Mohon tunggu...
Maesa Nabila
Maesa Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember

Mahasiswa Aktif di UIN KHAS JEMBER Program Studi Tadris Matematika

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prinsip-prinsip dan Faktor-faktor Pembentukan Akhlak

8 Desember 2023   11:42 Diperbarui: 8 Desember 2023   12:07 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Definisi Akhlak

Akhlak secara bahasa berasal dari bahasa Arab merupakan jama’ dari خُلُقٌ yang berarti tingkah laku, budi pekerti, kebiasaan, watak atau tabiat. Menurut para ahli, termasuk Al-Ghazali, akhlak adalah keadaan yang melekat dalam jiwa manusia, yang menyebabkan munculnya tindakan-tindakan dengan spontan, tanpa perlu melalui proses pemikiran yang panjang, pertimbangan yang mendalam, atau penelitian yang cermat. Akhlak ini seringkali disebut sebagai dorongan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Dengan kata lain, akhlak mencerminkan sifat bawaan dalam diri manusia yang memengaruhi perilaku mereka, baik dalam tindakan yang positif maupun negatif.[1]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "akhlak" merujuk pada watak, sifat, atau tabiat seseorang. Akhlak yang baik dapat dilihat melalui kebiasaan atau perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari. Berakhlak baik berarti individu memahami dan mengenali apa yang benar, memiliki kasih sayang terhadap kebaikan, dan mengaplikasikan perbuatan-perbuatan yang baik dalam tindakan mereka. Dengan demikian, akhlak baik tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, tetapi juga dengan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam praktik sehari-hari.[2] Jadi, akhlak merupakan suatu kesesuaian antara jiwa dan anggota badan dalam hal melakukan suatu tindakan.

Ada dua unsur utama dalam akhlak yang saling terkait, yaitu keadaan jiwa di satu sisi dan perilaku nyata yang muncul dari keadaan jiwa tersebut di sisi lain. Dengan kata lain, keadaan jiwa dan perilaku nyata tidak dapat dipisahkan. Keadaan jiwa ini juga menentukan sifat dari perbuatan tersebut, sehingga pada dasarnya perbuatan itu sendiri berasal dari keadaan jiwa sebagai sumbernya.[3]

 

Adapun beberapa pakar menyatakan berbagai definisi dari akhlak dengan berbeda-beda sebagai berikut:

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa akhlak adalah keadaan jiwa. Ini mengacu pada kondisi dalam diri seseorang yang mempengaruhi berbagai tindakan yang dilakukan tanpa perlu melalui proses berpikir dan pertimbangan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak adalah keadaan dalam diri yang menghasilkan tindakan-tindakan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.[4] Karena di dalam jiwa seseorang terdapat pemahaman tentang baik dan buruknya perbuatan, maka tindakan yang sesuai akan dilakukan secara spontan berdasarkan apa yang ada dalam jiwa tersebut. Sehingga anggota badan dapat melaksanakan tindakan tersebut tanpa perlu proses berpikir dan pertimbangan yang panjang. 

Al-Farabi berpendapat bahwa akhlak melibatkan upaya untuk memperkuat kemampuan yang sudah terdapat dalam diri manusia. Ini dilakukan melalui kebiasaan yang memunculkan perilaku baik dan menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan perilaku terpuji dari pada diri seseorang.[5]

Muhammad Bin Ali Asy-Syarif Al-Jurjuni berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sifat yang ada dalam jiwa, dari mana perilaku-perilaku muncul dengan mudah, tanpa perlu berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu. Dalam konteks ini, jika perilaku yang muncul sesuai dengan syari'at dan akal yang baik dengan mudah, maka sifat tersebut dianggap sebagai akhlak yang baik. Sebaliknya, jika perilaku buruk muncul dari sifat tersebut, maka sifat itu dianggap sebagai akhlak yang buruk.

Definisi akhlak dari Muhammad Bin Ali Al-Faruqi At-Tahanawi adalah sebagai seluruh kebiasaan, karakter bawaan, dan rasa harga diri yang dimiliki seseorang.[6] Akhlak pada Ensiklopedi Islam yaitu suatu kondisi yang terdapat dalam diri manusia sehingga muncul suatu sikap dengan spontan, tidak harus melalui proses pemikiran dan pertimbang terlebih dahulu.[7] Al Qurthubi mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat pada manusia dalam bergaul antar sesamanya, ada yang terpuji dan ada yang tercela.

Yang dimaksud akhlak menurut Al-Attas [8] adalah pengakuan dan pengenalan pada kenyataan yang secara bertahap terdapat pada manusia terkait wadah-wadah yang pas pada segala sesuatu pada susunan pencipta, hingga mengarahkan pada pengakuan dan pengenalan kekuatan.

Muhammad bin Ilaan As-Shadieqy[9] berpendapat bahwa akhlak adalah Suatu pembawaan pada jiwa manusia yang dapat menyebabkan perilaku yang baik dengan cara yang spontan tanpa adanya dorongan dari pihak lain.

Sedangkan Abu bakar Jabir Al-Jazairy[10] mangatakan jika Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang terdapat pada jiwa manusia yang memunculkan perilaku yang benar dan salah, baik dan buruk dengan cara yang disengaja. Kemudian Ibrahim Anis[11] berkata jika Akhlak adalah sifat yang terdapat pada jiwa yang kemudian lahir berbagai perbuatan, baik atau buruknya, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.

Menurut Ali Abdul Halim Mahmud[12] yang dimaksud dengan akhlak (moral) pada kitab Akhlak mulia adalah sebuah sistem yang sempurna yang terdiri dari ciri khas perilaku atau akal seseorang yang membuatnya menjadi istimewa. Ciri khas ini membentuk struktur psikologis individu dan memungkinkannya untuk berperilaku sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai yang melekat padanya dalam berbagai situasi.

Menurut seorang ulama ensiklopedis yaitu Ahmad Bin Mushthafa[13] (Thasy Kubra Zaadah), Akhlak merupakan ilmu yang dapat diketahui berbagai macam keutamaan. Keutamaan itu merupakan perwujudan keseimbangan antara tiga kekuatan, yakni berfikir marah, syahwat. Dan tiap kekuatan itu memiliki letak pertengahan di antara dua keburukan.

Para ulama mendefinisikan akhlak sebagai sifat-sifat yang secara alami melekat dalam jiwa seseorang dan menghasilkan perilaku yang timbul secara spontan, tanpa memerlukan pemikiran panjang, pertimbangan, atau paksaan. Sifat-sifat ini merupakan bagian integral dari akhlak. Sebaliknya, sifat-sifat yang tidak melekat dalam jiwa, seperti marahnya seseorang yang biasanya pemaaf, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari akhlak. Begitu juga dengan sifat-sifat yang kuat dan cenderung menghasilkan perilaku yang kurang baik, seperti sifat bakhil yang muncul saat seseorang berjuang untuk menunjukkan kedermawanannya hanya untuk mendapatkan pujian orang lain. Dalam hal ini, perilaku tersebut tidak dapat disebut sebagai akhlak.[14]

Islam menekankan pentingnya mencapai keseimbangan yang sempurna dalam akhlak. Dalam pandangan Islam, akhlak dianggap sebagai fondasi utama bagi norma-norma dalam kehidupan sosial. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan tindakan yang muncul secara alami dari diri seseorang dan dapat dilakukan tanpa perlu pemikiran, semata-mata dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT, bukan semata-mata untuk mendapatkan pujian. Ini adalah istilah yang digunakan dalam agama untuk menilai apakah perilaku manusia tersebut terpuji atau tercela.

Akhlak dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu akhlak karimah (terpuji) atau akhlak mahmudah, dan akhlak mazmumah (tercela). Akhlak terpuji merujuk pada perilaku yang memiliki nilai-nilai akhlak yang baik dan patut mendapatkan pujian.

Akhlak karimah atau akhlak mahmudah didasarkan pada kepercayaan yang kuat. Kepercayaan itu menusuk, mengakar kuat dan bersinar mengeluarkan benih kemulian berwujud akhlak. Yang menjadi suri tauladan akhlak untuk kaumnya, diantaranya memiliki rasa malu, pemberani, mulia hati, penyabar, dan semua akhlak yang mulia.

Akhlak Karimah adalah suatu tanda kesempurnaan iman. Tanda itu diwujudkan pada kebiasaan sehari-hari dalam bentuk perilaku-perilaku yang tepat dengan ajaran yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Akhlak karimah (mahmudah) diklasifikasikan pada beberapa kategori, termasuk akhlak yang berkaitan dengan hubungan individu dengan Allah, perilaku terhadap Nabi Muhammad SAW, sikap terhadap diri sendiri, etika terhadap kedua orang tua, tindakan terhadap masyarakat, serta respons terhadap lingkungan alam. Allah SWT telah menetapkan aturan-aturan dan larangan dalam kehidupan manusia. Kehadiran aturan ini bertujuan untuk menjaga kelancaran kehidupan manusia. Tiap perlakuan aturan tersebut mencerminkan poin-poin akhlak yang diterapkan oleh Allah SWT.

Akhlak terhadap Allah yaitu beriman dan menaati segala perintah-Nya, apa yang telah dibenarkan-Nya dijadikan pedoman hidup, berjanji untuk menaati segala bentuk perintah-Nya dengan menerapkan ajaran-Nya dalam praktik, yang nanti semua itu akan dipertanggungjawabkan. Sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan dan kedamaian dengan mengikuti ajaran-Nya yang baik dan benar dalam setiap aspek hidupnya, dan melaksanakannya dengan penuh dedikasi sesuai kemampuan dan sumber daya yang dimiliki.

Akhlak manusia kepada Allah merupakan akhlak yang paling tinggi dan mengatasi segalanya, sumber segala hukum dan nilai hidup adalah dari-Nya. Allah yang layak menerima semua pujian dan ketaatan, hanya dia yang berhak dan perlu disembah, tempat untuk meminta  semua pertolongan, pengampunan dan hidayah. Berakhlak kepada Allah yaitu dengan meyakinkan keesaan Alah

Dalam firman Allah dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang menyatakan sebagai berikut:

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ 

Kemudian, berkaitan dengan akhlak terhadap Nabi S.A.W., Akhlak yang baik terhadap Rasulullah adalah taat dan memiliki kasih sayang terhadap beliau. Ketaatan terhadap Rasulullah berarti mematuhi semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Semua prinsip ini terdokumentasikan dalam hadis (sunnah) yang mencakup perkataan, tindakan, dan ketetapan beliau. Patuh terhadap perintah Rasulullah dapat dilakukan dengan ikhlas, yakin bahwa perintah beliau adalah perintah Allah yang harus dipatuhi. Ini melibatkan pelaksanaan sepenuh hati terhadap semua perintah beliau dan menjauhkan diri dari larangannya. Ini juga mencakup ketaatan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan. Selain itu, meneladani tindakan Rasulullah dalam berbagai aspek kehidupan dan melaksanakan semua perbuatan yang dianjurkan (sunah), serta menjauhi segala hal yang dibencinya.

Islam mengajarkan pentingnya menjaga diri, baik secara fisik maupun spiritual. Kesehatan tubuh kita harus dijaga dengan memilih makanan yang sesuai dengan prinsip halal dan sehat. Jika kita mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi kriteria ini, maka kita dapat merusak kesehatan tubuh kita sendiri.[1]

Akhlak terhadap diri sendiri diwujudkan melalui perlakuan yang positif terhadap diri sendiri dan menghindari tindakan yang dapat membahayakan atau merugikan diri sendiri, serta melakukan perlakuan yang adil kepada diri sendiri.

Akhlak yang terdapat pada diri sendiri, seperti sabar, adalah bagaimana seseorang mengendalikan dirinya sendiri dan menerima apa yang terjadi pada dirinya. Sabar dapat dilihat ketika seseorang melaksanakan perintah, menjauhkan diri dari larangan, dan saat menghadapi cobaan dari Allah. Selanjutnya, syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah, yang tak terhitung jumlahnya. Tawadhu' adalah sikap rendah hati yang melibatkan penghormatan terhadap semua orang tanpa memandang status mereka, baik kaya atau miskin, tua atau muda . Tawadhu' muncul karena kesadaran bahwa manusia pada dasarnya lemah dan terbatas, sehingga tidak seharusnya sombong atau angkuh di dunia ini.

 

Akhlak pada kedua orang tua, melibatkan penghormatan dan ketaatan terhadap kedua orang tua dalam perkataan dan tindakan. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai perilaku maupun tindakan nyata. Islam memberikan kedudukan yang tinggi dan terhormat kepada orang tua. Sehingga, dalam Al-Qur'an terdapat berbagai ayat yang menekankan pentingnya berbakti dan menghormati kedua orang tua.

Seseorang yang memiliki akal akan menyadari betapa besar perjuangan yang telah dilakukan oleh orang tua mereka. Mulai dari masa di dalam kandungan, orang tua telah merawat dengan baik. Setelah lahir, kasih sayang dan perhatian mereka tetap berlanjut hingga masa dewasa. Mereka berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk merawat, membimbing, dan memberikan arahan agar anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang baik, bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Karena itu, individu yang memiliki akal akan selalu bersikap sopan dan hormat dalam berbicara kepada orang tua mereka.

Menunjukkan perilaku baik kepada orang tua melibatkan tindakan seperti mengasihi dan mencintai mereka sebagai tanda terima kasih, dengan berbicara dengan sopan dan penuh kelembutan, mematuhi perintah mereka, membantu mengurangi beban mereka, dan merawat mereka saat mereka tua dan tidak dapat bekerja lagi. Ini bukan hanya tentang berperilaku baik terhadap kedua orang tua selama mereka masih ada di dunia, tetapi juga menjaga sikap baik setelah mereka meninggal. Ini melibatkan doa dan meminta pengampunan untuk mereka, melaksanakan janji-janji yang belum terpenuhi, dan menjaga hubungan dengan teman-teman dan sahabat-sahabat mereka yang masih hidup.

Berperilaku baik terhadap sesama manusia melibatkan aspek-aspek seperti saling menghormati antaragama, partisipasi aktif dalam berbagai aktivitas, sikap tanpa egoisme, tanggung jawab sosial, gotong royong, pemaafan, penghargaan terhadap individu lainnya, kesabaran, keadilan, kreativitas, dan dinamisme. Akhlak kepada masyarakat membuat kita belajar agar meminta izin dan memberi salam ketika hendak memasuki rumah pada pemiliknya, memberi kembali amanah pada pemiliknya, adil antar manusiadengan adil dan lain sebagainya. Berakhlak terhadap masyarakat dengan tetap mempertahankan dan mendapatkan rasa persaudaraan terutama pada saudara yang satu aqidah untuk mendapat rahmat Allah.

Akhlak kepada masyarakat dapat dilaksanakan dengan cara menghormati tamu, menghargai norma yang berlaku dalam masyarakat, saling membantu dalam melaksanakan kebaikan, menyarankan masyarakat, juga diri sendiri, supaya bersikap baik dan membentengi jiwa dari perilaku buruk.

Dalam Islam kita disarankan juga memiliki akhlak terhadap alam contohnya sadar alam ini diberikan dari Allah untuk manusia agar dikelolanya. Keberagaman alam mewujudkan keagungan Allah dalam memakai tiap karunia yang ada pada-Nya, harus bersahaja tiap manusia untuk kepentingan bersama, jangan berbohong, dan butuh diiringi oleh rasa syukur.[2] Agama Islam bertujuan membentangkan rahmat tidak cuma terhadap manusia, namun terhadap alam dan lingkungan hidup 

Tujuan ini terkait dengan peran manusia sebagai khalifah di dunia, di mana mereka bertindak sebagai wakil Allah dengan tanggung jawab menjaga, mengembangkan, dan merawat lingkungan. Berperilaku baik terhadap lingkungan hidup adalah cara untuk menjaga kelestarian alam. Berakhlak terhadap lingkungan hidup berarti Menciptakan hubungan yang seimbang dan baik dengan lingkungan sekitar.

Mensejahterakan suatu alam merupakan mengembangkan sumber daya, hingga bisa memberikan keuntungan untuk kemakmuran manusia dengan tidak merugikan suatu alam tersebut. Allah menyajikan bumi yang subur ini supaya diolah manusia dengan cara bekerja keras melestarikannya. Keanekaragaman alam yang beragam disajikan Allah agar manusia menyikapi dengan cara memberikan dan mengambil manfaat dari serta untuk alam dan tidak memperbolehkan dalam bentuk apapun perilaku yang dapat menghancurkan alam. Secara tegas Allah mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak muka bumi, karena pada dasarnya hal itu sama saja membuat kehancuran untuk diri sendiri dan juga masyarakat.

Manfaat yang besar dapat diperoleh dari pengelolaan yang baik terhadap alam dan lingkungan. Sebaliknya, jika alam dibiarkan tanpa pengelolaan atau hanya dieksploitasi tanpa pertimbangan, itu dapat menyebabkan masalah bagi manusia. Dampak dari perilaku yang buruk terhadap lingkungan dapat dilihat dalam contoh seperti kebakaran hutan yang merusak habitat hewan dan juga dalam pemanfaatan yang tidak berkelanjutan terhadap sumber daya laut, yang dapat merusak ekosistem laut dan habitat hewan laut yang penting.

Selanjutnya, akhlak mazmumah merujuk pada segala jenis perilaku yang berlawanan dengan akhlak mahmudah. Akhlak mazmumah mencakup perilaku buruk yang bisa menghancurkan keimanan seseorang dan merugikan harga dirinya sebagai manusia.[3] 

Akhlak mazmumah melibatkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti perbuatan syirik yang mengarah pada penyekutuan dengan Allah dalam tindakan yang seharusnya hanya dilakukan untuk-Nya. Contohnya, menciptakan tuhan-tuhan selain Allah, menyembah mereka, atau meminta pertolongan kepada mereka adalah tindakan yang dilarang, karena tindakan semacam itu hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT.

Syirik merupakan perilaku yang termasuk dalam akhlak mazmumah yang sangat berbahaya terhadap Allah. Hal ini dikarenakan perbuatan syirik dapat membuat amal kebaikan manusia menjadi tidak diterima, sehingga usaha baik yang dilakukannya menjadi sia-sia. Syarat utama agar amal perbuatan diterima oleh Allah adalah kesungguhan (ikhlas) dalam melakukannya hanya untuk Allah. Namun, dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah, tanpa terkecuali.

Kemudian yaitu Kufur secara etimologi artinya menutupi. Kufur adalah kata sifat dari “kafir”, kafir merupakan orangnya, jika kufur merupakan sifatnya. Menurut syara’ kufur itu tidak percaya pada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. kafir adalah lawan dari mukmin.[4]

Dusta atau bohong adalah tindakan berbicara yang tidak sesuai dengan kebenaran. Ini mengimplikasikan menciptakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dengan niat untuk merendahkan seseorang. Terkadang, pelaku bohong ini juga dengan sengaja menyalahkan orang lain atas tindakan tersebut, dan dalam beberapa kasus, mereka melakukannya dengan jelas. Individu semacam ini sulit dipercayai dalam setiap pernyataannya. Sifat berbohong ini mirip dengan fitnah dan orang yang gemar berdusta sering kali dianggap sebagai orang munafik. Apabila perilaku berbohong menjadi umum dalam suatu masyarakat, dapat dipastikan bahwa situasi di masyarakat tersebut akan menjadi kacau dan hanya masalah waktu sebelum masyarakat tersebut mengalami kemunduran atau keruntuhan.

Riya, dalam konteks bahasa, merujuk pada tindakan memperlihatkan. Namun, dalam pengertian istilah, riya mengacu pada perilaku memperlihatkan semua tindakan atau perbuatan agar mendapatkan pujian dari orang lain. Jika tindakan tersebut tidak dilakukan semata-mata untuk Allah SWT, ini menunjukkan ketidakikhlasan dalam melaksanakan tindakan tersebut, dan tindakan yang tidak ikhlas ini akan ditolak.[5] 

Riya adalah perilaku bohong terhadap diri sendiri dan orang lain, bahkan terhadap Allah sendiri, karena bertentangan dengan niat aslinya. Orang yang riya selalu berusaha untuk melakukan sesuatu hanya demi mendapatkan pujian dari orang lain, bahkan jika itu tidak sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip aslinya, hingga akhirnya merusak harga dirinya sendiri.

Orang yang riya akan merasa senang dan bangga ketika menerima pujian dan sanjungan dari orang lain. Namun, sebaliknya, jika tindakannya tidak mendapat pujian, dia akan merasa sangat sedih dan gelisah. Orang yang menderita penyakit riya sangat takut jika tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain. Jika seseorang hanya bertindak untuk mendapat pujian dari orang lain, Allah akan mengungkapkan semua keburukannya yang tidak dia perlihatkan kepada orang lain.

Takabur, dalam pengertian umum, merujuk pada tindakan membesarkan diri sendiri atau merasa lebih unggul daripada orang lain. Dalam istilah, takabur adalah sikap merasa lebih baik, cerdas, mulia, atau superior dibandingkan dengan orang lain, yang secara sederhana dikenal sebagai sikap sombong. Hal ini mengakibatkan keyakinan bahwa orang lain berada di bawahnya, tanpa memperdulikan apakah ini sesuai dengan kenyataan atau tidak. Sifat ini sangat berbahaya dan merugikan diri sendiri. Orang yang memiliki takabur cenderung menunjukkan sikap yang tidak patuh dan perilaku yang tidak disenangi oleh orang lain. Sikap ini dianggap sangat tercela baik di mata Allah maupun manusia.

Adapun Rasa sombong lahir dari rasa ketika mengagumi dirinya sendiri. Kesombongan kaum musyrik serta kekerasan hati mereka untuk menerima kebenaran tercela di dalam Al-Qur'an. Al-Qur’an sudah memberi pengelihatan salah satu contoh tokoh ekstrim dalam kesombongan terdapat pada kisah Fir’aun.

Namimah secara etimologi merujuk pada tindakan adu domba. Dalam konteks epistemologi, namimah mengacu pada upaya mengalihkan perkataan seseorang kepada orang lain dengan maksud merusak hubungan.

Dengki adalah perasaan tidak senang saat orang lain mendapatkan kebahagiaan, dan sebaliknya, mereka merasa senang saat orang lain mengalami kesulitan. Orang yang cemburu akan mencari kesalahan orang lain yang bisa digunakan sebagai alat untuk merugikannya. Mereka tidak bahagia jika melihat orang lain meraih kebahagiaan dan tidak rela jika orang lain memiliki kebahagiaan yang sama atau bahkan lebih dari mereka.

Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sifat dengki akan menghabiskan waktu dan energinya untuk merencanakan cara menjatuhkan orang lain. Hal ini menyebabkan mereka melupakan kehidupan mereka sendiri dan akhirnya membuat kehidupan mereka menjadi kacau. Dengki adalah salah satu penyakit hati yang dapat menimbulkan ketegangan emosional, ketakutan, dan kecemasan dalam diri seseorang. Ini adalah salah satu sifat buruk manusia yang sering merusak kehidupan. Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yang merujuk pada perasaan yang muncul ketika seseorang melihat orang lain memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, dan kemudian menyebarkan berita bahwa apa yang dimiliki oleh orang tersebut diperolehnya secara tidak adil.

Sifat dengki ini sangat berbahaya dan sulit untuk diobati melalui terapi biasa. Sifat ini telah banyak merusak dan dapat menghilangkan kebahagiaan dalam kehidupan seseorang. Bahkan, sifat dengki bisa memicu permusuhan, perselisihan, dan dalam kasus yang lebih parah, dapat memicu konflik dan bencana bagi masyarakat secara keseluruhan. Penyakit dengki ini telah ada sejak manusia pertama diciptakan, contohnya adalah dengki yang dimiliki oleh iblis terhadap Nabi Adam a.s. Dengki yang dilakukan oleh iblis terhadap Nabi Adam merupakan akibat dari sifat dengkinya.

Bakhil adalah sikap kikir yang ditunjukkan oleh seseorang yang enggan memberikan atau berbagi hartanya atau sumber daya lainnya kepada orang yang membutuhkan, meskipun dia memiliki kecukupan atau kemampuan untuk melakukannya. Orang bakhil biasanya pintu rezekinya sering tertutup. Orang yang mempunyai sifat bakhil itu egois, dia hanya mementingkan dirinya sendiri tidak peduli orang lain Orang seperti itu tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada orang lain,tidak menghormati harkat dan martabat kemanusiaan dan tidak mempunyai hati nurani. Orang semacam itu akan binasa namun dirinya tidak merasa, tidak menyadari bahwa apa yang dimilikinya, baik senang atau tidak semua akan ditinggalkan.  Sementara dirinya hanya akan mendapat hisab dan siksaan di akhirat kelak dan orang lain yang akan menikmati.

Dendam adalah keinginan untuk membalas perlakuan seseorang dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan kurang puas, kemarahan, rasa saingan, dan sejenisnya. Orang yang memiliki sifat dendam biasanya tidak merasa senang melihat kebahagiaan orang lain dan justru merasa senang ketika orang yang mereka benci mengalami kesulitan. Selain itu, mereka cenderung membalas kesalahan dengan tindakan yang berlebihan dan suka menggosipkan kejelekan orang lain.

Buruk sangka (su'udzan) adalah sikap yang melibatkan pandangan curiga dan pemikiran negatif terhadap orang lain. Sikap ini muncul karena perasaan merasa lebih tinggi atau lebih baik daripada orang lain, yang kemudian menghasilkan ketidakpercayaan terhadap niat atau tindakan orang lain.

Khianat adalah tindakan penyalahgunaan kepercayaan orang lain, yang berarti seseorang tidak dapat diandalkan. Individu yang melakukan khianat disebut sebagai pengkhianat, dan mereka tidak ragu-ragu untuk mengungkap rahasia orang lain atau kelompok lain demi keuntungan pribadi, sehingga dianggap sebagai musuh yang bersembunyi di dalam kelompok tersebut. Khianat juga merupakan salah satu sifat orang munafik.

Fitnah adalah tindakan menyebarkan informasi palsu atau bohong dengan maksud merusak reputasi seseorang. Individu yang gemar melakukan fitnah cenderung tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Mereka seringkali memiliki sifat pengecut dan dendam. Dalam Islam, perilaku tercela ini sangat dilarang dan dikecam.

Selanjutnya yaitu sifat zalim yang artinya adalah perbuatan aniaya, berat seyterhadap menyelesaikan sebuah perkara, tidak adil terhadap tindakan, atau mengambil hak yang bukan miliknya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang untuk bersikap zalim. Pertama, perasaan cinta dan benci. Cinta kepada seesorang biasanya mempengaruhi agar memprioritaskan orang yang dicintai tersebut, maka akan tidak adil atau berat sebelah kepadanya. Demikian pula dengan  perasaan benci kepada seseorang akan menimbulkan sikap tidak adil dan bisa jadi tidak memberi hak orang itu sebagaiman mestinya. Kedua, yaitu mementingkan diri sendiri. Mendahulukan kepentingan pribadi akan menyebabkan orang mempunyai sifat egois dan individualis, akibatnya dia akan berani kepada orang lain berbuat aniaya.

Perlakuan zalim dapat menghancurkan hubungan ukhuwah (persaudaraan) antara sesama manusia. Oleh karena itu, agama melarang tindakan zalim ini karena setiap manusia memiliki kekurangan. Sebaliknya, manusia seharusnya saling membantu dalam kehidupan mereka masing-masing dan tidak melakukan perlakuan zalim.

 

B. Prinsip Dasar Akhlak Dalam Islam

Islam merupakan agama yang mengutamakan Akhlak dibandingkan dengan hal lain, mengapa demikian karena tujuan Nabi Muhammad diperintah untuk menyempurnakan Akhlak. Kita dapat memperhatikan pada zaman Jahiliyah keadaan Akhlak yang hancur berantakan sekali yang mereka lakukan pada masa itu nyeleweng seperti mabuk dan judi.

Pendidikan Akhlak berkaitan dan saling berhubungan dari pendidikan manusia seutuhnya. Sasaran Pendidikan Akhlak yaitu guna membentuk manusia yang sempurna (insan kamil). Prinsip utama keutamaan akhlak Islam terletak pada:

  • Moral Force

Moral Force akhlak Islam yaitu terdapat pada iman untuk kekuatan dalam yang dipunyai oleh tiap orang yang mukmin sebagai penggerak atau dorongan terwujudnya kehendak untuk dicerminkan dalam tata rasa, cipta, karya yang konkret.

  • Landasan Pijakannya yaitu : Iman, Islam, Ihsan
  • Iman

Dapat dimengerti iman merupakan suatu keyakinan yang didasari sikap, perilaku seorang mukmin. Demikian Iman dapat menjadi tolak ukur dari kualitas seseorang

  • Islam

Ialah suatu sikap tunduk atau taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan.

  • Ihsan

Merupakan cerminan sifat keyakinan seseorang yang sudah Islam dan beriman.

  • Disiplin Moral

Yang berbuat adalah yang bertanggung jawab, Prinsip Akhlak perbuatan baik sekecil apapun yang melakukannya pasti akan memperoleh hasilnya, maka sebaliknya perbuatan jahat sekecil apapun yang melakukannya maka akan mempertanggungjawabkan.

Menurut KBBI, prinsip adalah kebenaran yang menjadi inti dari cara berpikir, bertindak, dan sebagainya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip merupakan panduan dasar yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu, menurut Toto Asmara, prinsip adalah aspek paling mendasar yang membentuk harga diri seseorang. Dengan kata lain, prinsip merupakan bagian esensial dari martabat diri individu. Menurut Ahmad Jauhar Tauhid, prinsip adalah pandangan yang telah teruji dan berlangsung lama yang menjadi acuan dalam perilaku manusia. Dengan kata lain, prinsip adalah landasan yang telah terbukti dan bertahan lama yang membimbing perilaku manusia.

Dalam konteks abstrak dan konkret, akhlak mengacu pada kondisi jiwa yang bersifat abstrak (khuluq) yang akan menjadi akhlak yang baik jika menghasilkan aktivitas konkret (khalaq). Menurut Sidi Ghazalbah, akhlak adalah sikap kepribadian yang mengarahkan tindakan manusia terhadap diri sendiri dan makhluk lainnya sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan hadis, serta patuh terhadap perintah dan larangan yang ada.

Sementara menurut Ibnu Maskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan tindakan tanpa perlu melakukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Dengan kata lain, akhlak mengarahkan individu untuk bertindak dengan spontan, sesuai dengan sifat dan naluri mereka, tanpa harus melalui proses pemikiran yang panjang.

Prinsip akhlak adalah pedoman yang digunakan untuk mengarahkan tindakan dan perilaku manusia melalui proses pertimbangan pikiran. Menurut Al-Ghazali, ada empat prinsip dasar akhlak:

  • Kebijaksanaan adalah keadaan di dalam diri yang memampukan kita untuk mengidentifikasi perbedaan antara yang benar dan yang salah dalam tindakan yang timbul dari dorongan hati. Ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan akal sehat dan pemikiran rasional dalam memutuskan tindakan yang tepat.
  • Berani adalah kekuatan emosional yang berperan sebagai pelindung akal ketika kita menggunakan kekuatan tersebut. Dalam konteks ini, berani adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi dan menjaga keseimbangan pikiran ketika kita dihadapkan pada situasi yang membutuhkan ketegasan.
  • Menjaga Kehormatan adalah kemampuan untuk membimbing dan mengarahkan kekuatan hawa nafsu dengan menggunakan etika dan prinsip-prinsip syariah. Ini berarti kita harus mampu mengendalikan dorongan dan keinginan kita dengan menjaga integritas moral dan etika dalam tindakan kita.
  • Adil adalah keadaan dalam diri yang membuat kita dapat mengatasi perasaan kebencian dan hawa nafsu, sehingga kita dapat bertindak sesuai dengan tuntutan kebijaksanaan. Dalam konteks ini, adil berarti kita mampu mengatasi emosi negatif dan hawa nafsu yang dapat mengganggu tindakan yang adil dan bijaksana.

Keempat prinsip ini membentuk dasar-dasar akhlak yang membantu manusia untuk menjadi pribadi yang bijaksana, berani, menjaga kehormatan, dan adil dalam tindakan dan perilaku mereka.

C. Faktor Internal Pembentukan Akhlak Manusia

Semua aksi dan perilaku manusia yeng mempunyai karakteristik antara satu dengan lainnya, hakikatnya adalah terdapat dorongan dari jiwa manusia (internal) dan juga dorongan dari luar dirinya (eksternal).  Berikut beberapa Faktor Internal seseorang bersikap atau berakhlak, diantaranya yaitu:

Yang pertama adalah Insting (Naluri), yang merupakan sifat bawaan yang dimiliki manusia sejak lahir.[1] Menurut James,[2] Insting adalah sifat bawaan yang mengungkapkan tujuan akhir. Ini merupakan potensi yang hadir sejak lahir dan berkembang berdasarkan naluri alamiahnya. Dalam insting terdapat tiga unsur kejiwaan, yaitu kognisi (pengenalan), konasi (kehendak), dan emosi (perasaan).

Unsur itu juga terdapat pada binatang, berarti insting merupakan sebuah motivasi dari nafsu yang muncul pada batin seseorang untuk melaksanakan suatu sikap kearah khusus pada diri sejak lahir. Psikolog mengatakan insting berguna untuk motivator penggerak dalam jiwa manusia. Walaupun demikian,  insting perlu dilatih serta dibiasakan supaya dapat menjadi hal yang untung dalam diri manusia.

Insting adalah salah satu aspek utama yang dapat memengaruhi pembentukan akhlak seseorang. Dalam konteks etika, insting merujuk pada kemampuan berpikir rasional. Meskipun akal pikiran memiliki peran penting dalam memperkuat keyakinan agama, namun hal ini juga harus didukung oleh perbuatan nyata, pengetahuan, dan ketakwaan kepada Allah Swt. Banyak faktor insting yang dapat memengaruhi perilaku dan tindakan yang pada akhirnya akan membentuk akhlak seseorang, tetapi pengendaliannya sepenuhnya bergantung pada individu tersebut.

Insting adalah elemen jiwa yang sangat mendasar dalam membentuk karakter dan akhlak manusia. Penting untuk selalu memperhatikan dan tidak mengabaikan insting ini, karena jika diabaikan, insting dapat melemah bahkan hampir hilang. Insting memiliki kecenderungan untuk mencari kebebasan, sehingga perlu diatur dan dibatasi agar tidak menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri maupun orang lain.[3] 

Yang kedua adalah adat atau kebiasaan, yang merupakan tindakan dan perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dengan pola yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Pendapat Nasraen, Adat adalah suatu pandangan hidup yang memiliki ketetapan objektif, kekokohan, dan mengandung nilai-nilai pendidikan yang penting bagi individu dalam masyarakat. Meskipun pelaksanaan adat dalam kehidupan sehari-hari dapat memiliki dampak positif dan negatif, nilai-nilai adat ini tetap berfungsi sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan sosial.

Segala perilaku baik dan buruknya itu jadi kegiatan rutin karena terdapat hasrat hati kepadanya dan menerima hasrat itu dengan bersama perilaku terus-menerus secukupnya. Jika adat atau kebiasaan muncul pada sebuah masyarakat atau bahkan terhadap seseorang, Demikian sifat dari adat atau kebiasaan yaitu tidak sulit melaksanakan tugas yang terbiasa karena sudah terbiasa jadi mudah, tidak buang waktu pada sebelumnya. Saat perngembangan lanjutan, perilaku yang dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan, mampu dilakukan dengan waktu yang gesit dan mempersingkat waktu.

Ketiga, Pola dasar bawaan, Orang-orang dahulu berpandangan bahwa manusia lahir dengan kondisi yang sama, baik dari segi jiwa maupun bakatnya. Selanjutnya, pendidikan memiliki potensi untuk mengubah mereka menjadi individu yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks pendidikan, salah satu pandangan yang mencerminkan perbedaan ini adalah Aliran Nativisme. Aliran ini meyakini bahwa bakat bawaan yang dimiliki individu sejak lahir memainkan peran penting dalam menentukan perkembangan jiwa mereka, dan pendidikan memiliki sedikit pengaruh pada hal tersebut.

Sementara itu, dalam aliran empirisme, konsep ini sejalan dengan pandangan yang diungkapkan oleh John Locke dalam teori tabula rasa, yang mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sepenuhnya ditentukan oleh pendidikan dan pengaruh lingkungan. Selanjutnya, teori konvergensi mengemukakan bahwa perkembangan jiwa manusia dipengaruhi baik oleh faktor bawaan maupun pendidikan, dan keduanya bekerja bersama-sama membentuknya.

Hakikat manusia adalah bahwa mereka dapat mewarisi sebagian sifat dari orang tua mereka, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Namun, hingga saat ini, para peneliti belum dapat menentukan secara pasti sejauh mana warisan sifat-sifat tersebut memengaruhi individu. Meskipun seseorang dapat mewarisi beberapa sifat dari orang tua mereka, mereka juga memiliki kemampuan untuk membentuk karakter mereka sendiri dengan mengembangkan sifat-sifat yang mungkin tidak ada pada orang tua mereka. Ini mencakup perbedaan dalam hal perasaan, akal, dan akhlak yang membuat setiap individu unik.

Dalam ajaran Islam, terkait keturunan (hereditas), diungkapkan di dalam QS. ar-Rum: 30

 

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

 

Artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. ar-Rum: 30).

Dalam ayat tersebut, istilah "fitrah" digunakan untuk menggambarkan keadaan asal manusia yang lahir dalam kondisi sebagai seorang muslim. Dalam konteks akhlak Islam, fitrah diinterpretasikan sebagai kemampuan dasar yang dimiliki manusia untuk berkembang dalam kerangka ajaran Islam. Sifat-sifat yang diteruskan oleh orang tua, dominan tercermin dalam karakteristik fisik, sementara yang lainnya berhubungan dengan dimensi spiritual. Meskipun sifat-sifat ini merupakan bagian dari warisan individu dari keluarganya, lingkungan juga memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk atau mengubah sifat-sifat tersebut, terutama jika sifat-sifat tersebut tidak menguntungkan.

 

D. Faktor Eksternal Pembentukan Akhlak Manusia

Salah satu faktor yang juga memberikan kontribusi dalam membentuk pola sikap dan perilaku seseorang adalah lingkungan di mana individu tersebut berada. Lingkungan ini adalah wilayah interaksi yang terdiri dari elemen-elemen seperti air, udara, bumi, langit, dan matahari yang berinteraksi dengan manusia. Lingkungan manusia mencakup semua yang ada di sekitarnya, termasuk gunung, lautan, sungai, kota, desa, dan masyarakat di sekitarnya. Lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua jenis:

  • Lingkungan alam

Lingkungan alam dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku manusia. Lingkungan alam dapat mendukung atau menghambat potensi seseorang. Sejarah mencatat perhatian terhadap pengaruh lingkungan alam sejak zaman Plato hingga saat ini. Misalnya, jika lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhan fisik seseorang, hal ini dapat melemahkan atau bahkan membahayakan nyawanya. Begitu juga dengan perkembangan intelektual, lingkungan yang tidak mendukung dapat menghambat pertumbuhan akal manusia. Para sejarawan telah lama mengakui bahwa keadaan lingkungan dalam suatu negara memiliki dampak besar terhadap perkembangan bangsa tersebut. Ini menunjukkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan pada setiap individu yang lahir. Faktor-faktor lingkungan di dalam rumah individu juga dapat memengaruhi cara individu tersebut beradaptasi.

