"Pertama, penting diingat bentuk pemfaktorannya. Langkah kedua, kalau kuadratnya begini...," Lingga menggaris hasil tak sampai setengah menit. "...maka pemfaktorannya begitu."
Terik matahari menembus kaca jendela kelas, panasnya semakin membakar emosi Pak Inung yang tengah bersungut-sungut. "Ujian Nasional sebentar lagi, Anda bahkan belum menguasai dasar-dasarnya. Istirahat nanti jangan ke mana-mana. Anda," Pak Inung menunjuk Lingga. "Ajari dia," berganti menunjuk Ilhan. Pak Inung lekas berbenah, kelas selesai tiga puluh menit lebih awal. Anak-anak kembali ramai seolah tak terjadi apapun, sementara Lingga memperhatikan Ilhan yang matanya memerah kembali ke tempat duduk. Benar saja, dokumen di genggamannya pun tak disinggung sedikitpun oleh Pak Inung.
**
Musala sepi segera setelah para siswa menunaikan ibadah di siang hari, tersisa satu dua yang masih bertahan. Bukan karena khidmat beribadah, tetapi mereka inilah yang kerap dikenal sebagai 'Para Penunggu Wifi'. Lingga dan Ilhan pun ada di sana untuk memenuhi perintah (sepihak) Pak Inung.
"Paham?" tanya Lingga. Butir-butir air wudu menggantung di setiap ujung helai rambutnya yang agak berantakan, sedangkan Ilhan beberapa kali memperbaiki posisi kalung salibnya. Rikuh diperhatikan para siswa yang hilir mudik melewatinya.
"Kira-kira. Tapi ini jauh lebih mudah dari yang diajarkan Pak Inung," jawab Ilhan seadanya. Ia sangat mengantuk, ingin cepat menyelesaikan urusannya dengan pemuda di hadapannya yang begitu antusias mengajarkan matematika.
Selepas menunaikan ibadah, para siswa beringas saling berebut antrian kantin sekolah. Di muka kantin terpajang spanduk kumal bertuliskan 'Waroeng Boedjang' yang pada sisi kiri bawahnya tergantung botol air. Jejak-jejak sepatu membecek kecoklatan ternyata tidak menyurutkan dahaga dan lapar yang mendesak. Ilhan memandang kerumunan itu tak selera. Terlihat ibu-ibu penjaga kantin sibuk melayani sembari momong anak. Ilhan amat mengantuk sampai termenung memikirkan hal yang sama sekali tidak penting: lalu mengapa disebut warung 'bujang'?
"Barangkali supaya yang datang ke kantin itu semangatnya seperti masih bujang," gumamnya tanpa sadar.
Lingga menatap Ilhan bingung. "Apa ada yang masih belum kamu pahami?"
Ilhan tersentak. "Oh, enggak. Sejauh ini belum," ujarnya tergagap.
 "Seperti kata Pak Inung, ini memang mendasar. Enggak usah buru-buru, enggak mesti ngerti sekarang. Nikmati aja prosesnya." Lingga meregang santai.
Nikmati? Kugosok palamu nikmat kali. Ingin rasanya Ilhan mengumpat, tapi yang meluncur dari bibirnya justru, "Makasih, Lingga."
Seketika Lingga menegakkan badan. "Kamu serius mau berterima kasih?" terdengar nada harap di balik pertanyaannya.