Ada beberapa contoh dalam dunia kita, misalnya Presiden Xi Jinping di Tiongkok, Presiden Vladimir Putin di Rusia, dan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Turki. Ketiganya dengan sangat mudahnya mengubah konstitusi negaranya. Tujuannya, agar bisa memuluskan jalan mereka menjadi Presiden seumur hidup.Â
Jika masa jabatan Presiden seumur hidup, maka demokrasi akan berubah menjadi otokrasi. Presiden akan menjadi kepala negara yang otoriter. Bahkan bisa saja mengarah kepada kediktatoran.
Hal ini terjadi karena ideologi gotong royong, sistem demokrasi, dan permusyawaratan tidak mampu dipahami secara holistis dan komprehensif oleh para pelaksananya.Â
Sejatinya, pemahaman nilai-nilai filosofis dalam gotong royong, demokrasi, dan permusyawaratan dapat terjadi dengan adanya pemikiran bersama, diskusi bersama dalam sebuah perkumpulan yang mengedepankan hikmat dan kebijaksanaan, bukan otoriterisme, apalagi diktatorisme.
Fenomena Big Data
Mari kita korelasikan demokrasi dengan fenomena yang terjadi saat ini. Baru-baru ini ramai diperbincangkan tentang big data yang terkait dengan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang pejabat tinggi negara. Konon katanya ada sekitar 100 jutaan rakyat Indonesia yang setuju Pemilu 2024 ditunda.
Isu pemilu memang selalu seksi. Oleh karenanya, banyak terjadi perdebatan dan silang pendapat di masyarakat.Â
Perdebatan terjadi antara politisi pendukung pemerintah dan oposisi. Politisi pendukung pemerintah meyakini kebenaran big data yang diisukan. Di sisi lain, oposisi cenderung mengatakannya bahwa klaim itu mengada-ada.Â
Perdebatan seru pun terjadi di berbagai media, baik media utama atau media sosial. Adu argumen, opini, pandangan dan pemikiran membuat polarisasi di masyarakat semakin kental terasa.
Sebenarnya apa itu big data yang diperdebatkan politisi? Mengapa big data bisa begitu mencuri perhatian para politisi?Â