Mohon tunggu...
Mahlica Sarge
Mahlica Sarge Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama Femena (Batak Karo) Tinjauan Teologi Agama

4 Mei 2023   17:53 Diperbarui: 4 Mei 2023   18:06 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. PENGERTIAN PAHAM PEMENA

Pemena merupakan kepercayaan yang memiliki arti dalam bahasa Karo pertama atau yang awal. Sebutan "Perbegu" tidak terlalu digemari oleh penduduk Karo pada masa ini, karena menurut mereka kata "Perbegu"diartikan sebagai makna "pemuja setan", karena kata "begu" masa kini dimaknai dengan "setan atau roh jahat". Sehingga keyakinan ini menjadi lebih baik artinya jika dikenal dengan "Pemena". Pada masa pra kolonial menggunakan kata "Batak" digunakan sebagi sebutan masyarakat yang  menetap di Sumatera Utara mencakup di dalamnya adalah masyarakat Karo, akan tetapi sebagian besar orang-orang Karo tidak mau dipanggil demikian.Sebutan Perbegu pertama kali diberikan oleh para penjajah dari gereja-gereja kepada mereka yang mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pada awalnya orang-orang yang lahir dari suku Karo sendiri belum memberi nama apapun kepercayaan paham Pemena ini. Sementara itu, Perbegu dimaknai sebagai orang-orang yang diyakini memiliki kepercayaan terhadap roh/setan, sehingga banyak masyarakat Karo yang tidak menyetujui penamaan Perbegu dari para penjarah. Pada tahun 1946 orang-orang Karo bersama ketua adat memberi nama paham Pemena kepada kelompok kepercayaan itu. Sehingga pergantian nama kepercayaan ini dilakukan sesudah satu tahun Indonesia memerdekakan diri dari penjarah. [1]

 

Paham Pemena atau disebut Perbegu (Roh Halus), juga berasal dari dasar pemahaman penduduk Karo yang sudah ada pada zaman Prahistoris. Masyarakat Karo penganut paham "Pemena" mengalami dan merasakan bahwa kebanyakan dimensi aktivitas serta kesibukan mereka dicakup oleh sistem keberagaman. Paham "Pemena" yang termasuk kedalam system kepercayaan Animisme di Karo ini juga terdapat struktur khusus pendudukKaro, yaitu satu carah khusus dalam mengetahui pencipta dan dunianya. Seiring bergantinya zaman, keyakinan penduduk Karo mulai beralih membentuk keyakinan yang mempercayai Tuhan sama dengan keyakinan yang telah disetujui bagi negara Indonesia.[2]

 

Bangsa Karo adalah gabungan dari "etnis Proto Melayu dan etnis Negroid (negrito). Gabungan ini dikenal dengan sebutan Umang. Umang menetap di dalam gua, hingga saat ini bisa ditemui peninggalan dari Umang di beberapa daerah di tanah Karo". Perjalanan paham "Pemena" bermula ketika warga negara India Selatan melakukan migrasi ke Indonesia dan Sumatera salah satu daerah yang termasuk didalamnya. Banyak dari mereka menganut agama "Hindu". Sembari memberitahukan tulisan "sanskerta, pallawa dan ajaran dalam agama Hindu di Indonesia[3]". 

 

Terjadi pula gelombang migrasi India yang juga membawa agama Budha di abad kelima, serta memperkenalkan "aksara nagari" yang melahirkan karakter suku Batak, suku Melayu dan suku Jawa kuno. Lalu kemudian masyarakat India Selatan datang ke wilayah Karo mulai memberitahukan ajaran "Pemena". Selain itu memberitahu beberapa peninggalan masyarakat Karo, yang akhirnya melahirkan banyak sejarah di dalamnya. Hingga akhirnya masyarakat Karo mulai mengetahui tentang paham "Pemena" lalu memeluk paham "Pemena" ini. Mereka meyakinibahwasanya semua hal yang ada di jagat rayaini, baik yang bisa dilihat maupun yang tidak bisa dilihat merupakan ciptaan "Dibata atau Guru".

 

B. SEJARAH PAHAM FEMENA

 

Pamena merupakan sebuah paham kepercayaan bersifat Animisme yang lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat suku Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pada awalnya suku ini bernama suku "Haru", kemudian disebut "Haro" dan akhirnya dinamai dengan suku Karo. Khusus untuk nama yang menempati daerah suku Karo saat ini. Perpecahan suku bangsa Haru ini dilator belakangi oleh pengaruh kekuasaan kesultanan Aceh sebagai pemenang atu penakluk kerajaan-kerajaan Haru pada tahun 1539 dan tahun 1564 dengan maksud tujuan mengislamkan suku bangsa Haru yang menganut agama Hindu Perbegu dari sekte ciwa.

 

Paham Pamena merupakan nama pengganti paham Perbegu pada tahun 1946. Nama tersebut diganti oleh para petua-petua adat dan para guru. Menurut Putro (1995:32) pergantian panggilan Pemena dilatar belakangi oleh akibat terlalu banyak mendapat beban dorongan dari para penjajah bersama pelopor-pelopor agama yang dibawa orang Eropa dengan mencaci maki seenaknya saja terhadap agama Perbegu. Menuding Perbegu adalah agamapenyembah setan-setan, roh, jin, dan lainnya demi untuk kepentingan colonial Belanda. Banyak presfektif mengenai sejarah lahirnya Pemena di wilayah Karo, salah satunya yaitu tentang paham Pemena yang dianggap sebagai agama Hindu. Sejak 1977, beberapa pihak penganut paham "Pemena" sudah menganut agama "Hindu Dharma". Karena agama ini dianggap sebagai agama yang telah membentuk agama "Pemena" pada abad pertama tahun Masehi. Namun saat ini, perkembangan kepercayaan mengakibatkan banyak penganut Pemena yang mulai meninggalkan kepercayaan ini. Hal ini diakibatkan karena penggunaan agama resmi yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai bukti warga negara.

 

Saat ini, penganut paham Pemena sudah cukup sulit ditemui. Dari beberapa wilayah yang telah ditelusuri hanya sedikit masyarakat suku Karo yang masih mengenal tentang paham Pemena. Beberapa diantara masyarakat suku Karo mengatakan bahwa paham Pemena sudah dianggap sebagai budaya yang lahir di tengah-tengah masyarakat suku Karo. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa paham ini merupakan bentuk kepercayaan atau agama. Walaupun paham Pemena sudah mulai ditinggalkan, namun beberapa mantan penganutnya maupun para kerturunan penganutnya masih mempercayai ritual-ritual yang lahir dari paham Pemena.

 

C. Pokok Ajaran

 

Masyarakat Karo dahulu percaya bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini, baik yang dapat dipandang merupakan karya "Dibata". Guntur Hendry Tarigan berpendapat bahwa, suku "Karo" memberi perbedaan terhadap "Dibata siidah" ( Tuhan yang tampak) dan "Dibata si la idah" (Tuhan yang tidak tampak). "Dibata si idah" bermaksud menunjukkan kepada "Kalimbubu" (pembawa berkat). Sedikit kejelasan yang ada di dalam kelompok kekerabatan suku "Karo" terdapat "daliken sitelu/rakut sitelu". Ketiga unsur yang terdapat adalah "Kalimbubu" (pembawa berkat) anak "beru" (pihak penerima berkat) dan "senina" (saudara). Kalimbubu merupakan kelompok terhormat atau kelompok yang disegani. Mereka yang hormat kepada "kalimbubu"n akan mendapatkan rezeki.Oleh sebab itu "kalimbubu" disebut juga "dibata di idah".

 

 Dibata sila idah biasanya dipanggil dengan "dibata kaci-kaci" (dibata dengan jenis kelamin perempuan). "Dibata kaci-kaci" ini memiliki 3 wilayah kekuasaan diantaranya : dunia bawah, tengah, dan atas. Masing-masing daerah kekuasan ini dipimpin oleh satu orang "dibata" sebagai "Dibata kaci-kaci". Ketiga "Dibata" itu adalah keseluruhan dan kesatuan yang diberi nama "Dibata Sitelu" (tiga Tuhan). Berdasarkan wilayah pimpinannya, suku Karo yakin pada :

 

  • "Dibata Teru", atau disebut "Tuhan Banua Kolling", dibata ini disebut memeritah di bumi wilayah bawah.
  •  
  • "Dibata Tengah" atau disebut "Tuhan Paduka ni Aji", dibata ini yang berkuasa dan memimpin diwilayah dunia kita.
  •  
  •  "Dibata Atas" atau disebut sebagai guru "Batara" yang mempunyai kekuasan dunia wilayah atas.[4]

 

Selanjutnya ada dua sumber kekuatan yang dipercaya, yaitu cahaya "mataniari" (cahaya matahari) dan "siberu dayang". Cahaya matahari ini yang memberikan pencerahan. Terletak pada matahari saat terbenam dan akan terbit. Dia ikut berjalanan bersama matahari sebagai jembatan antara tiga "Dibata". Siberu dayang merupakan sosok perempuan yang menempati bulan. "Siberu dayang" selalu tampak saat pelangi muncul. Dia bertanggung jawab menjadikan "Dibata Tengah" tidak terbang oleh angina topan dan tetap kuat.Menurut ajaran mereka, Dibata merupakan jiwa (tendi) yang mampu datang kapan saja, kekuatannya mencakup semuanya dan ditafsir sebagai akar dari semuanya. "Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali, maka yang akan terjadi adalah kematian".

 

Pada masa penjajahan Hindia Belanda kala itu masih sering diadakan ritual Perumah Begu yang mana ritual itu di yakini mampu melakukan dialog dengan makhluk halus yang lebih dikenal dengan istilah makhluk ghaib atau Seluk dan Erpangir Kulau yang kerap masih dapat dilihat pada acara ritual yang berlangsung di Kecamatan Berastagi. Salah satu ajaran Pemena yangterbilang langka ini disebut dengan Cawir Bulung, dimana ritual ini biasa dilakukan sebagai bentuk tolak bala.

Paham Pemena mengenal roh sebagai sebutan Begu atau yang lebih di kenal dengan orang yang sudah meninggal atau hantu. Sedangkan di dalam Islam roh dikenal sebagai suatu factor yang terdapat dalam raga manusia yang diciptakan Allah swt, sebagai penanda adanya hidup. Dalam agama Islam roh berasal dari kalimat "Ar Riyaah" yang bermakna angin atau suatu yang tidak terlihat namun mempunyai energy[5]. Suku Karo mempercayai jika alam semesta di isi dengan sekelompok "tendi". Tiap-tiap detik di dalam semesta alam menyimpan banyak "tendi". Keseluruhan dari kesatuan "tendi" yang merangkum semuanya disebut "dibata", selaku keutuhan keseluruhan dari semesta alam. Masing-masing orang dikenal seperti semesta kecil. Manusia adalah keutuhan dari tubuh (kula), jiwa (tendi), perasaan (pusuh paraten), nafas (kesah) dan pikiran (ukur). Masing-masing komponen berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keutuhan ini dikenal seperti kesepadanan dalam manusia.[6]

Hal ini sama terhadap kepercayaan masyarakat suku Karo yang begitu akrab dengan sebuah bentuk aliran atau keyakinan terhadap jiwa (tendi) ini sendiri, dimana keadaan suatu kehidupan tendi yang letaknya dianggap sama dengan arwah-arwah gaib. Keseluruhan dari kesatuan jiwa(tendi) yang meliputi semuanya disebut dengan Dibata yaitu sebagai keseluruhan alam semesta[7].

Pandangan paham femena tentang tuhan Individu di dalam keyakinan suku Karo terbagi dari jiwa "tendi", arwah manusia yang telah meninggal "begu", lalu tubuh saat manusia mati "tendi" akan hancur tetapi tidak dengan "begu". "Tendi" bersama "aku seseorang" adalah kesatuan utuh. Sehingga saat "tendi" terpisah dari "aku seseorang" akan merasakan sakit. Upaya penyembuhan dilangsungkan dengan memanggil "tendi". Namun bila "tendi tidak kembali, maka akan terjadi kematian. Terpaut dengan "dibata", mereka mengganggap dibata adalah "tendi" atau jiwa yang bisa hadir kapanpun, pengaruhnya mencakup semua hal yang ditafsir sebagai unsur segalanya. Pernyataan ini sesuai terhadap kepercayaan rakyat Karo yang memiliki kedekatan dengan sebuah bentuk keyakinan pada "tendi", dimana sebuah kehidupan "tendi" tempatnya ditafsir sama dengan arwah/roh gaib. Suku Karo percaya sesungguhnya seluruh alam ini di isi dengan "tendi". Hampir pada titik dalam "kosmos" mengandung "tendi". Keseluruhan terhadap kesatuan "tendi" meliputi semua yang disebut "Dibata" sebagai bentuk keutuhan dari "kosmos". Masing-masing semesta menganggap"mikro kosmos" atau semesta kecil sebagai pemersatu dari "ula" (tubuh), "tendi" (jiwa), "pusuh peraten" (perasaan), "kesah" (nafas), dan "ukur" (pikiran). Masing-masing bagian dijembatani oleh satu dengan yang lain. Kesatuan ini dinamakan bentuk keseimbangan di dalam individu "manusia".

 

 Ikatan yang tidak beres atau kacau antar satu dengan yang lain akan menyebabkan berbagai macam kerugian seperti bencana dan berakhir kematian.Pola pikir Individu ditafsir mampu membayar kewajiban agar merawat "keseimbangan dalam" dan "keseimbangan luar" sebagai bentuk "makro-kosmos" atau semesta besar yang mencakup dunia ghaib, lingkungan alam sekitar serta kesatuan sosial. Terlaksananya sebuah "keseimbangan dalam" akan menunjukkan segala bentuk keadaan menyenangkan, seperti; "malem" yang diartikan sebagai sejuk/tenang "ukur malem" atau pikiran tenang, "malem pusuh" atau perasaan sejuk/tenang, "malem ate" atau hati sejuk dan tenang. Oleh sebab itu, kata "malem" dipakai juga sebagai makna "sehat atau kesembuhan" berasal dari bahasa Karo. Ketenangan/kesejukan badan dan pikiran adalah sumber dari kondisi kesehatan, dimana kondisi "sejuk" dan "seimbang" antara "makro-kosmos". Landasan ini yang mengakibatkan seorang guru mengadakan ritual upacara dengan maksud memperoleh kondisi yang serba "malem".

 

Para guru beranggapan, pengganggu ikatan-ikatan di dalam "mikro kosmos" individu bermakna munculnya kondisi "tidak seimbang" di dalam tubuh, yaitu merupakan bentuk "tidak seimbang" di antara jiwa, tubuh, nafas, perasaan dan pikiran. Dengan memakai air rendaman jeruk purut saat "upacara berlangir/epangir", guru akan memberikan siraman di atas kepala pasiennya. Sedangkan itu, kepala pasien ditunjuk berdasarkan kesepakatan bahwa kepala merupakan letak dari pikiran sebagai sumber pimpinan dari "mikro-kosmos" atau "semesta kecil" tersebut.

 

Peristiwa ini merujuk ke dalam diri seorang gutu ada sesuatu penglihatan mengenai "keseimbangan" di dalam "mikro-kosmos" atau "semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri" yang tidak mampu untuk menjadi sempurna bila wujud suatu "keseimbangan kosmos" atau "alam semesta secara luas" tidak tercapai. Sehingga beberapa guru di dalam upacara ritualnya memiliki maksud guna meraih "keseimbangan" di dalam tubuh individu dengan memakai rendaman air jeruk purut yang "malem". Air jeruk ini diketahui sebagai lambang dari "alam semesta" yang menjadi perwakilan "keseimbangan luar" lalu dimasukkan ke dalam tubuh individu yang menjadi wakil "keseimbangan dalam" itu sendiri. Pelaksanaan ini dipercaya akan memberikan kesempurnaan "keseimbangan" di dalam tubuh individu "manusia.

 

Referensi

 

Luther Marthin. 2004. Orang Karo diantara Orang Batak. Jakarta: Pustaka Sora  Mido.

Miswanto. 2012. Agama Keyakinan dan Etika. Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam Universitas Muhammadiyah Magelang.

 

Tambun, P, 1952. Adat Istiadat Karo.Jakarta: Balai Pustaka.

 

Tarigan, Guntur Hendri. 1979. Bahasa Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Tarigan Sarjani. 2018. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya.Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia.

 

Robertor Bangun. 1989. Mengenal Orang karo.Jakarta: Yayasan Pendidikan Bangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun