Hari berganti minggu. Begeser bulan. Aku sibuk dengan kerjaaku di kantor, dan kamu sibuk dengan "kerjaanmu". Aku tak bisa melarang duniamu, meskipun nasihat sudah sering aku lakukan. Kamu tak bergeming. Toh aku tahu, kenapa kamu begitu. Ada hal fundamental dengan senarai cerita yang lagi, lagi kamu ceritakan.
Di sore kesekian itu, saat kita asyik melihat senja dan buku masih lekat di tangan. Kegemaran yang biasa aku lakukan, akhir-akhir ini kamu sukai pula. Membaca banyak buku sehingga membuat kita sering berdebat karena teori yang berbeda kita pahami. Itulah kenapa, kita lebih akrab dan inten bersama.
"Kak," katamu.
"Hemm," kataku yang masih fokus menatap langit yang mulai menghitam.
Kamu pegang tanganku,"Apa, apa... kita selamanya begini?"
Tentu aku kaget. Tetapi juga penasaran, akan ke mana arah pembicaraanmu. Sebagai lelaki normal dadaku terasa kembang kempis. Aku menunggu, apa maksud semuanya. Tapi kamu memilih diam, menatap lekat wajahku. Tesenyum manis sekali. Lantas menatap langit penuh lazuardi itu. Senja itu, kita menyatu bersama alam. Aku ikut tersenyum, sesekali melihat parasmu, ah, kenapa baru sekarang kita bertemu. Ya sudahlah, biarkan waktu nanti menjawabnya. (***)
Pandeglang, 5 Agustus 2024 Â 23.47