudah mahal."

"Entahlah, Hiro, perasaanku tidak enak," gumam Rio dengan dahi mengerut. "Apa perlu kutemani?"

"You are kidding, right?" tukasnya tertawa. "She's just a girl!"

Rio mengangkat bahu. "Hati-hati saja. Kalau ada apa-apa, telepon aku."

"Sip!" seru Hiroko sambil membuka pintu mobilnya.

Kafe Filio masih tampak ramai saat Hiroko tiba di sana. Jalanan yang macet membuatnya sedikit terlambat. Ia segera menelepon Megumi untuk memberitahu kedatangannya.

"Langsung saja ke lantai tiga. Aku sudah pesan tempat di situ," jawab gadis itu.

Ia bertanya pada pelayan di konter dan ditunjukkan ke arah lift yang membawanya langsung ke puncak gedung.

Taman lantai atas itu dihias dengan balon dan lampu warna warni. Suasana temaram dan romantis. Tidak ada orang lain di situ, hanya Megumi yang sedang duduk sendirian di atas sofa lebar sambil menonton sesuatu di ponselnya. Ia mendongak saat mendengar langkah kaki Hiroko.

"Akhirnya kamu datang juga, Sayang," desahnya lega seraya berdiri. Ia melemparkan diri ke pelukan pria itu.

Hiroko menahannya dengan canggung. "Selamat ulang tahun, Meg. Maaf aku terlambat, tadi latihan futsal dulu di kampus."

Gadis berambut ikal sebahu itu mengangguk. "Enggak apa-apa, Hiro. Aku senang kamu tidak melupakan hari lahirku."

Pria itu terdiam, ia justru tidak akan berada di sini bila tidak diingatkan gadis itu.

"Ayo kita duduk," ajak Megumi menggamit lengan Hiroko.

Mereka duduk bersisian di sofa lebar itu. Kue ulang tahun mungil dengan angka 21 terletak di atas meja. Aneka makanan dan dua buah gelas bertangkai memenuhi meja persegi yang terbuat dari kaca. Megumi menyalakan lilin pada kue tart.

"Maukah kamu menyanyikan lagu ulang tahun untukku, Hiro? Ini terakhir kali aku merayakannya."

Hiroko mengernyit bingung, tapi ia mengangguk. "Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur, kita kan---" Ia mulai bernyanyi dengan suara bariton, dan terus melanjutkan dengan lagu tiup lilin. Megumi segera mengembus lilin ulang tahunnya lalu memotong kue dan memberikan pada Hiroko.

Pria itu memakannya sedikit. Gadis di sebelahnya berdiri dan menyalakan sebuah lilin besar yang terletak di tepi meja. Suasana semakin romantis. Membuat Hiroko merasa tak nyaman dan canggung. Ia ingin segera pulang, tapi tak ingin melukai hati Megumi.

"Ayo, kita makan. Aku sengaja menyewa taman ini khusus untuk kita berdua," ujar Megumi sambil menuang makanan ke piring poselen. Lalu ia membuka sebotol anggur dan menuangnya ke gelas bertangkai. "Ini hari ulang tahunku, tak apa merayakannya sedikit dengan anggur," katanya menyerahkan gelas ke tangan Hiroko. "Mari kita bersulang."

Hiroko menerima dan mendentingkan ujung gelasnya ke gelas Megumi. "Selamat ulang tahun sekali lagi, Meg, semoga panjang umur, sehat dan bahagia selalu," ucapnya dan menenggak separuh anggurnya.

Megumi menggeleng sedih. "Ini akhir umurku, Hiro. Aku ingin pergi di hari bahagiaku."

Hiroko mengernyit. Dadanya terasa panas dan napasnya mulai tersengal-sengal. "Apa maksudmu, Meg?" tanyanya berusaha mengatur napas.

Gadis itu menghela napas panjang. "Aku sudah capek menjagamu, Hiroko. Selalu ada gadis lain yang mendekatimu. Sudah tiga orang yang kusingkirkan, aku tak mau semakin banyak menanggung dosa. Kupikir lebih baik kita pergi bersama, dengan begitu kau akan selalu bersamaku."

Pria tampan di sampingnya membelalak. "Maksudmu? Jadi, Harumi...?"

Megumi mengangguk sedih. "Aku sudah mengingatkannya untuk menjauhimu. Dia tidak mau mendengar saranku. Lalu kudorong dia dari lantai atas kampus."

"Tapi...?" Hiroko ternganga tak mampu berkata-kata.

"Aku mencintaimu, Hiroko. Tidak ada gadis lain yang boleh memilikimu!"

"Kimi... Bagaimana dengan Kimichi?" tanya Hiroko mulai kepayahan.

Gadis di sampingnya mengerutkan bibirnya. "Anak Teknik Mesin itu? Dia juga sudah kuperingatkan, tapi tidak peduli. Lalu kutabrak dia sewaktu menyeberang. Polisi masih mencari pelaku tabrak lari itu," ujarnya sambil tersenyum kecil.

"Aku pintar, Hiro. Kamu ingat dengan Fenti, anak MIPA dua tahun lalu? Dia berani mendekatimu terang-terangan." Megumi tampak merenung. "Aku benci padanya. Sudah kukatakan untuk menjauh, tapi tidak digubrisnya. Aku membenamkannya di danau saat kami berkemah. Dia pecinta alam yang payah."

Hiroko bergidik. "Kamu gila, Meg!" serunya nyaris tersedak.

Megumi menggeleng. "Aku cuma tergila-gila padamu, Hiroko. Cuma kamu yang peduli padaku, bahkan papa dan mama tidak pernah menganggapku ada. Hanya kamu yang menyayangiku. Aku ingin bersamamu. Selalu. Hidup dan mati kita tak akan terpisahkan."

Hiroko bergeming. Lidahnya terasa kelu dan seluruh tubuhnya seakan terbakar.

"Aku tahu kamu tidak mencintaiku, Hiro. Namun, aku sangat mencintaimu, dan itu sudah cukup untuk kita."

"Apa... Apa yang kau berikan? Dadaku terasa payah," desis pria itu meraba dadanya. Lehernya terasa tercekik. Napasnya semakin berat.

"Aku meracuni anggur kita. Tenanglah, Sayang, aku akan menemanimu," kata gadis itu menggenggam jemari Hiroko erat dan meraih gelas anggur. Dengan penuh tekad, diteguknya cairan merah itu hingga habis. Dipeluknya pria yang dicintainya itu erat, lalu perlahan mereka menghembuskan napas terakhir. Senyum puas terbentuk di bibir merah gadis itu.

Kotabaru, 10 Oktober 2022

Catatan:  Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.

Naskah ini pernah tayang di wall FB Penulis dan di grup literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun