Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Demokratisasi Big Data

30 Maret 2022   17:04 Diperbarui: 31 Maret 2022   07:15 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa contoh dalam dunia kita, misalnya Presiden Xi Jinping di Tiongkok, Presiden Vladimir Putin di Rusia, dan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Turki. Ketiganya dengan sangat mudahnya mengubah konstitusi negaranya. Tujuannya, agar bisa memuluskan jalan mereka menjadi Presiden seumur hidup. 

Jika masa jabatan Presiden seumur hidup, maka demokrasi akan berubah menjadi otokrasi. Presiden akan menjadi kepala negara yang otoriter. Bahkan bisa saja mengarah kepada kediktatoran.

Hal ini terjadi karena ideologi gotong royong, sistem demokrasi, dan permusyawaratan tidak mampu dipahami secara holistis dan komprehensif oleh para pelaksananya. 

Sejatinya, pemahaman nilai-nilai filosofis dalam gotong royong, demokrasi, dan permusyawaratan dapat terjadi dengan adanya pemikiran bersama, diskusi bersama dalam sebuah perkumpulan yang mengedepankan hikmat dan kebijaksanaan, bukan otoriterisme, apalagi diktatorisme.

Fenomena Big Data

Mari kita korelasikan demokrasi dengan fenomena yang terjadi saat ini. Baru-baru ini ramai diperbincangkan tentang big data yang terkait dengan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu).

Hal ini diungkapkan oleh salah seorang pejabat tinggi negara. Konon katanya ada sekitar 100 jutaan rakyat Indonesia yang setuju Pemilu 2024 ditunda.

Isu pemilu memang selalu seksi. Oleh karenanya, banyak terjadi perdebatan dan silang pendapat di masyarakat. 

Perdebatan terjadi antara politisi pendukung pemerintah dan oposisi. Politisi pendukung pemerintah meyakini kebenaran big data yang diisukan. Di sisi lain, oposisi cenderung mengatakannya bahwa klaim itu mengada-ada. 

Perdebatan seru pun terjadi di berbagai media, baik media utama atau media sosial. Adu argumen, opini, pandangan dan pemikiran membuat polarisasi di masyarakat semakin kental terasa.

Sebenarnya apa itu big data yang diperdebatkan politisi? Mengapa big data bisa begitu mencuri perhatian para politisi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun