Mohon tunggu...
Magriza Apriansyah
Magriza Apriansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penggerak

Bergerak sebagai pemerhati beberapa kebijakan dan fenomena dilihat dari sisi filsafat, hukum, sosial dan antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menatap Dua Tahun Undang-Undang TPKS

10 Mei 2024   03:33 Diperbarui: 10 Mei 2024   03:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan Undang-Undang yang menjadi cita-cita terhapusnya segala hal tentang tindak pidana ujaran kebencian, dimana Undang-Undang TPKS ini berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana menjelaskan tentang "setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana dijamin". 

Bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat dimana implikasi ini berlaku ketika Undang-Undang TPKS merupakan hukum publik atau hukum pidana bahwa setiap subjek hukum dapat berimplikasi menjadi korban. 

Maka Undang-Undang TPKS tidak mengikat suatu gender tertentu tapi dia lebih menekankan pada sebuah tindak pidana, karena penjelasan secara umum setiap orang bisa jadi korban.

Maka ada beberapa alasan dimana Undang-Undang TPKS ini dibuat:

Darurat Kekerasan Seksual
Dimana munculnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini di sahkan
karena jawaban atas daruratnya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dimana kekerasan seksual di Indonesia semakin merebak bahkan kekerasan seksual ini dapat terjadi di institusi pendidikan. Bahkan secara data tersendiri dimana angka kekerasan seksual ini mengalami kenaikan yang tinggi, sehingga darurat kekerasan seksual merupakan alasan yang tepat dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Penafsiran Atas Undang-Undang Yang Diatasnya
Di dalam materi kuliah hukum mengenal azas "Lex Specialis Derogat Legi Generalis"
bagaimanapun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini di desain khusus
membahas secara rinci tentang kekerasan seksual. Bahkan ketika Undang-Undang TPKS ini muncul maka akan mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimana
bahasannya terlalu umum. Maka Undang-Undang TPKS ini merupakan desain khusus dalam rangka membahas kekerasan seksual.

Resultan Keresahan Kelompok Sosial

Kelompok sosial yang menekan lahirnya Undang-Undang TPKS dimana daruratnya
kekerasan seksual menjadi musuh bersama termasuk pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Maka tekanan kelompok sosial ini menghasilkan resultan menghasilkan Undang-Undang TPKS, karenasekali lagi bahwa hukum pidana mengikat atau menekankan kepada kepentingan publik setiap subyek hukum bisa menjadi korban.

Dasar Hukum dan Metodologi

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi dasar hukum dan metode
(cara). Dasar hukum ini menjelaskan bahwa segala hal tindak pidana kekerasan seksual
merupakan pelanggaran setelah undang-undang itu disahkan, sehingga para pelaku harus dihukum karena telah melakukan tindak pidana tersebut. Metodologis, Undang-Undang TPKS ini merupakan penjabaran cara dalam rangka pencegahan, sanksi dan penanganan pascakekerasan seksual itu terjadi.

Namun Undang-Undang TPKS banyak mengalami kegagalan setelah dua tahun menjadi hukum
positif di Indonesia, hal tersebut memunculkan banyak pertanyaan dimuka publik bahwa apa
gunanya peraturan tersebut di sahkan, ada beberapa alasan kegagalan yang dapat menjelaskan
bahwa Undang-Undang TPKS ini gagal yaitu :

Disinteraksi Sosial
Munculnya disinteraksi sosial yang tinggi sehingga menjadikan Undang-Undang TPKS ini
menjadi gagal di laksanakan seperti :
a. Hegemoni orang tua

Dimana orang tua masih memiliki pemahaman yang masih mendasar sehingga beberapa
orang tua belum bisa menerima dasar isi dari Undang-Undang Tersebut (contoh :
Perkawinan Paksa).

b. Tingkat pendidikan yang kurang merata

Tingkat pendidikan yang kurang merata ini memunculkan bagaimana pemahaman sosial
ini cenderung lebih lambat dalam rangka menelaah Undang-Undang TPKS, sehingga
Undang-Undang TPKS ini berlaku secara parsial (sebagian).

c. Menatap sosial yang timpang

Dimana penalaran Undang-Undang TPKS ini dikatakan gagal karena keberhasilan
peraturan tersebut karena sosial yang timpang, sehingga Undang-Undang tersebut
dikesampingkan dengan apapun alasannya. Seharusnya Undang-Undang TPKS ini
menjadi stimulus penyamarataan sosial sehingga keberhasilan Undang-Undang TPKS ini menjadi inklusif.
Tidak Adanya Pendidikan Hukum
Di Indonesia sistematika hukum belum memberikan pendidikan hukum yang baik, dalam materi sosiologi hukum bahwa hukum harusnya menjadi social control (kontrol sosial) sehingga membentuk masyarakat hukum yang madani namun setiap subyek hukum di Indonesia itu takut atas pelanggaran hukum karena adanya sanksi bukan masalahan etika atau moral yang berasal dari norma yang ada. Dengan contoh pelecehan seksual ini beberapa orang tidak berani melakukan karena sanksi yang dijatuhkan bukan berasal dari norma-norma yang berlaku.
Pendidikan hukum ini menjadi gagal karena :
a. Usaha Preventif (Pencegahan)

Dimana hukum harusnya menjelaskan etika atau moral yang tinggi dalam rangka menciptakan setiap orang yang paham hukum bukan karena takut akan sanksinya namun
ini merupakan pelanggaran norma-norma yang ada. Seharusnya Undang-Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual ini merupakan pencegahan supaya tidak terjadi tindak pidana
kekerasan seksual.

b. Hukum Bersifat menindak

Hukum pidana terkenal dengan azas "Ultimum Remidium" dimana hukum pidana menjadi senjata terakhir dengan kata lain bahwa pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual ini seharusnya menjadi pintu terakhir, namun kembali lagi bahwa tidak adanya pendidikan hukum yang jelas maka Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hanya bersifat menghukum. Di Indonesia hanya melihat grafik namun pada dasarnya negara hukum yang baik tidak adanya kemunculan grafik tentang kekerasan seksual atau tidak adanya tindak pidana kekerasan seksual ini menjadi hal yang baik. Dan Undang-Undang ini hanya memenuhi Lembaga Pemasyarakatan karena hanya memperbanyak pelaku untuk masuk penjara.

c. Pemenuhan Hak Korban

Setiap hukum di Indonesia menekankan pada penindakan pelaku termasuk Undang-Undang TPKS hanya bersifat menindak, namun belum menjelaskan pemenuhan hak-hak korban yang dirampas secara rinci. Pada dasarnya waktu yang sangat penting adalah soal pemulihan dan pengembalian hak-hak korban yang dirampas oleh pelaku (dengan kata lain pasca tindak pidana kekerasan seksual) namun negara belum hadir dalam rangka memberikan hak tersebut.

d. Komunikasi antara Pemerintah Dan Akar Rumput

Gagalnya Undang-Undang TPKS dikomunikasikan oleh pemerintah kepada masyarakat, hal tersebut melihat ketimpangan sosial yang tinggi Di Indonesia namun pemerintah Indonesia juga tidak berlaku aktif dalam rangka mengkampanyekan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, misal dalam pendidikan non formal keagaaman yang sekarang banyak muncul kasus kekerasan seksual tidak pernah tersentuh oleh pemeritah.

Meledaknya Kasus Kekerasan Seksual

a. Meledaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia ini dapat dilihat melalui
beberapa pemberitaan, data grafik dan kasus yang terjadi di dalam institusi pendidikan,
institusi pendidikan non formal (agama) dan lingkungan terdekat.

b. Normalisasi setiap pelanggaran merupakan sebuah aib yang tidak harus di ungkap
ataupun sebuah pelanggaran di normalisasi dengan alasan ajaran atau doktrin sebuah
agama (perkawinan paksa). Pemenuhan Kehidupan Sebagai Stimulus Pemenuhan kehidupan dalam rangka pemecahan ketimpangan sosial yang tidak merata sehingga pelaksanaan Undang-Undang TPKS yang menjadi gagal. Sebab pemenuhan atas dasar Hak Asasi Manusia merupakan alat stimulus dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Sehingga opini yang saya tulis menghasilkan beberapa konklusi sebagai pembenahan tindak
pidana kekerasan seksual yaitu :

a. Peran pemerintah dalam rangka membatasai hukum dan era globalisasi yang begitu cepat.

b. Reformasi hukum pencegahan dan penindakan hukum sebagai langkah pro justitia.

c. Pemenuhan hak dasar oleh pemerintah untuk rakyat
1) Penjelasan hukum kepada masyarakat
2) Perlindungan hukum
3) Pemenuhan hak setiap orang sebagai pemecahan ketimpangan sosial (alat stimulus
pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

d. Pendidikan hukum berdasarkan etika, moral dan norma serta menengahi doktrin
kepercayaan dengan produk hukum yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun