"Coba cari lagi. Gelap mungkin, jadi kagak kelihatan," celetuk Asep.
"Yayat, Cecep," Agak kesal Yosep menekankan kedua nama akrab sohibnya, "Teras masjid enggak segelap itu kali, masih kelihatan sampai parkiran juga."
"Beli lagi, atuh. Gaji teller cukup buat beli sandal satu karung, 'kan?" gurau Asep sembari menenggak teh tawar.
"Masalahnya, Cep, itu sandal punya Mamak." Yosep menatap Asep lurus-lurus.D
enting piring beradu gelas di wastafel dapur mengisi sejenak senyap di ruang makan. Mereka paham tanpa diajari, membelikan barang baru untuk Mamak demi mengganti yang hilang tidak akan mengubah apa-apa selain menciptakan prahara baru. Sinkronisasi impuls otak mereka mengirimkan sinyal satu sama lain: Alamat runyam tujuh turunan!
"Durhaka lu, Pes, kalau sampai kagak ketemu itu sandal." Asep geleng-geleng kepala.
"Durhaka?" Yosep balik memandang Asep tidak percaya. "Gaji pertama kukasih semua buat Mamak. Sandal kubeli di luar gaji."
"Kok, lu jadi perhitungan?" Asep tertawa ringan. "Lagian tinggal cari nanti siang biar terang."
"Siang mah kerja. Mana bisa ketemu Mamak kalau sandalnya belum..." Yosep mengacak-acak rambut klimisnya.
Sebelum kulit putih Yosep semakin pucat seperti kapas, Ruhiyat menengahi. "Gini aja, kita izin ke Mang Oni untuk minta giliran ronda nanti malam. Cukuplah bertiga cari sandal. Jiga kumaha sendalna [7]?"
"Warnanya putih agak krem, ukuran 41."