"Lagi bikin apa? Boleh lihat?" tanya Lingga retoris. Ia menutup novel di tangkupannya, beranjak mendekati Ilhan. Potret lukisan petani dan seorang anak kecil berlatar sawah tengah menikmati rayuan senja. Lingga tersenyum miring. "Apa judulnya?"
"Kalau tema dari panitia lombanya sih kehilangan, tapi judulnya belum saya pikirkan." Ilhan berpikir sejenak. "Mungkin... membumi?"
Sungging lebar menghias bibir Lingga. "Kenapa memilih judul itu?"
Entah mengapa, Ilhan merasa harus mencari jawaban yang sesuai dan serius. Terkadang Lingga senang mengintimidasi lawan bicara dalam banyak arti, hanya untuk kepuasan pribadi. "Saya kira ketika manusia semakin membumi, mereka tidak akan kehilangan sesuatu apapun. Sejahtera, meski tidak memiliki segalanya."
Lingga tergelak keras. "Karena untuk menjadi cukup, yang kamu butuhkan bukan segalanya. Tetapi melebur dengan apa yang ada." Ia bersedekap, mengamati campuran komposisi warna di hadapannya seperti mewujud suatu konvergen. "Sayangnya, masyarakat hedonis kita semakin tergila-gila pada industrialisasi."
"Apa yang salah dari industrialisasi?" sela Ilhan cepat, menoleh. "Industri diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, termasuk petani."
"Terus yang kamu maksud membumi itu apa? Malah jadi standar ganda dong." Lingga terkekeh geli. Sungguh menyenangkan baginya mengerjai orang yang serius seperti Ilhan. Malas menanggapi lebih jauh, Ilhan melanjutkan finishing dan touch up pada lukisannya.
Lingga menimpali, "Selalu ada dua sisi mata uang pada setiap kebijakan yang diputuskan. Tentu saja industri berperan mempercepat dan memudahkan supaya lebih efisien, itu bagus. Maka nanti bahan pangan akan murah, tetapi serba sintetis dan kurang sehat karena produksi pabrik."
Terdengar kicau burung murai batu menyelingi panorama daun pohon pucuk merah berguguran yang tampak dari jendela kamar indekos. "Semakin dekat seseorang dengan tanah, semakin rendah pula derajatnya. Setiap hari, kita kehilangan sekitar seribu petani akibat industrialisasi. Jadi sebenarnya..." Lingga menjeda, "...teknologi itu memudahkan atau memalaskan?"
Ilhan seolah tersadar akan sesuatu. Ia bergeming.
"Kehilangan petani, berarti kita kehilangan bumi. Kehilangan semua yang azali," gumam Ilhan kemudian.
Kedua sahabat itu memandang jauh dari sebentuk figur hijaunya sawah yang merengkuh Pak Tani dan sesosok bocah kecil. Satu lagi yang tak pernah Ilhan tahu, bahwa hari itu menjadi hari terakhir dirinya berbicara dengan Lingga.
**