Mohon tunggu...
Magriza Apriansyah
Magriza Apriansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penggerak

Bergerak sebagai pemerhati beberapa kebijakan dan fenomena dilihat dari sisi filsafat, hukum, sosial dan antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menatap Dua Tahun Undang-Undang TPKS

10 Mei 2024   03:33 Diperbarui: 10 Mei 2024   03:42 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disinteraksi Sosial
Munculnya disinteraksi sosial yang tinggi sehingga menjadikan Undang-Undang TPKS ini
menjadi gagal di laksanakan seperti :
a. Hegemoni orang tua

Dimana orang tua masih memiliki pemahaman yang masih mendasar sehingga beberapa
orang tua belum bisa menerima dasar isi dari Undang-Undang Tersebut (contoh :
Perkawinan Paksa).

b. Tingkat pendidikan yang kurang merata

Tingkat pendidikan yang kurang merata ini memunculkan bagaimana pemahaman sosial
ini cenderung lebih lambat dalam rangka menelaah Undang-Undang TPKS, sehingga
Undang-Undang TPKS ini berlaku secara parsial (sebagian).

c. Menatap sosial yang timpang

Dimana penalaran Undang-Undang TPKS ini dikatakan gagal karena keberhasilan
peraturan tersebut karena sosial yang timpang, sehingga Undang-Undang tersebut
dikesampingkan dengan apapun alasannya. Seharusnya Undang-Undang TPKS ini
menjadi stimulus penyamarataan sosial sehingga keberhasilan Undang-Undang TPKS ini menjadi inklusif.
Tidak Adanya Pendidikan Hukum
Di Indonesia sistematika hukum belum memberikan pendidikan hukum yang baik, dalam materi sosiologi hukum bahwa hukum harusnya menjadi social control (kontrol sosial) sehingga membentuk masyarakat hukum yang madani namun setiap subyek hukum di Indonesia itu takut atas pelanggaran hukum karena adanya sanksi bukan masalahan etika atau moral yang berasal dari norma yang ada. Dengan contoh pelecehan seksual ini beberapa orang tidak berani melakukan karena sanksi yang dijatuhkan bukan berasal dari norma-norma yang berlaku.
Pendidikan hukum ini menjadi gagal karena :
a. Usaha Preventif (Pencegahan)

Dimana hukum harusnya menjelaskan etika atau moral yang tinggi dalam rangka menciptakan setiap orang yang paham hukum bukan karena takut akan sanksinya namun
ini merupakan pelanggaran norma-norma yang ada. Seharusnya Undang-Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual ini merupakan pencegahan supaya tidak terjadi tindak pidana
kekerasan seksual.

b. Hukum Bersifat menindak

Hukum pidana terkenal dengan azas "Ultimum Remidium" dimana hukum pidana menjadi senjata terakhir dengan kata lain bahwa pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual ini seharusnya menjadi pintu terakhir, namun kembali lagi bahwa tidak adanya pendidikan hukum yang jelas maka Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hanya bersifat menghukum. Di Indonesia hanya melihat grafik namun pada dasarnya negara hukum yang baik tidak adanya kemunculan grafik tentang kekerasan seksual atau tidak adanya tindak pidana kekerasan seksual ini menjadi hal yang baik. Dan Undang-Undang ini hanya memenuhi Lembaga Pemasyarakatan karena hanya memperbanyak pelaku untuk masuk penjara.

c. Pemenuhan Hak Korban

Setiap hukum di Indonesia menekankan pada penindakan pelaku termasuk Undang-Undang TPKS hanya bersifat menindak, namun belum menjelaskan pemenuhan hak-hak korban yang dirampas secara rinci. Pada dasarnya waktu yang sangat penting adalah soal pemulihan dan pengembalian hak-hak korban yang dirampas oleh pelaku (dengan kata lain pasca tindak pidana kekerasan seksual) namun negara belum hadir dalam rangka memberikan hak tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun