Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi yang Berlebihan

26 Maret 2022   11:24 Diperbarui: 26 Maret 2022   11:45 1818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di awal tahun 2022 ini, negara kita kembali diterpa tsunami peristiwa yang terkait dengan isu agama. Rentetan peristiwa terjadi seakan tak pernah usai. Diantaranya, peristiwa ditahannya kembali penceramah Habib Bahar Bin Smith, kasus penistaan agama Ferdinand Hutahaean, isu masjid dan pesantren yang disusupi teroris, perdebatan tentang aturan pengeras suara masjid, dan yang paling hangat adalah kasus penistaan agama pendeta Saifuddin, ditangkapnya beberapa terduga terorisme, dan kasus nikah beda agama. 

Pertanda apakah semua ini? Apakah ini pertanda kita semakin sensitif dengan isu agama? Apakah ini pertanda sudah tidak ada lagi kehangatan kita dalam bernegara? Apakah ini pertanda kita sudah melupakan nilai-nilai yang ada di pancasila? Atau apakah ini hanyalah pertanda dimulainya pertarungan politik menjelang pemilihan presiden?

Tak ada jawaban pasti tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Semua opini mungkin hanya akan menjadi asumsi. Akan tetapi satu hal yang jelas bahwa dampaknya sangat besar di masyarakat, dan ironisnya masyarakat di bawahlah yang paling merasakannya. Perdebatan, silang pendapat, penghinaan, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, bahkan sampai pada permusuhan dan pertikaian terjadi, dan akhirnya merugikan banyak orang.

Peristiwa-peristiwa ini membuat kita berpikir keras dan bertanya-tanya, dimana sebenarnya letak toleransi kita? Meskipun semua orang berdalih dengan mengaku sebagai orang yang paling menjunjung toleransi, tapi pada kenyataannya toleransi belum benar-benar terjadi. Banyak pihak yang masih menjadikan kata toleransi sebagai tempat bersembunyi, bahkan ada juga yang menjadikannya senjata untuk bisa mengalahkan pihak yang berseberangan dengan dirinya.

Kasus Terkait Toleransi

Ada beberapa tipe kasus yang menimpa toleransi di negara kata. Setidaknya ada tiga yang bisa kita paparkan disini.

Pertama, tipe kasus yang berhubungan dengan isu radikalisme. Radikalisme itu bisa dalam bentuk perbuatan dan pemikiran. Radikalisme dalam bentuk perbuatan mudah untuk diidentifikasi. Radikalisme bentuk ini yang menjadi sebab terjadinya kasus-kasus terorisme, seperti pemboman atau penyerangan fisik. Radikalisme bentuk ini banyak dipengaruhi oleh jaringan terorisme internasional. Mereka memberikan logistik pemboman dan penyerangan dengan tujuan mengambil alih kekuasaan atau paling tidak menggoyahkannya.

Radikalisme dalam bentuk pemikiran lebih sulit untuk diidentifikasi. Radikalisme bentuk ini lebih mengedepankan jalan lembut untuk bisa mengajak, membangun opini, atau mempengaruhi masyarakat. Forum-forum diskusi, seminar, ataupun forum intelektual lainnya bisa dijadikan wadah radikalisme bentuk ini dalam rangka mengubah ideologi.

Disisi lain, pemikiran-pemikiran yang bisa dikategorikan sebagai pemikiran radikalisme juga masih banyak yang diperdebatkan. Batasan antara radikal dan tidak, terkadang begitu samar. Seseorang yang dicap dirinya memiliki pemikiran radikal, bisa saja membela diri dan menyangkalnya. Hal ini juga menyebabkan banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pemikirannya sudah masuk ke dalam pemikiran radikal.

Kedua, tipe kasus yang berhubungan dengan penistaan agama. Penistaan agama bisa dilakukan dengan sengaja dan tidak disengaja. Penistaan agama yang disengaja memang terkesan diluar nalar dan logika, bahkan bisa juga dikatakan radikal. Para pelaku biasanya memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap agama yang dianutnya. Fanatisme negatif ini yang membuatnya berani menghina dan menistakan agama orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun