Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tulisan Itu, Lalu dan Kamu

29 Mei 2024   21:41 Diperbarui: 29 Mei 2024   21:48 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari kompasiana.

Selamat malam, apa kamu baik-baik di sana. Ya, kamu, yang diam-diam membaca tulisan ini lantas tersenyum malu-malu mengingat masa di mana aku dan kamu dulu pernah jadi kita.

Hey, tadi aku melihatmu. Maaf, aku tak menyapamu. Bukan, bukan sombong. Bukan pula benci. Bukan pula lupa kamu, aku hanya sedang berdamai dengan perasaanku.

Jujur saja, setiap melihat kamu tersenyum dengan ia yang kini halal denganmu, aku merasa perih. Pedih sekali jiwaku. Seolah ada belati tajam menancap di hatiku. Untuk itu, daripada menyulut dendam dan lara, aku memilih pura-pura diam dengan begitu separuh jiwaku terasa baik-baik saja.

Kamu dulu pernah bilang, apa aku bisa berpaling darimu, jawabnya bisa.  Buktinya kamu pun bisa, kan. Hanya aku tak semudah kamu. Butuh waktu untuk aku bangun dari mimpi buruk. Kenangan tiap kenangan masih terbayang di pelupuk mata. Senyum yang masih terpatri indah di netra. Semua itu masih nyata, terlihat lagi terasa.

Lupakan aku ya, katamu. 

Itu kamu ucapkan di saat aku begitu rindu kamu. Di saat tak ada masalah di antara kita. Saat justeru kamu terlihat begitu bucin. Entahlah, mungkin selama ini aku terlalu bodoh mencintaimu.

Kamu hanya pelampiasaan!

Begitu kata teman baikku. Aku tak percaya itu. Bagaimana mungkin pelampiasaan, tiap hari kita bersama. Tiap malam kita chat melepas rindu, sesekali video call. Mana mungkin, dan aku tak percaya. Di sini lah saat yang aku sesali, saat aku lebih percaya pada orang yang baru hadir di hidupku---akhirnya menyakiti, daripada teman yang jelas peduli dan sayang kepadaku.

**

Hei, aku masih menulis. Kalau dulu menulis karenamu, kini tanpamu. aku menulis karena aku ingin kamu tahu bahwa aku sampai saat aku baik-baik saja. Aku masih bergaul dengan teman-teman. Masih berdagang, masih ikut kelas menulis dan sesekali ikut event menulis, walau kalah adalah hal yang aku terima.

Tak apa. Mungkin dengan terus kalah aku sadar diri bahwa tulisanku biasa saja. Tapi seperti mereka yang kini bertenger di catatan indah sejarah bangsa, Indonesia tercinta.

Dulu kamu bilang, potensi tulisanku bisa terkenal dan dikenal asal mau konsisten berkarya. Gak apa gagal, asal hidup. Kok begitu, kataku. Karena dengan hidup ada banyak harapan dan kesempatan untuk sukses.

Aku gak tahu, apa kamu mengungkapkan itu karena ingin menghiburku atau sekedar basa-basi. Kendati demikian, aku menerima dengan tulus. Bagiku, spirit lebih aku butuhkan daripada penyangkalan yang tak tahu hakikatnya.

**

Kamu, jangan main hati, ya. 

Itu katamu. Hari ini, bukan aku yang melukai hatimu. Bukan aku yang mengorek luka. Bukan aku yang main lirik pada wanita lain. Bukan pula membuka harapan.

Walau harus aku katakan, ada nama-nama yang menemani dan ingin dijadikan spesial di hatiku. Maaf, aku tak bisa. Aku punya satu hati dan hati itu cukup untuk kamu. Itu yang aku katakan pada mereka, dan mereka memahami. Ada sih yang nyoba mencari kesemapatan. Biarkanlah, toh itu bukan inginku, tugasku mengingatkan dan menajaga diriku untuk teguh dalam prinsip.

Ternyata, aku tahu sekarang di antara banyak laki-laki mata keranjang ada pula wanita yang membuka ranjang dengan senang hati pada laki-laki lain, dan itu kamu.

***

Hei, apa kamu ingat malam ini, malam di mana kita duduk berdua di alun-alun kota kita, Pandeglang tercinta. 

Kamu berujar, "Cinta, aku ingin terus sama kamu. Aku ingin kamu jadi penulis sungguhan. Nanti, kita berkeliling nusantara mengisi kelas menulis juga seminar literasi. Aku ada di sampingmu, setia menemani, agar kamu terjaga."

Aku tak berujar apa-apa. Aku terlalu asyik melihat purnama sambil mendengarkan renyah suaramu. Dalam hidup aku berpikir sederhana, tidak neko-neko denghan janji. Saat kamu bilang itu, aku percaya saja. Tak ada sinyal kamu bakal main hati. Ternyata, takdir berkata lain.

***

Kalau dulu aku menulis karenamu, kini aku tengah mengenangmu sebagai bagian dari masa laluku. Bukan untuk aku lupakan tapi aku simpan di ruang hati yang lain. Then, makasih kamu. []

Pandeglang, 29 Mei 2024    21.38

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun