Mohon tunggu...
Madinatul Munawwaroh
Madinatul Munawwaroh Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli gizi yang menulis

Sedang berlatih menyampaikan hal-hal yang menarik minat melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Daging Buatan Laboratorium: Pilihan yang Lebih Aman?

17 Januari 2021   22:55 Diperbarui: 17 Januari 2021   23:03 3084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lab-Grown Meat

Pada awal bulan Desember lalu, Singapura membuat kebijakan yang memperbolehkan penjualan daging buatan laboratorium (lab-grown meat) secara umum. Lab-grown meat adalah daging yang tidak berasal dari pemotongan hewan dan dibuat dengan cara mengambil stem sel (sel punca) dari otot hewan yang masih hidup lalu ditumbuhkan di laboratorium dengan pemenuhan gizi seperti asam amino, vitamin, mineral, dan garam yang semuanya berasal dari non hewani.

Dalam 10 tahun belakangan, penelitian terkait daging alternatif banyak dikembangkan. Lab-grown meat digadang-gadang sebagai “clean meat” karena sudah banyak perhatian bahwa daging hewan menyumbang hal buruk untuk perubahan iklim. Hal ini dikarenakan 15% emisi gas dunia berasal dari peternakan (UN FAO), contohnya penggundulan hutan untuk lahan peternakan atau pabrik, serta emisi gas metana dari proses fermentasi kotoran ternak.

Klaim bahwa lab-grown meat dikembangkan tanpa membunuh hewan, tanpa memotong pohon, tanpa menggunakan antibiotik, tanpa memberikan dampak buruk terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity), tanpa meningkatkan risiko penyakit yang berasal dari hewan (zoonotic), bahkan tidak akan ada cemaran bakteri seperti salmonella dan E. coli yang menimbulkan penyakit. Hal inilah yang menyebabkan lab-grown meat disebut sebagai clean meat.

Benarkah Lab-Grown Meat Pilihan yang Lebih Baik?

Untuk beberapa jenis daging seperti sapi dan domba, daging yang ditumbuhkan di lab secara signifikan lebih baik untuk iklim dan berpotensi menurunkan 80-95% emisi gas rumah kaca. Namun, untuk jenis daging babi dan unggas yang ditumbuhkan di lab memiliki emisi yang sama dengan daging yang didapat dari hewan ternak.

Lab-grown meat tidak sepenuhnya baik, hal ini dikarenakan adanya tenaga listrik yang digunakan untuk menumbuhkan daging di lab. Namun, apabila sumber energi yang digunakan berasal dari bahan yang dapat diperbaharui, tentu lab-grown meat akan lebih baik.

Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Halal dan haramnya lab-grown meat saat ini masih menjadi perdebatan.

Dalam islam, daging dikatakan halal apabila memenuhi syarat:

1. Merupakan daging hewan yang dihalalkan.

2. Terpotong bagian leher yang harus dipotong dalam kondisi menyembelih normal. Tidak boleh menyembelih di selain bagian leher, kecuali dalam kondisi darurat.

3. Menyebut nama Allah SWT.

Selama ini lab-grown meat dikembangkan dari stem sel dalam otot. Sepotong otot ini akan dipotong untuk membebaskan sel induk yang tidak hanya memiliki kemampuan untuk berkembang biak tetapi juga dapat mengubah dirinya menjadi berbagai jenis sel, seperti sel otot dan sel lemak. Sel-sel ini akan mulai membelah setelah dibiakkan dalam media kultur yang sesuai, dengan media terbaik mengandung Fetal Bovine Serum (FBS) yang terbuat dari darah anak hewan yang mati.

Daging yang dikembangkan di laboratorium, misalnya daging sapi, apabila selnya diperoleh dari sel induk sapi dewasa yang masih hidup dan bukan berasal dari sapi yang disembelih, atau berasal dari darah hewan yang telah mati inilah yang menyebabkan daging tersebut tidak halal.

Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa lab-grown meat bisa saja halal asalkan jika stem sel diekstraksi dari hewan yang disembelih (halal), dan tidak ada darah, serum, atau zat yang diharamkan lain yang digunakan dalam prosesnya.

 

Selain Daging, Ternyata Ada Lab-Grown Fish

Sama seperti kekhawatiran mengenai emisi gas yang disumbangkan oleh penyembelihan daging ternak, kekhawatiran yang sama ada untuk sektor perikanan.

Populasi manusia yang semakin banyak di bumi mau tidak mau telah menimbulkan masalah baru terkait kelaparan dan kerusakan ekosistem.

Perusahaan asal Amerika Serikat, BlueNalu, mengembangkan lab-grown fish yang didapatkan dari ekstraksi sel otot ikan yang dibius lalu diolah menggunakan enzim dalam kultur dan ditempatkan dalam bireaktor bersama dengan zat gizi lain yang ditambahkan. Mereka meyakini ini sebagai sebuah solusi untuk mengurangi penangkapan ikan secara besar-besaran dan mengurangi kerusakan laut.

Bagaimana dengan Daging Analog?

Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa saat ini orang-orang berlomba menemukan makanan pengganti daging tapi tetap tidak mengurangi kenikmatan yang ada dalam daging itu sendiri.

Untuk itu, beberapa tahun belakangan juga dikembangkan daging analog (meat analogue) yang berasal dari bahan vegetarian, biasanya yang dikembangkan berasal dari kacang kedelai atau kacang polong.

Sebuah perusahaan asal Amerika Serikat, Beyond Meat, merupakan produsen makanan pengganti daging berbasis nabati yang sukses mengembangkan daging analog dari kacang polong, minyak kelapa, dan bahan vegetarian lain yang diklaim dikembangkan tanpa menggunakan hormon, antibiotik, dan tanpa GMO (rekayasa genetik). Perusahaan ini bahkan sukses mengembangkan daging burger yang mirip dengan daging asli dari segi tekstur dan juicy-nya yang berasal dari ekstrak buah bit.

Daging ini diklaim sebagai future food dan merupakan pilihan terbaik.

Bahkan, para peneliti juga telah melihat kemungkinan pengembangan makanan dari serangga yang tampak “menjanjikan” sebagai sumber protein berikutnya bagi manusia. Namun, selain kualitas bahan baku dan dampaknya bagi bumi, keamanan produk bagi manusia tetaplah prioritas utama. Oleh karena itu, kerangka regulasi perlu dikembangkan karena makanan-makanan pengganti daging ini akan semakin berkembang di masa depan. 

Adakah yang Benar-Benar Baik?

Dari berbagai penjelasan ini, mungkin kalian akan bertanya-tanya, pilihan mana yang terbaik dari semuanya?

Sebagai orang yang mempelajari ilmu gizi, saya akan mengatakan bahwa semua bahan makanan jika dikonsumsi dengan cara yang benar dan tidak berlebihan akan memberikan manfaat bagi tubuh.

Kita juga masih membutuhkan daging serta protein hewani lainnya untuk memenuhi asupan protein, dikarenakan sumber protein dari hewani lebih mudah diserap oleh tubuh, selain itu asam amino esensial dan zat besi juga lebih banyak ditemukan dalam daging, namun perlu diperhatikan bahwa konsumsinya juga tidak boleh berlebihan.

Tetapi, jika memiliki perhatian khusus dan ingin hidup sebagai vegetarian, tentu diperbolehkan, dengan catatan mengetahui zat gizi apa saja yang dibutuhkan oleh tubuh dan memastikan kebutuhan gizi itu terpenuhi dari sumber nabati.


Dari penjelasan ini, dapat diketahui bagaimana saat ini manusia berpikir makanan bukan hanya untuk menyumpal rasa lapar, tetapi juga berpikir makanan yang “aman” baik itu untuk bumi maupun diri sendiri dan memberikan manfaat dari segi gizi.

Sumber:

  1. Baits, A.N. (2018). Syarat Halalnya Hewan Sembelihan. [Online]. Tersedia: https://konsultasisyariah.com/8427-hewan-sembelihan.html. [17 Januari 2021].
  2. Beres, D. (2020). Beyond Meat: Are You Ready for Lab-Grown Salmon?. [Online]. Tersedia: https://bigthink.com/technology-innovation/lab-grown-fish?rebelltitem=1#rebelltitem1. [17 Januari 2021].
  3. Beyond Meat. (2021). Key Ingredients. [Online]. Tersedia: https://www.beyondmeat.com/about/our-ingredients/. [17 Januari 2021].
  4. Chriki, S., & Hocquette, J. F. (2020). The Myth of Cultured Meat: A Review. Frontiers in Nutrition, 7, 7. https://doi.org/10.3389/fnut.2020.00007.
  5. Hamdan, M. N., Post, M. J., Ramli, M. A., & Mustafa, A. R. (2018). Cultured Meat in Islamic Perspective. Journal of religion and health, 57(6), 2193–2206. https://doi.org/10.1007/s10943-017-0403-3.
  6. Ismail, I., Hwang, Y. H., & Joo, S. T. (2020). Meat Analog as Future Food: A Review. Journal of animal science and technology, 62(2), 111–120. https://doi.org/10.5187/jast.2020.62.2.111.
  7. Kusmer, A. (2020). Is Singapore’s Approval of Lab-Grown Meat a Win for The Climate?. [Online]. Tersedia: https://www.pri.org/stories/2020-12-21/singapore-s-approval-lab-grown-meat-win-climate. [17 Januari 2021].
  8. Post M. J. (2014). Cultured Beef: Medical Technology to Produce Food. Journal of The Science of ood and Agriculture, 94(6), 1039–1041. https://doi.org/10.1002/jsfa.6474.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun