Di awal tahun 2022 ini, negara kita kembali diterpa tsunami peristiwa yang terkait dengan isu agama. Rentetan peristiwa terjadi seakan tak pernah usai. Diantaranya, peristiwa ditahannya kembali penceramah Habib Bahar Bin Smith, kasus penistaan agama Ferdinand Hutahaean, isu masjid dan pesantren yang disusupi teroris, perdebatan tentang aturan pengeras suara masjid, dan yang paling hangat adalah kasus penistaan agama pendeta Saifuddin, ditangkapnya beberapa terduga terorisme, dan kasus nikah beda agama.Â
Pertanda apakah semua ini? Apakah ini pertanda kita semakin sensitif dengan isu agama? Apakah ini pertanda sudah tidak ada lagi kehangatan kita dalam bernegara? Apakah ini pertanda kita sudah melupakan nilai-nilai yang ada di pancasila? Atau apakah ini hanyalah pertanda dimulainya pertarungan politik menjelang pemilihan presiden?
Tak ada jawaban pasti tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Semua opini mungkin hanya akan menjadi asumsi. Akan tetapi satu hal yang jelas bahwa dampaknya sangat besar di masyarakat, dan ironisnya masyarakat di bawahlah yang paling merasakannya. Perdebatan, silang pendapat, penghinaan, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, bahkan sampai pada permusuhan dan pertikaian terjadi, dan akhirnya merugikan banyak orang.
Peristiwa-peristiwa ini membuat kita berpikir keras dan bertanya-tanya, dimana sebenarnya letak toleransi kita? Meskipun semua orang berdalih dengan mengaku sebagai orang yang paling menjunjung toleransi, tapi pada kenyataannya toleransi belum benar-benar terjadi. Banyak pihak yang masih menjadikan kata toleransi sebagai tempat bersembunyi, bahkan ada juga yang menjadikannya senjata untuk bisa mengalahkan pihak yang berseberangan dengan dirinya.
Kasus Terkait Toleransi
Ada beberapa tipe kasus yang menimpa toleransi di negara kata. Setidaknya ada tiga yang bisa kita paparkan disini.
Pertama, tipe kasus yang berhubungan dengan isu radikalisme. Radikalisme itu bisa dalam bentuk perbuatan dan pemikiran. Radikalisme dalam bentuk perbuatan mudah untuk diidentifikasi. Radikalisme bentuk ini yang menjadi sebab terjadinya kasus-kasus terorisme, seperti pemboman atau penyerangan fisik. Radikalisme bentuk ini banyak dipengaruhi oleh jaringan terorisme internasional. Mereka memberikan logistik pemboman dan penyerangan dengan tujuan mengambil alih kekuasaan atau paling tidak menggoyahkannya.
Radikalisme dalam bentuk pemikiran lebih sulit untuk diidentifikasi. Radikalisme bentuk ini lebih mengedepankan jalan lembut untuk bisa mengajak, membangun opini, atau mempengaruhi masyarakat. Forum-forum diskusi, seminar, ataupun forum intelektual lainnya bisa dijadikan wadah radikalisme bentuk ini dalam rangka mengubah ideologi.
Disisi lain, pemikiran-pemikiran yang bisa dikategorikan sebagai pemikiran radikalisme juga masih banyak yang diperdebatkan. Batasan antara radikal dan tidak, terkadang begitu samar. Seseorang yang dicap dirinya memiliki pemikiran radikal, bisa saja membela diri dan menyangkalnya. Hal ini juga menyebabkan banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pemikirannya sudah masuk ke dalam pemikiran radikal.
Kedua, tipe kasus yang berhubungan dengan penistaan agama. Penistaan agama bisa dilakukan dengan sengaja dan tidak disengaja. Penistaan agama yang disengaja memang terkesan diluar nalar dan logika, bahkan bisa juga dikatakan radikal. Para pelaku biasanya memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap agama yang dianutnya. Fanatisme negatif ini yang membuatnya berani menghina dan menistakan agama orang lain.
Penistaan agama yang tidak disengaja terjadi karena adanya perkataan atau tulisan yang biasanya dilakukan secara spontan. Karena dilakukan secara spontan terkadang yang melakukannya tidak menyadari bahwa ada konsekuensi hukum yang harus dihadapinya. Penistaan agama bentuk ini bisa dilakukan siapapun. Bahkan seseorang bisa saja menistakan agama yang dianutnya sendiri.
Ketiga, tipe kasus yang berhubungan dengan simbol atau kegiatan keagamaan. Hal ini bisa terjadi karena adanya peraturan yang mengaturnya atau adanya benturan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal. Kasus-kasus seperti peraturan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, sesajen yang ditendang, atau hukum pewayangan adalah beberapa contoh kasus yang termasuk dalam kategori ini.
Toleransi yang Berlebihan
Jika kita perhatikan tipe kasus-kasus yang berhubungan dengan toleransi di negara kita kebanyakan muncul bukan karena tidak adanya toleransi. Justru terkesan adanya indikasi toleransi yang berlebihan. Narasi-narasi yang mengatakan NKRI Â dan Pancasila harga mati terucapkan dalam konteks yang justru terkesan menekan pihak-pihak tertentu.
Jadilah muncul perdebatan siapa yang paling NKRI, siapa yang paling pancasilais, yang justru akhirnya memicu tindakan-tindakan intoleransi yang dilakukan kedua pihak yang berdebat. Nilai-nilai toleransi dalam NKRI dan pancasila yang dilebih-lebihkan ini justru memicu perdebatan yang membahayakan toleransi itu sendiri.
Toleransi yang berlebihan juga disebabkan oleh pemberitaan yang berlebihan di media. Di era informasi yang begitu masif seperti sekarang, kita sulit memilih dan memilah mana informasi yang benar dan mana yang hoaks, mana informasi yang menyejukkan dan mana yang memprovokasi.
Kehadiran media sosial menambah runyam keadaan. Informasi di media sosial yang tanpa filter dan tanpa editor menyebabkan propaganda mengenai toleransi dengan bebasnya menyebar di masyarakat. Masyarakat yang hidupnya tidak bisa lepas dari media sosial begitu mudahnya tersulut dengan apa yang ada di media sosial. Polarisasi antar kelompok pun semakin mudah terjadi.
Narasi-narasi yang berlebihan dan arus pemberitaan media yang tidak bisa terbendung menyebabkan konsekuensi lain. Konsekuensi yang paling mendasar dalam toleransi, yaitu berjalannya pendidikan toleransi. Memberikan pendidikan toleransi terasa semakin sulit dilakukan. Generasi muda dengan sangat mudahnya terpapar dengan pemahaman toleransi yang salah.Â
Generasi muda yang pola berpikirnya belum matang dan cenderung labil sangat terpengaruhi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Apalagi jika peristiwa yang terjadi di narasikan dengan tidak benar, dan pastinya diviralkan atau digembar-gemborkan media. Generasi muda akan semakin bingung dan sulit untuk memahami mana bentuk toleransi yang sebenarnya.
Sebuah Refleksi
Lantas bagaimana kita menyikapi kondisi ini?
Mari kita kembali melihat definisi dari toleransi itu sendiri. Secara etimologis, kata toleransi berasal dari kata latin "tolerare" yang artinya bertahan, sabar atau membiarkan sesuatu yang terjadi. Meskipun terkadang sesuatu itu berbeda dan bertentangan dengan pendirian kita, maka kita tidak boleh bersikap reaktif. Yang perlu kita kedepankan adalah sikap reflektif.
Sikap reflektif direpresentasikan sebagai sikap restorasi internal ke dalam diri. Jika kita lebih banyak melihat ke dalam, maka tidak banyak sikap kita yang akan keluar dan ini bisa mencegah toleransi yang berlebihan.
Restorasi internal dilakukan dengan memberikan pemahaman konsep kasih sayang dalam agama. Kasih sayang yang tidak memberi tekanan atau memaksakan kehendak dan pendirian. Kasih sayang yang memudahkan bukan menyulitkan. Kasih sayang yang diliputi kelembutan bukan kekerasan.
Alhasil, isu agama memang selalu menjadi makanan empuk untuk orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kekacauan yang terjadi. Toleransi sebagai nilai inti dari keberagaman beragama selalu menjadi umpan bagi orang-orang yang ingin mengail di air keruh.Â
Kini, semua bergantung dengan kita, apakah kita mau menjadi makanan empuk dan umpan bagi orang-orang yang tak bertanggung jawab tersebut, atau kita mampu bangkit dari keterpurukan dan kembali menakar kembali toleransi di negara kita agar kadarnya tidak berlebihan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H