Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Kontroversi mengenai Etika Wawancara Najwa Shihab

26 Januari 2018   18:56 Diperbarui: 26 Januari 2018   19:03 2802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medan.tribunnews.com

Itukah kode etik yang dirumuskan untuk para pewawancara? Bahkan ada satu pernyataan yang mengatakan bahwa ada prinsip gladiator untuk dijadikan metode dan strategi wawancara. Pernyataan itu mengatakan:

"They respond to your questions, but they don't answer your questions. Untuk memecahkan problem ini, wartawan senior bisa mengubah gaya wawancara yang tadinya seperti berdiskusi menjadi gladiatorial, menyerang, tapi tetap sopan dan tidak menghina narasumber."

Strategi gladiator dengan menyerang adalah jurus yang akan digunakan oleh wartawan ketika menghadapi nara sumber yang ngelantur. Bertubi-tubi, gladiator dan menyerang seolah merupakan kode (etik) baku dalam mewawancarai jika mengacu kepada ungkapan-ungkapan di atas.

Definisi dalam Implementasi

Setelah kia mengetahui masing-masing definisi dari berbagai sumber dan pendekatan, marilah kita bandingkan dan bagaimana seharusnya implementasinya dalam kasus wawancara Najwa. Sebelumnya kita perlu mengurai beberapa hal yang tampak di mata saya; publik, etika dan moral publik serta kode (etik) wawancara.

Publik adalah mereka yang sedang menonton. Jutaan warga negara Indonesia yang sedang menyaksikan secara langsung acara tersebut. Bahkan jejak digitalnya masih bisa kita "nikmati" di internet. Jadi publiknya bukan hanya yang menonton siaran langsungnya sesuai jadwal tayangnya, tetapi siaran tidak langsung ketika membuka lagi rekaman wawancara tadi.

Etika dan moral publik adalah kepatutan dan aturan baik buruk seseorang ketika berdialog atau berbicara dengan orang lain yang mengatakan bahwa tidak sopan secara etika dan moral ketika kita orang lain sedang berbicara kemudian kita memotong pembicaraannya.

Sekali lagi saya kutip tulisan dari penulis di Kompasiana ketika mengutip seorang filsuf John Locke mengenai hal ini: "Tidak ada yang lebih kasar dibandingkan memotong pembicaraan orang lain." Nah. Filosof sendiri mengatakan bahwa memotong pembicaraan orang adalah tindakan yang sangat kasar sehingga tidak ada lagi yang lebih kasar dari itu.

Bagaimana menurut agama? Tidak usah kita jauh-jauh mengacu pada ajaran etika agama (akhlak) dalam hal ini. Karena jelas-jelas kalau kita mengacu pada akhlak bagaimana berbicara menurut agama, kita akan menemukan hal yang sama dengan apa yang dikatakan filosof John Locke tadi.

Mengacu kepada definisi moral, adakah moral masyarakat atau bahkan moral tim dan pribadi yang membenarkan seseorang memotong pembicaraan orang lain dalam pembicaraan? Sejauh yang kita tahu, di mana pun tempatnya tidak ada kesepakatan yang mengatakan jika cara tersebut adalah cara yang sopan. Potong memotong pembicaraan boleh ketika sedang berlomba pantun atau dialog sahut-menyahut saja karena hal itu memang telah jadi kesepakatan aturan.

Selanjutnya, ternyata ada etik wawancara yang membolehkan untuk memotong, menyerang secara bertubi-tubi dengan pertanyaan, persis gaya gladiator untuk mengalahkan lawannya, kepada seorang narasumber (manusia tentunya) demi menyelamatkan topik pembicaraan, demi mementingkan durasi acara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun