Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Kontroversi mengenai Etika Wawancara Najwa Shihab

26 Januari 2018   18:56 Diperbarui: 26 Januari 2018   19:03 2802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medan.tribunnews.com

Sekarang mari kita benturkan fakta ini. Mengapa dibenturkan? Karena salah satu teknik wawancara juga adalah membenturkan tema satu dengan tema lain (menurut cara menurut pewawancara sendiri) dalam rangka menyelami pemahaman yang lebih mendalam dari tema yang dibahas. Begitulah seperti yang dipraktikkan dalam wawancara.

Di sini, ada etika dan moral publik masyarakat yang menuntut untuk bicara sopan dengan siapa pun tidak peduli dia politisi atau orang biasa. Ada teknik dan kode (etik) wawancara yang dikembangkan yang justru mengaburkan etika publik tadi. Kira-kira sebagai masyarakat umum, kita akan tunduk pada etika yang universal dan moral konvensional di masyarakat yang dikuatkan oleh filosof dan agama, atau mengacu pada etika wawancara?

Mengapa etika universal harus dikorbankan hanya demi "mengejar" tuntutan sebuah acara TV yang sebenarnya tidak menyangkut kepentingan universal masyarakat dan manusia? Apalagi kalau argumennya adalah demi "menyelamatkan" topik pembahasan karena mengejar waktu tayang. Barangkali seperti berlebihan jika saya mengatakan prinsip etika universal sudah dikalahkan oleh prinsip praktis pragmatis wawancara acara TV.

Di sini terjadi benturan prinsip antara etika universal dan moral masyarakat dengan etik wawancara praktis pragmatis yang menjadi bagian dari teknik dan etik yang disepakati di dunia wawancara media. Maka terjadilah reaksi masyarakat (publik) menyikapi perilaku Najwa tadi. Ada yang pro dan ada yang kontra.

Tetapi di sini kasusnya lain. Pro dan kontra juga tidak objektif secara etik. Karena meskipun yang pro terhadap apa yang dilakukan oleh Najwa, tetapi ada asumsi dasar yang melatarinya. Kita tahu Anies adalah Gubernur Jakarta yang sering jadi bulan-bulanan para haters yang menolaknya. Tentu saja ada bias ketika beropini dan mendukung cara Najwa tersebut.

Pihak yang kontra dengan cara Najwa juga belum tentu sebagai kelompok lovers nya Anies. Bisa saja mereka hanya sebatas mengacu kepada kaidah etik umum dalam berbicara yang mereka yakini. Apalagi yang menolak cara tersebut tidak semua warga DKI yang tidak punya kepentingan apa pun dengan semua kebijakan Gubernurnya.

Juga sebaliknya, coba kita tanyakan kepada kelompok haters, apakah etis juga jika kita melakukan dialog dan bertanya kepada teman dialog kemudian kita memotong pembicaraan mereka sebelum mereka selesai menjawab? Apa pun alasannya entah itu menyimpang dari tema, entah itu menyelamatkan tema, entah itu mengejar waktu, tapi tetap saja cara itu tidak etis bukan? Tanya saja mereka tanpa harus dikhususkan pada kasus wawancara Anies tadi.

Reaksi itu dipicu dari pemahaman publik dalam tata kesopanan dan adab ketika berbicara dengan orang lain. Masyarakat belum bergeser dari pemahaman umum dan prinsip umum yang diyakininya mengenai etika bicara tadi. Meskipun di dalam etik wawancara hal tersebut sudah "dikorbankan dan dibolehkan" dalam rangka mengejar kepentingan penyelamatan topik wawancara.

Barangkali itulah risiko tayangan TV yang isinya bisa menuai rating yang tinggi. Tayangan di mana di dalamnya kita akan menemukan kejutan yang tidak dikira sebelumnya. Kejutan yang terkadang mengoyak rasa etis dari publik. Tayangan yang mengusik tata kesopanan kita selaku manusia yang memegang prinsip universal etika dan moral lokal dalam bertindak.

Menyeimbangkan opini publik terhadap peristiwa yang dilihat di dalam TV memang bukan hal yang mudah. Ada banyak kepentingan yang berseliweran ketika tayangan dimunculkan. Pro dan kontra akan selalu ada. Itu lumrah saja.

Tulisan ini bukan untuk memihak yang pro atau yang kontra. Tetapi menyajikan sudut pandang lain dalam merespons sebuah peristiwa. Tidak harus mengenai wawancara di acara Mata Najwa. Minimal tulisan ini mencoba menyuguhkan dasar-dasar pemahamannya dulu mengenai substansi kontroversi sebuah peristiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun