"Kayaknya kamu perlu mengurangi kebiasaan suka mengobrol sendiri seperti di musala minggu lalu." Cepat-cepat ia memasuki kelas, menghindari Ilhan.
Ada apa ini? batin Ilhan berkecamuk.
Nyaris seluruh lokasi di sekolah sudah ia hampiri, bertanya pada siapa saja yang berpapasan dengannya tentang keberadaan Lingga. Orang-orang itu hanya membalas ala kadarnya, kadang-kadang melihat Ilhan dengan tatapan janggal. Ia mulai gelisah. Masa sih balik ke indekos? Batin Ilhan bertanya-tanya. Mungkin ada yang tertinggal? Lekas ia menuju parkiran, menyalakan mesin mobil. Menyusul ke indekos.
Sesampainya di muka pintu kamar, tak ia dapati sepatu legendaris Lingga. "Lingga?" panggil Ilhan sembari menyusuri seisi ruangan. Tidak satupun jejak Lingga membekas. "Ini aneh," desisnya cemas.
Ilhan pun bertanya pada satpam, waitress, front office, serta para pegawai lainnya. Mereka merespons tak jauh berbeda dengan orang-orang di sekolah tadi. Ilhan kembali ke kamar, berharap menemukan segelintir petunjuk mengenai Lingga. Ia berkeringat dingin. Benar-benar tidak ada.
Ilhan melihat foto dirinya dan Lingga di meja belajar, tercetak 14 Februari 2015Â dengan huruf tebal berwarna merah di sisi foto. Tampak Lingga tengah berbaring di ranjang rumah sakit ditemani Ilhan dan beberapa teman aktivis seangkatannya. Di bawah foto itu tertera: Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah. Selamat jalan, Lingga. Tuhan memberkatimu.
Tiba-tiba, Ilhan mengingat semuanya.
Tak sanggup meredam amarah, ia berteriak histeris. Membanting botol-botol rum yang bergelimpangan di atas tempat tidur, lantas pecah membentuk serpihan dan tumpah menggenangkan cairan berwarna amber. Likuid tersebut memudarkan kertas di lantai bertuliskan: Nama: Ilhan Niode. No. Kartu: 00013xxxxxxxx. Diagnosa: Schizophrenia (F20).
Ia menjarah ganas pada kotak transparan yang tersimpan di laci meja. Terdapat kumpulan kertas mungil bergambar bintang, hati, stroberi, dan gambar warna-warni lainnya. Menyobek satu lembar dengan kalut, lantas memasukkannya ke dalam mulut. Ilhan merasakan sekujur tubuhnya melemas, tak lagi mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang dusta. Penggal demi penggal album kebersamaan antara dirinya dengan Lingga sungguh-sungguh memenggal akal waras. Secara berangsur-angsur, kesadarannya pun melemah dan lumpuh.
***
MDJI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H