Disinteraksi Sosial
Munculnya disinteraksi sosial yang tinggi sehingga menjadikan Undang-Undang TPKS ini
menjadi gagal di laksanakan seperti :
a. Hegemoni orang tua
Dimana orang tua masih memiliki pemahaman yang masih mendasar sehingga beberapa
orang tua belum bisa menerima dasar isi dari Undang-Undang Tersebut (contoh :
Perkawinan Paksa).
b. Tingkat pendidikan yang kurang merata
Tingkat pendidikan yang kurang merata ini memunculkan bagaimana pemahaman sosial
ini cenderung lebih lambat dalam rangka menelaah Undang-Undang TPKS, sehingga
Undang-Undang TPKS ini berlaku secara parsial (sebagian).
c. Menatap sosial yang timpang
Dimana penalaran Undang-Undang TPKS ini dikatakan gagal karena keberhasilan
peraturan tersebut karena sosial yang timpang, sehingga Undang-Undang tersebut
dikesampingkan dengan apapun alasannya. Seharusnya Undang-Undang TPKS ini
menjadi stimulus penyamarataan sosial sehingga keberhasilan Undang-Undang TPKS ini menjadi inklusif.
Tidak Adanya Pendidikan Hukum
Di Indonesia sistematika hukum belum memberikan pendidikan hukum yang baik, dalam materi sosiologi hukum bahwa hukum harusnya menjadi social control (kontrol sosial) sehingga membentuk masyarakat hukum yang madani namun setiap subyek hukum di Indonesia itu takut atas pelanggaran hukum karena adanya sanksi bukan masalahan etika atau moral yang berasal dari norma yang ada. Dengan contoh pelecehan seksual ini beberapa orang tidak berani melakukan karena sanksi yang dijatuhkan bukan berasal dari norma-norma yang berlaku.
Pendidikan hukum ini menjadi gagal karena :
a. Usaha Preventif (Pencegahan)
Dimana hukum harusnya menjelaskan etika atau moral yang tinggi dalam rangka menciptakan setiap orang yang paham hukum bukan karena takut akan sanksinya namun
ini merupakan pelanggaran norma-norma yang ada. Seharusnya Undang-Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual ini merupakan pencegahan supaya tidak terjadi tindak pidana
kekerasan seksual.
b. Hukum Bersifat menindak
Hukum pidana terkenal dengan azas "Ultimum Remidium" dimana hukum pidana menjadi senjata terakhir dengan kata lain bahwa pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual ini seharusnya menjadi pintu terakhir, namun kembali lagi bahwa tidak adanya pendidikan hukum yang jelas maka Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hanya bersifat menghukum. Di Indonesia hanya melihat grafik namun pada dasarnya negara hukum yang baik tidak adanya kemunculan grafik tentang kekerasan seksual atau tidak adanya tindak pidana kekerasan seksual ini menjadi hal yang baik. Dan Undang-Undang ini hanya memenuhi Lembaga Pemasyarakatan karena hanya memperbanyak pelaku untuk masuk penjara.
c. Pemenuhan Hak Korban
Setiap hukum di Indonesia menekankan pada penindakan pelaku termasuk Undang-Undang TPKS hanya bersifat menindak, namun belum menjelaskan pemenuhan hak-hak korban yang dirampas secara rinci. Pada dasarnya waktu yang sangat penting adalah soal pemulihan dan pengembalian hak-hak korban yang dirampas oleh pelaku (dengan kata lain pasca tindak pidana kekerasan seksual) namun negara belum hadir dalam rangka memberikan hak tersebut.