"Anjir..." Umpatan Yosep pupus bersama embusan angin. Ia meregangkan sajadah yang tadi tersampir di pundaknya untuk menutupi leher dan seperempat punggung atas.
Yosep berjalan pelan, mengamati betul sandal-sandal yang disinyalir mirip dengan sandal Mamak. Sementara ini, ia masih bisa bernapas lega karena Mamak belum menanyakan perihal sandalnya.
Yosep memicingkan mata. Tampak siluet seseorang sedang menjemur seprai. Seluruh tubuhnya terhalang kain alas tempat tidur tersebut, menyisakan betis ke bawah yang masih terlihat.
Malam-malam begini nyuci? batin Yosep bertanya. Iseng, ia menyenteri kedua kaki itu. Sekonyong-konyong mata sipitnya membulat. Itu, 'kan, sandal Mamak!
Yosep mempercepat langkahnya. "Punten, teh."
Maula menongolkan kepalanya dari balik seprai. "Kah[13]? Eh, Pes...?"
"Mol...?"
Pesmol. Mendadak keduanya canggung. Sama sekali tidak bermaksud menyebutkan salah satu makanan khas nusantara tersebut. Meski sepantaran dan besar di satu kampung, Yosep tidak terlalu mengenal Maula. Demikian pula sebaliknya.
Alih-alih menagih, Yosep justru menanyakan hal yang sebenarnya retoris. "Sandal baru?"
Giliran Maula yang membatin. Kok, dia tahu...? "Oh, ini..." Maula termenung sebentar. "Aku pinjam."
Derap langkah tergesa terdengar lepas dari kejauhan. "Pes! Pepes! Gua lihat jurig[14], Pes!" teriak Asep. Ruhiyat menyusul kemudian.
Yosep memandang Asep dan Ruhiyat, lantas berbalik ke arah Maula. Menutupi rambut cepol gadis itu dengan sajadah. Bergegas namun hati-hati agar tidak tersentuh.