Ikatan yang tidak beres atau kacau antar satu dengan yang lain akan menyebabkan berbagai macam kerugian seperti bencana dan berakhir kematian.Pola pikir Individu ditafsir mampu membayar kewajiban agar merawat "keseimbangan dalam" dan "keseimbangan luar" sebagai bentuk "makro-kosmos" atau semesta besar yang mencakup dunia ghaib, lingkungan alam sekitar serta kesatuan sosial. Terlaksananya sebuah "keseimbangan dalam" akan menunjukkan segala bentuk keadaan menyenangkan, seperti; "malem" yang diartikan sebagai sejuk/tenang "ukur malem" atau pikiran tenang, "malem pusuh" atau perasaan sejuk/tenang, "malem ate" atau hati sejuk dan tenang. Oleh sebab itu, kata "malem" dipakai juga sebagai makna "sehat atau kesembuhan" berasal dari bahasa Karo. Ketenangan/kesejukan badan dan pikiran adalah sumber dari kondisi kesehatan, dimana kondisi "sejuk" dan "seimbang" antara "makro-kosmos". Landasan ini yang mengakibatkan seorang guru mengadakan ritual upacara dengan maksud memperoleh kondisi yang serba "malem".
Â
Para guru beranggapan, pengganggu ikatan-ikatan di dalam "mikro kosmos" individu bermakna munculnya kondisi "tidak seimbang" di dalam tubuh, yaitu merupakan bentuk "tidak seimbang" di antara jiwa, tubuh, nafas, perasaan dan pikiran. Dengan memakai air rendaman jeruk purut saat "upacara berlangir/epangir", guru akan memberikan siraman di atas kepala pasiennya. Sedangkan itu, kepala pasien ditunjuk berdasarkan kesepakatan bahwa kepala merupakan letak dari pikiran sebagai sumber pimpinan dari "mikro-kosmos" atau "semesta kecil" tersebut.
Â
Peristiwa ini merujuk ke dalam diri seorang gutu ada sesuatu penglihatan mengenai "keseimbangan" di dalam "mikro-kosmos" atau "semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri" yang tidak mampu untuk menjadi sempurna bila wujud suatu "keseimbangan kosmos" atau "alam semesta secara luas" tidak tercapai. Sehingga beberapa guru di dalam upacara ritualnya memiliki maksud guna meraih "keseimbangan" di dalam tubuh individu dengan memakai rendaman air jeruk purut yang "malem". Air jeruk ini diketahui sebagai lambang dari "alam semesta" yang menjadi perwakilan "keseimbangan luar" lalu dimasukkan ke dalam tubuh individu yang menjadi wakil "keseimbangan dalam" itu sendiri. Pelaksanaan ini dipercaya akan memberikan kesempurnaan "keseimbangan" di dalam tubuh individu "manusia.
Â
Referensi
Â
Luther Marthin. 2004. Orang Karo diantara Orang Batak. Jakarta: Pustaka Sora  Mido.
Miswanto. 2012. Agama Keyakinan dan Etika. Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam Universitas Muhammadiyah Magelang.
Â