Tak apa. Mungkin dengan terus kalah aku sadar diri bahwa tulisanku biasa saja. Tapi seperti mereka yang kini bertenger di catatan indah sejarah bangsa, Indonesia tercinta.
Dulu kamu bilang, potensi tulisanku bisa terkenal dan dikenal asal mau konsisten berkarya. Gak apa gagal, asal hidup. Kok begitu, kataku. Karena dengan hidup ada banyak harapan dan kesempatan untuk sukses.
Aku gak tahu, apa kamu mengungkapkan itu karena ingin menghiburku atau sekedar basa-basi. Kendati demikian, aku menerima dengan tulus. Bagiku, spirit lebih aku butuhkan daripada penyangkalan yang tak tahu hakikatnya.
**
Kamu, jangan main hati, ya.Â
Itu katamu. Hari ini, bukan aku yang melukai hatimu. Bukan aku yang mengorek luka. Bukan aku yang main lirik pada wanita lain. Bukan pula membuka harapan.
Walau harus aku katakan, ada nama-nama yang menemani dan ingin dijadikan spesial di hatiku. Maaf, aku tak bisa. Aku punya satu hati dan hati itu cukup untuk kamu. Itu yang aku katakan pada mereka, dan mereka memahami. Ada sih yang nyoba mencari kesemapatan. Biarkanlah, toh itu bukan inginku, tugasku mengingatkan dan menajaga diriku untuk teguh dalam prinsip.
Ternyata, aku tahu sekarang di antara banyak laki-laki mata keranjang ada pula wanita yang membuka ranjang dengan senang hati pada laki-laki lain, dan itu kamu.
***
Hei, apa kamu ingat malam ini, malam di mana kita duduk berdua di alun-alun kota kita, Pandeglang tercinta.Â
Kamu berujar, "Cinta, aku ingin terus sama kamu. Aku ingin kamu jadi penulis sungguhan. Nanti, kita berkeliling nusantara mengisi kelas menulis juga seminar literasi. Aku ada di sampingmu, setia menemani, agar kamu terjaga."