Ternyata, datangnya keluarga Andre itu untuk melamar Syifa. Tentu saja Syifa menolak karena ia sudah lebih dulu dipinang Ibu Nyai Iffah di pondok untuk dinikahkan dengan anaknya yang baru pulang mondok di Hadramaut, Yaman. Syifa manut saja, karena secara kualitas ia lebih jelas daripada keluarga Andre yang entah siapa.
Namun Nenek Zumroh justeru memaksa Syifa agar menerimanya. Dasar pilihannya bukan iman, ilmu dan akhlak tapi harta. Syifa diberi hadiah 25 juta, rombongan Pak Candra pun membawa mobil mewah apalagi kabarnya seorang pejabat di wilayahnya. Singkat kata, sekalipun Syifa menolak, Ridha punya yang lain  keputusan Nenek Zumroh tak bisa ditawar. Ya sudah, ditentukan tanggal pernikahan itu.
Perkembangan pesantren Ridho berkembang cukup pesat. Bisnis yang dirintisnya pun berjalan baik karena itu penunjang kebutuhan diri juga pondoknya. Pondoknya tidak memungut biaya maka ia membuka pintu rejeki lain lewat bisnis ternak ikan dan lainnya.
Di sini Kang  Abik memberi satu pelajaran bahwa kalau pondok agar terus eksis maka harus mandiri. Baik mandiri secara ekonomi maupun kebijakan agar tidak dicampuradukaj dengan kepentingan dinasti belaka. Pesantren aset bangsa pun aset yang banyak melahirkan jutaan ulama soleh di jagat negeri maka selayaknya kesucian pun marwah harus dijaga untuk masalahat semua.
Cerita makin menarik ketika Ridho tersdesak untuk punya isteri. Warga pun jamaahnya yang sayang kepadanya mempertanyakan, kapan kiai muda nya ini punya pun bojo yang nanti bakal melahirkan tunas-tunas pelanjut estafet dakwahnya.
Sowan Ridho ke Kiai Sobron, anak sulung gurunya. Ia juga sowan ke Kiai Mukhlas, tempat ia sorogan per pekan. Pun ke kiai lain yang ia sepuh-kan. Terutama ke guru tercinta  Simbah Nawir.
Takdir mengantrakannya pada puteri bungsu Simbah Nawir, Ning Diana. Diam-diam ia pun menyimpan rasa dan cinta pada Ridho, khadim abah-nya sewaktu nyatri. Hanya Ridho yang mampu memahami juga melunturkan keras kepalanya. Ya, siapa yang berani sama anak kiai, kecuali anak kiai juga. Dan Ridho termasuk yang lain.
Singkatnya, Ning Diana menikah dengan Ridha. Berjuang mengembangkan pesantren Al-Insaniyyah. karena ia hafal al-Qur-an maka di buka pesantren khusus tahfiz dan khusus perempuan. Lahir dua buah hati di sana dan pesantren makin berkembang.
Syifa pun menikah dengan Andre, namun kisah cintanya cukup tragis. Siapa tak mendapat hak batinnya sebagai wanita. Suaminya pun bukan orang taat agama dan hal yang miris seorang gay. Kisruh pun makin memanas, terjadilah perceraian dengan pecahan konflik yang menegangkan. Jadilah Syifa janda muda.
Di tengah kisah cinta Ridha yang romantis dengan Diana, kesibukannya pun di dunia dakwah makin moncer sampai di lahiran anak kedua tak bisa menemni kelahiran buah hatinya. Ternyata, ini detik-detik Ning Diana kembali ke alam abadi. Ridha ada di sana, ia menemani bahkan sebelum wafat meminta dibacakan juz 21 sampai juz 23. Di tengah bacaan itu, Ning Diana tersenyum dan tertidur.
Ridha yang mengira isterinya tertidur, karena terlihat lelap. Ia pulang ingin menjemput anak sulungnya juga membayar tanah untuk perluasan pesantren sebagai permintaan isterinya. Padahal waktu itu isterinya tidur selamanya diiringi kalam Ilahi yang dibacakannya.