  • Lingkungan sosial

Masyarakat adalah tempat di mana individu tinggal dan berinteraksi. Lingkungan sosial ini memiliki kemampuan untuk mengubah keyakinan, pemikiran, budaya, sifat, pengetahuan, dan terutama, akhlak dan perilaku individu. Dalam lingkungan sosial, proses saling memengaruhi antara individu selalu terjadi. Dengan kata lain, lingkungan sosial memiliki potensi untuk membawa perkembangan positif atau bahkan kemunduran dalam kehidupan manusia.

  • Lingkungan sosial ini dibagi menjadi tujuh kategori:

Lingkungan keluarga, di mana seseorang lahir, dididik, dan dibesarkan, memiliki dampak besar pada pembentukan akhlak individu. Perilaku dan nilai-nilai akhlak yang dipraktikkan oleh orang tua dalam lingkungan rumah dapat berpengaruh besar terhadap perilaku anggota keluarga, termasuk anak-anak mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menjalankan peran sebagai contoh yang baik dan panutan bagi keluarga dan anak-anak mereka.Lingkungan sekolah, di mana sekolah memiliki kemampuan membentuk kepribadian siswa. Sekolah agama berbeda dengan sekolah umum, dan kebijakan berpakaian di sekolah agama dapat membentuk identitas agama siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.

  • Lingkungan kerja memiliki potensi besar dalam memengaruhi perilaku dan pandangan seseorang. Ketika lingkungan kerja dipenuhi oleh individu yang berprilaku baik, hal ini dapat memberikan dampak positif pada individu tersebut. Sebaliknya, jika lingkungan kerja dipenuhi oleh individu yang berprilaku buruk, maka bisa berdampak negatif pada individu tersebut.
  • Lingkungan organisasi, di mana bergabung dengan suatu organisasi akan membawa individu ke arah aspirasi yang ditetapkan oleh organisasi tersebut. Aspirasi ini memiliki potensi untuk memengaruhi perilaku individu, tergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh organisasi dan tingkat disiplin yang diterapkan.
  • Lingkungan jamaah, seperti jamaah tabligh, jamaah masjid, dan kelompok pengajian, adalah kelompok informal yang memiliki potensi untuk mengubah perilaku individu dari yang kurang baik menjadi lebih positif.
  • Lingkungan ekonomi atau perdagangan, karena semua orang memerlukan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Namun, ekonomi juga dapat memicu perilaku buruk seperti kekacauan, kecurian, korupsi, dan kekerasan jika dikelola oleh individu yang tidak bermoral. Sebaliknya, jika lingkungan ekonomi dikelola oleh individu yang berilmu, beriman, dan bertaqwa kepada Allah Swt, maka dapat membawa kesejahteraan di dunia dan akhirat.
  • Lingkungan pergaulan yang bersifat bebas atau umum dapat mengarah pada pembenaran berbagai cara untuk mencapai tujuan tertentu. Seringkali, lingkungan semacam ini menawarkan kenikmatan sesaat, seperti penggunaan alkohol, narkoba, aktivitas seksual, atau perjudian, yang sering terjadi di malam hari. Akan tetapi, jika pergaulan bebas ini melibatkan para ulama atau kegiatan yang memiliki manfaat positif, maka hal itu dapat membawa kemuliaan dan membantu seseorang mencapai tingkat derajat yang tinggi. Meskipun manusia bisa dipengaruhi oleh lingkungan, mereka tetap memiliki kemampuan akal untuk memilih lingkungan yang sesuai dan beradaptasi dengan baik.

[1] Amril M., Etika Dan Pendidikan (Pekanbaru: LSFK2P, 2005). hlm.19

[2] Gede Raka et Al, Pendidikan Karakter Di Sekolah (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011). hlm. 36

[3] Amril M., Etika Dan Pendidikan (Pekanbaru: LSFK2P, 2005). hlm. 9

[4] Imam Abdul makmun Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi Membangun Kepribadian Muslim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). hlm. 15-18

[5] Amril. M, Akhlak Tasawuf (Pekanbaru: Program Pascasarjana Uin Suska Riau, 2007). hlm.6

[6] Ali Abdul Hamid Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani, 2004). hlm. 33-34

[7] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 2005). hlm. 130

[8] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2016). hlm. 21

[9] Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak (Surabaya: Bina Ilmu, 1984). hlm. 16

[10] Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 1999). hlm. 2-3

[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pres, 2009). hlm. 4

[12] Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah Al-Khuluqiyah (Jakarta: Gema Insani, 2004). hlm. 26

[13] Mahmud. hlm. 33

[14] Mahmud. hlm. 34

[15] Makbuloh, Pendidikan Agama Islam. hlm. 147

[16] H.S, Pemikiran Akhlak Syaikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari. hlm. 78

[17] Anwar, Akidah Akhlak. hlm. 247

[18] Anwar. hlm. 247-249

[19] Sarjuni Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011). hlm. 227

[20] Zaharuddin, Pengantar Study Akhlak, ed. Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2004). hlm. 93

[21] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika, ed. UIN Maliki Press (Malang, 2010). hlm. 98

[22] M. Yatimi Abdullah, Study Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, ed. Amzah (Jakarta, 2007). hlm. 209

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun