Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen "Sandal Mamak"

22 Juni 2023   11:07 Diperbarui: 22 Juni 2023   11:32 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar canva

Matanya jelalatan mencari, terlampau fokus bak seekor ular tengah menarget tikus. Tatapannya terus bergerak ke arah macam-macam sandal yang bertumpuk di undakan masjid. Lantas mendaratlah mata bundar dan hatinya pada sepasang sandal berwarna soft beige. Manis, elegan, tidak bikin sakit mata. Kelihatan empuk dipakai dan sedikit kotor terkena tanah. Tapi tak masalah, dicuci sekilas pun pasti bakal kinclong. Sempurna!

Maula cepat-cepat memasangkan kedua kaki mungilnya ke sandal itu. Tarawih malam pertama di kala pandemi sungguh menuai berkah, pikirnya. Ia pun membaur bersama warga lain yang juga usai menunaikan ibadah khusus malam hari di bulan Ramadan tersebut. Adanya pandemi tidak membuat banyak perbedaan di kampung, kecuali kumpulan kertas di dompet Maula yang mula-mula bergambar Soekarno-Hatta, kini berganti menjadi Cut Meutia. Puji syukur bila cukup membeli semangkuk bakso dengan porsi paling murah, namun lebih sering hanya cukup untuk membeli royco. Ia baru saja terkena PHK.

Jika tadi kedua kaki Maula melangkah pulang dengan bahagia, lain halnya dengan Yosep. Kedua kakinya seolah terpasung di lantai masjid. Persendiannya mati rasa tatkala mencari-cari sandal yang bukan miliknya namun nihil. Badannya lemas seketika. Dengan sisa tenaga yang dipunya, ia mengirim pesan kepada Mamak.

Mak, malam ini Pepes nginap di rumah Yayat. Punten pisan[1] .

"Kunaon[2], Pes?" Ruhiyat memperhatikan kawannya yang sudah serupa patung gipsum. Pucat dan membatu.

Yosep menahan napas. "Aku ikut ke rumah, ya."

"Hayu[3], atuh. Aya naon[4], sih?"

Yosep bergeming, menatap kosong undakan masjid di bawahnya.
**

Sahur pertama Yosep lalui bersama Ruhiyat dan Asep. Semalaman Yosep gelisah tak bisa tidur. Tiga sekawan yang dikenal oleh satu kampung dengan julukan Tilu Jelema Gebloh [5] atau istilah kerennya Three Idiots karena sebagaimana tiga tokoh utama dalam film India tersebut, ke manapun pergi mereka selalu bertiga. Asep kemudian merantau ke Jakarta, meninggalkan Ruhiyat dan Yosep. Tetapi julukan itu masih ada bahkan sampai sekembalinya Asep ke kampung.

"Jadi...," Ruhiyat menghentikan siukan sendok di pinggan berisi karedok, memastikan pendengarannya yang masih separuh berlayar di pulau kapuk. "Maneh[6]  pinjam sandal Mamak, terus hilang pas selesai Tarawih kemarin?"

"Coba cari lagi. Gelap mungkin, jadi kagak kelihatan," celetuk Asep.

"Yayat, Cecep," Agak kesal Yosep menekankan kedua nama akrab sohibnya, "Teras masjid enggak segelap itu kali, masih kelihatan sampai parkiran juga."

"Beli lagi, atuh. Gaji teller cukup buat beli sandal satu karung, 'kan?" gurau Asep sembari menenggak teh tawar.

"Masalahnya, Cep, itu sandal punya Mamak." Yosep menatap Asep lurus-lurus.D

enting piring beradu gelas di wastafel dapur mengisi sejenak senyap di ruang makan. Mereka paham tanpa diajari, membelikan barang baru untuk Mamak demi mengganti yang hilang tidak akan mengubah apa-apa selain menciptakan prahara baru. Sinkronisasi impuls otak mereka mengirimkan sinyal satu sama lain: Alamat runyam tujuh turunan!

"Durhaka lu, Pes, kalau sampai kagak ketemu itu sandal." Asep geleng-geleng kepala.

"Durhaka?" Yosep balik memandang Asep tidak percaya. "Gaji pertama kukasih semua buat Mamak. Sandal kubeli di luar gaji."

"Kok, lu jadi perhitungan?" Asep tertawa ringan. "Lagian tinggal cari nanti siang biar terang."

"Siang mah kerja. Mana bisa ketemu Mamak kalau sandalnya belum..." Yosep mengacak-acak rambut klimisnya.

Sebelum kulit putih Yosep semakin pucat seperti kapas, Ruhiyat menengahi. "Gini aja, kita izin ke Mang Oni untuk minta giliran ronda nanti malam. Cukuplah bertiga cari sandal. Jiga kumaha sendalna [7]?"

"Warnanya putih agak krem, ukuran 41."

"Nah, sip. Gancang da mun urang nu neangan [8] ." Ruhiyat menyuap sendok terakhir.

Yosep memandang dua sahabatnya yang lahap menyantap menu sahur. Terdengar peringatan imsak dari toa masjid, dan Yosep baru hendak menyendok karedok.
**

Merah langit sore menyambut Maula sekeluarnya ia dari peraduan. Hibernasi seharian rupanya tidak serta merta menarik dirinya dari kenyataan pahit bahwa kini ia tidak bekerja. Ngabuburit sembari berburu takjil gratis pun menjadi jalan ninja. Maula hendak mengenakan 'sandal baru' sebelum derum motor gigi honda terdengar mendekat. "Juhe?"

"Hirup keneh[9], Mol?" Juhaeni berseloroh, menepikan motornya.

"Astagfirullah. Puasa, Juhe." Maula mengelus dada.

"Lah, masih puasa? Biasana ge[10] puasa beduk."

"Itu mah kamu."

Juhaeni mengedikkan kepala ke jok belakang, menyilakan Maula naik. Maula memakai masker, tanpa menunggu lama lagi duduk lalu menepuk pundak Juhaeni yang tertutup jilbab berwarna coral. Tubuh tambun Juhaeni sempurna menghalangi badan kecil Maula hingga tak tampak dari depan.

Motor keluaran terbaru itu bersegera menuju kampus terdekat yang menyediakan pembagian takjil gratis untuk masyarakat umum dengan drive thru. Lima belas menit menjelang berbuka, bukannya semakin sedikit, antrian malah bertambah panjang.

"Bagus, enggak?" Maula menggoyang-goyangkan kakinya.

"Widiih... nyopet di mana?"

"Rejeki dari masjid." Maula nyengir.

Sontak Juhaeni melotot, air mukanya berubah nanap. "Gelo sia[11] , Mol. Kualat, geura."

Maula agak tidak menyangka dengan reaksi Juhaeni. "Sandalku udah bulukan, Juhe."

"Ya, enggak ngambil hak orang juga, Maemunah! 'Kan, bisa pinjam dulu sandal aing [12]!"

"Cuma sandal ini," sergah Maula, suaranya kontan memelan.

"Buat sia 'cuma', buat yang punya?" Juhaeni telak menutup pembicaraan. Singkat namun berbekas di benak Maula. Sepanjang perjalanan, bahkan hingga Juhaeni mengantar Maula pulang, tidak satupun dari mereka yang ingin memulai percakapan kembali.
**

Dingin udara malam menyayat sampai ke tulang. Kor jangkring sahut menyahut menggenapkan cekaman gelap yang menyergap. Suasana kampung di tengah malam benar serupa desa terlantar. Sunyi, sepi, seumpama tak berpenghuni.

"Pepes, kalau gua tiba-tiba lari jangan protes, ya." Suara Asep bergetar, entah karena ketakutan atau kedinginan.

"Naon, sih? Dari tadi enggak ada apa-apa, padahal." Yosep mengarahkan senter bergantian dari satu teras rumah ke teras berikutnya.
Ruhiyat menepuk lengan, terasa ada yang menggigit. Ia pun membuka telapak tangannya. Bukan nyamuk. "Biasanya sandal sepatu udah dibawa masuk ke rumah jam segini mah."

"Kali aja ada." Yosep bersikeras.

Mereka bertiga berhenti di pertigaan. Lurus berpapasan pemakaman, belok ke utara melewati kebun pisang. Meski sudah menempati kampung sejak meluncur dari rahim, bukan berarti otomatis terbiasa dengan atmosfer mistis yang dilahirkan malam.
"Gua sama Yayat cari ke sana, ya. Lu lurus aja." Segera Asep menarik Ruhiyat belok menyusuri kebun pisang, meninggalkan Yosep secara sepihak.

"Anjir..." Umpatan Yosep pupus bersama embusan angin. Ia meregangkan sajadah yang tadi tersampir di pundaknya untuk menutupi leher dan seperempat punggung atas.

Yosep berjalan pelan, mengamati betul sandal-sandal yang disinyalir mirip dengan sandal Mamak. Sementara ini, ia masih bisa bernapas lega karena Mamak belum menanyakan perihal sandalnya.

Yosep memicingkan mata. Tampak siluet seseorang sedang menjemur seprai. Seluruh tubuhnya terhalang kain alas tempat tidur tersebut, menyisakan betis ke bawah yang masih terlihat.

Malam-malam begini nyuci? batin Yosep bertanya. Iseng, ia menyenteri kedua kaki itu. Sekonyong-konyong mata sipitnya membulat. Itu, 'kan, sandal Mamak!

Yosep mempercepat langkahnya. "Punten, teh."

Maula menongolkan kepalanya dari balik seprai. "Kah[13]? Eh, Pes...?"

"Mol...?"

Pesmol. Mendadak keduanya canggung. Sama sekali tidak bermaksud menyebutkan salah satu makanan khas nusantara tersebut. Meski sepantaran dan besar di satu kampung, Yosep tidak terlalu mengenal Maula. Demikian pula sebaliknya.

Alih-alih menagih, Yosep justru menanyakan hal yang sebenarnya retoris. "Sandal baru?"

Giliran Maula yang membatin. Kok, dia tahu...? "Oh, ini..." Maula termenung sebentar. "Aku pinjam."

Derap langkah tergesa terdengar lepas dari kejauhan. "Pes! Pepes! Gua lihat jurig[14], Pes!" teriak Asep. Ruhiyat menyusul kemudian.
Yosep memandang Asep dan Ruhiyat, lantas berbalik ke arah Maula. Menutupi rambut cepol gadis itu dengan sajadah. Bergegas namun hati-hati agar tidak tersentuh.

"Lain kali ditutup, ya." Yosep tidak berani menatap Maula langsung. Memandang pemakaman rupanya lebih mampu menekan jantungnya yang mulai tak tentu mendegup bertalu-talu. "Kembalikan sandalnya besok ke rumahku atau kapanpun kamu siap." Salah tingkah, Yosep beranjak dari hadapan Maula. Menyisakan tanda tanya besar di jidat gadis berkulit sawo matang tersebut.

Tiga sekawan itu berjalan menuju rumah masing-masing. Yosep tergelak melihat kepanikan Asep. "Mana ada jurig di bulan puasa, Cep."

"Aslina[15] !"

"Istigfar. Masa, lihat kembaran sendiri kaget?" Yosep masih terbahak.

Asep menoyor kepala Yosep, diikuti sumpah serapah yang tidak baik untuk kesehatan pendengaran.

"Udah ketemu sandalnya?" tanya Ruhiyat.

"Udah."

"Terus? Mana?"

Yosep mengangkat bahu sembari tersenyum lebar.

"Aku bakal bilang, sandal Mamak dipinjam sama calon menantunya," tandas Yosep mantap. Hatinya cerah serupa taman bunga gemitir sekarang.

[1] Mohon maaf sekali

[2] Kenapa

[3] Mari

[4] Ada apa

[5] Tiga Orang Bodoh

[6] Kamu

[7] Seperti apa sandalnya

[8] Cepat kalau kita yang mencari

[9] Masih hidup

[10] Biasanya juga

[11] Gila kamu

[12] Aku

[13] Jawaban ketika dipanggil (untuk perempuan)

[14] Hantu

[15] Aslinya (sungguhan)

***

MDJI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun