Ilhan mematung. Angka-angka di hadapannya seolah mematikan kesadaran dan kewarasan. Ingin melarikan diri dari jeratan nasib, tetapi terpasung oleh tatapan tajam guru di sampingnya. Selain soal berupa angka-angka tersebut, hanya ada tulisan 6 Februari 2017 pada sudut kanan atas papan tulis.
"Mau sampai kapan berdiri di situ? Sampai kodok berubah jadi tuan putri?"
Ilhan semakin pucat pasi. Sudah tahun ketiga ia bersekolah di sini, tetapi soal-soal aljabar masih saja terlihat asing baginya.
"Hampir seperempat abad sudah saya mengajar di sini, belum pernah saya mengajar anak sebebal Anda. Selama ini ke mana saja? Tidur di kelas? Main game? Pacaran?" Kumisnya naik turun seiring kerutan di dahi menegaskan usia senjanya. Ilhan selalu terjaga di kelas, tidak pernah memainkan game selama pembelajaran berlangsung, apalagi pacaran. Dekat dengan lawan jenis pun belum pernah.
Guru tersebut mengambil penggaris kayu dengan lugas, bersiap mengayunkannya ke kaki Ilhan. Pemuda berkulit pale ivory itu menyipit ngeri, sementara teman-teman sekelasnya pun tak ada yang bisa menolong barang sekali. Ampun!
"Pak Inung?" Ketukan pintu kelas rupanya menyelematkan Ilhan. Sesosok pemuda membawa map biru seperti tergesa, keringat mengalir tipis dari kedua pelipis. "Mohon maaf, boleh saya minta tanda---"
"Nah, mumpung Anda di sini," terdengar geram amarah dari balik kumisnya yang tebal beruban. "Lingga, tunjukkan pada bocah ndableg ini bagaimana cara mengerjakannya." Pak Inung membanting penggaris kayu ke papan tulis yang kemudian jatuh terkulai di lantai.
Lingga mengangkat alis sembari memandang Ilhan yang hanya menunduk. Seisi kelas balas menatap Lingga: gila, nekat banget dia datang di saat begini!
Lingga berjalan mengambil spidol dengan masih menenteng map, berdiri di samping Ilhan. Membaca sekilas, lantas mulai mengerjakan soal. Sama sekali bukan tentang lintasan angka-angka di papan tulis yang membingungkannya, namun laporan yang ia bawa tampaknya tidak akan disentuh oleh Pak Inung.