Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pekerja Seks Komersial

6 Agustus 2024   00:09 Diperbarui: 6 Agustus 2024   00:21 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suasana Sore di alun-alun. (dokpri)

"Apa cinta kita bisa dipertahankan?" katamu, persis di bawah pohon rindang dekat alun-alun.

"Kenapa tidak," jawabku singkat.

"Kamu tahu aku kan?!"

"Tahu lah, kamu wanita yang baik."

"Aku serius?!"

"Aku juga serius."

"Aku PSK," bisikmu di telingaku.

Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku hanya ingin mencintaimu dengan tulus. Tak peduli dengan statusmu hari ini. Seperti kamu yang mau memberiku cinta, maka aku pun berusaha mempersembahkan cinta yang tulus pula.

Apa salahnya PSK jatuh cinta?

Apakah seorang PSK tidak berhak dicintai dan mencintai? Bukankah mereka juga manusia yang sama saja dengan kita. Mungkin yang berbeda adalah takdirnya yang kurang beruntung. Menjual kesucian demi kepentingan materi.
Tapi mereka punya hati. Hati yang terselimut kegelapan laku. Di dasarnya hatinya masih ada tetesan jernih nurani. Tahu mana yang putih, hitam dan abu-abu.

Aku jadi ingat kamu. Saat di mana pertama kita bertemu. Aku dapat tugas kerja ke kotamu untuk beberapa tahun. Aku berangkat dari rumah pagi sekali, baru sampai kotamu sekitar jam 9 malam. Sendiri mengendarai mobil pribadi.

"Kamu jaga diri di sana ya! Ingat, di sana buat kerja!" Pesan Ibu yang lebih seperti sebuah ancaman.
 
Untuk melepaskan lelah, aku istirahat di mobil yang diparkir dekat alun-alun. Rencananya aku mau kontek seniorku nanti, sengaja datang lebih awal dari jadwal. Baru beberbapa menit aku memejamkan mata. ada yang mengetuk kaca mobil.

"Maaf kak, mau saya temani," katamu waktu itu.

Tentu saja aku kaget. Siapa kamu, baru ketemu sok akrab. Tentu aku curiga, jangan-janagn kamu sindikat tertentu. Aku mau menuduh kamu wanita gak benar juga, ya takut salah. Setidaknya busanamu mencerminkan wanita baik, walau dandanamu cukup menor untuk usiamu dan tatapan cukup nakal. Entah karena aku lagi kelelahan, aku mengiyakan saja. Kamu buka pintu, dan duduk di sampingku. Maafkan ya, Bu!

"Kok, banyak banget bawa barang-barang. Kabur dari rumah," kamu agak terheran-heran melihat seisi mobilku penuh dengan buku-buku, berkas dan beberapa peralatan yang ibu susupkan ke sana.

"Iya kabur, gak dapat warisan," jawabku sembari tersenyum.

"Serius, kak?!"

"Enggak eh, aku bercanda," kataku ringan. Kamu mengangkuk, tersimpul senyum.

"Aku Ratna kak," katamu memperkenalkan diri.

"Aku Tanto. Kamu lagi apa di sini? Kok malam-malan mejeng di sini?"

"Kerja?!"

"Serius kerja? Kerja apa malam-malam begini?"

"Aku menjajakan diri!"

"Astaghfirullah!!!"

Begitulah, kamu memang benar PSK. Tiap malam nongkring di dekat alun-alun. Menawarkan diri ke pria hidung belang, baik lewat media sosial atau langsung face to face di tempat. Sekilas lalu mungkin orang gak bakal tahu kamu menjajakan diri, busanamu itu yang agak lain. Nyeleneh memang, jual diri kok berhijab?

Itulah pengaruh modernisasi. Ketika yang laku hitam di bungkus yang Islami maka terlihat lebih menarik, asal laku, Urusan dosa gimana nanti. Kemajuan memaksan siapa pun survive, menyerah sama saja tertinggal.

"Kok bengong kak," katamu memecah lamunan.

"Gak apa-apa."

"Terus, jawabnya apa?"

"Jawab apa ya," katamu pura-pura lupa.

"Tuh kan, si Kakak mah!!!"

Kalau sudah begitu biasanya aku lari. Lari takut terlena cubitan maut dari tanganmu. Seperti hari kemarin-kemarin, kita berkejaran seperti sepasang merpati yang mencari madu dari kekasihnya. Kita seperti anak kecil, lari sana sini. Tak peduli banyak sepasang mata melihat tingkah kita. Siapa peduli kalau cinta bersemi di dunia hati. Meski aku cemas, bagaimana bila Ibu tahu anak lanangnya bermain api di rantaunya?

Hari berganti minggu. Begeser bulan. Aku sibuk dengan kerjaaku di kantor, dan kamu sibuk dengan "kerjaanmu". Aku tak bisa melarang duniamu, meskipun nasihat sudah sering aku lakukan. Kamu tak bergeming. Toh aku tahu, kenapa kamu begitu. Ada hal fundamental dengan senarai cerita yang lagi, lagi kamu ceritakan.

Di sore kesekian itu, saat kita asyik melihat senja dan buku masih lekat di tangan. Kegemaran yang biasa aku lakukan, akhir-akhir ini kamu sukai pula. Membaca banyak buku sehingga membuat kita sering berdebat karena teori yang berbeda kita pahami. Itulah kenapa, kita lebih akrab dan inten bersama.

"Kak," katamu.

"Hemm," kataku yang masih fokus menatap langit yang mulai menghitam.

Kamu pegang tanganku,"Apa, apa... kita selamanya begini?"

Tentu aku kaget. Tetapi juga penasaran, akan ke mana arah pembicaraanmu. Sebagai lelaki normal dadaku terasa kembang kempis. Aku menunggu, apa maksud semuanya. Tapi kamu memilih diam, menatap lekat wajahku. Tesenyum manis sekali. Lantas menatap langit penuh lazuardi itu. Senja itu, kita menyatu bersama alam. Aku ikut tersenyum, sesekali melihat parasmu, ah, kenapa baru sekarang kita bertemu. Ya sudahlah, biarkan waktu nanti menjawabnya. (***)

Pandeglang, 5 Agustus 2024   23.47

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun