"Rejeki dari masjid." Maula nyengir.
Sontak Juhaeni melotot, air mukanya berubah nanap. "Gelo sia[11] , Mol. Kualat, geura."
Maula agak tidak menyangka dengan reaksi Juhaeni. "Sandalku udah bulukan, Juhe."
"Ya, enggak ngambil hak orang juga, Maemunah! 'Kan, bisa pinjam dulu sandal aing [12]!"
"Cuma sandal ini," sergah Maula, suaranya kontan memelan.
"Buat sia 'cuma', buat yang punya?" Juhaeni telak menutup pembicaraan. Singkat namun berbekas di benak Maula. Sepanjang perjalanan, bahkan hingga Juhaeni mengantar Maula pulang, tidak satupun dari mereka yang ingin memulai percakapan kembali.
**
Dingin udara malam menyayat sampai ke tulang. Kor jangkring sahut menyahut menggenapkan cekaman gelap yang menyergap. Suasana kampung di tengah malam benar serupa desa terlantar. Sunyi, sepi, seumpama tak berpenghuni.
"Pepes, kalau gua tiba-tiba lari jangan protes, ya." Suara Asep bergetar, entah karena ketakutan atau kedinginan.
"Naon, sih? Dari tadi enggak ada apa-apa, padahal." Yosep mengarahkan senter bergantian dari satu teras rumah ke teras berikutnya.
Ruhiyat menepuk lengan, terasa ada yang menggigit. Ia pun membuka telapak tangannya. Bukan nyamuk. "Biasanya sandal sepatu udah dibawa masuk ke rumah jam segini mah."
"Kali aja ada." Yosep bersikeras.
Mereka bertiga berhenti di pertigaan. Lurus berpapasan pemakaman, belok ke utara melewati kebun pisang. Meski sudah menempati kampung sejak meluncur dari rahim, bukan berarti otomatis terbiasa dengan atmosfer mistis yang dilahirkan malam.
"Gua sama Yayat cari ke sana, ya. Lu lurus aja." Segera Asep menarik Ruhiyat belok menyusuri kebun pisang, meninggalkan Yosep secara sepihak.