Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siaga Bencana di Negeri Cincin Api

13 September 2016   13:40 Diperbarui: 14 September 2016   09:44 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua

Tercatat antara tahun 1629-2014, Indonesia mengalami 173 peristiwa tsunami besar dan kecil. Masih segar dalam ingatan, Aceh dilanda Tsunami pada tahun 2004, sesaat setelah terjadi gempa berskala 9,3 richter. Akibatnya, ratusan ribu warga meninggal dan sarana fisik hancur. Kapal besar di tengah laut pun terlempar jauh hingga masuk daratan. Seluruh stasiun televisi nasional menyiarkan berita tsunami secara live dalam waktu yang lama. Kala itu, kejadian Tsunami Aceh banyak menarik perhatian dunia.

Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua
Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua
Namun ada peristiwa yang unik. Pada tahun 2006, di perkotaan Trenggalek yang dikelilingi oleh pegunungan dan agak sulit mendapatkan air, pernah mengalami bencana banjir bandang. Rumah bibi kami dekat pusat kantor pemerintahan kabupaten Trenggalek, sempat terkena dampak air bah yang mengalir deras dari gunung-gunung yang mengepung kawasan itu. Hal itu diduga akibat dari penebangan pohon di gunung-gunung secara liar, sehingga ketika tiba hujan deras, airnya sulit dikendalikan.

Kasus lain terjadi tak begitu jauh dari rumah kami di Malang, yaitu erupsi gunung Kelud di Kabupaten Kediri pada tahun 2014 lalu. Efeknya tidak saja terasa oleh warga di sekitar Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selimut abu Gunung Kelud hingga 700 kilometer. Akibat kejadian ini, sepanjang pertokoan di wilayah Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta, hampir semua tutup. Demikian juga pedagang kaki lima mulai dari kampung hingga jalan protokol, seperti di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, semuanya tak berdagang.

Beberapa hari pasca terjadinya letusan Kelud, saya sempat melakukan perjalanan ke Kediri. Saya sempat menyaksikan gundukan-gundukan pasir yang dikumpulkan warga di setiap halaman rumahnya, seolah sedang memanen material bangunan. Pasir lembut itu jika dipegang terasa agak lengket. Alih-alih memanen pasir, di daerah dekat letusan seperti Ponorogo, banyak areal tanaman milik penduduk yang gagal panen akibat bencana itu.

Bencana lainnya adalah akibat semburan abu vulkanik Gunung Bromo. Pemandangan indah kawasan Gunung Bromo memang menjadi daya tarik wisatawan internasional. Puncak B29 dan B30 di kawasan Bromo, kini menjadi destinasi wisata yang banyak diburu oleh wisatawan asing. Namun di sisi lain, jadwal keberangkatan pesawat udara dari dan ke Bandara Abdurrahman Shaleh Malang, acapkali mengalami delay akibat erupsi Gunung Bromo. Karena lokasinya berbatasan dengan empat kabupaten terdekat, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, sehingga bandara terdekat dari lokasi, rawan terkena dampaknya.

Adakah yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut?

Tidak ada yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut, termasuk dengan Gunung Sibanung yang baru-baru ini meletus. Namun manusia perlu melakukan instropeksi diri akan perilakunya terhadap alam. Tuhan Yang Maha Kuasa, menganugerahkan kekayaan alam yang melimpah untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan seluruh makhluk di muka bumi. Tergantung pada bagaimana manusia menyikapinya.

Sikap dan cara berpikir demikian mengingatkan kita akan bencana Gunung Tambora di Sumbawa, yang meletus pada April 1815. Setahun kemudian, dampaknya meluas hingga ke Eropa dan Kanada. Letusan sangat dahsyat itu berdampak terhadap iklim global dan menyebabkan 'Tahun Tanpa Musim Panas'. Ternak-ternak kuda banyak yang mati karena kelaparan dan gagal panen akibat perubahan iklim global itu. Menghadapi kenyataan ini, justru memicu Baron Karl Von Drais mengembangkan angkutan darat tanpa kuda, lahirlah velocipede, cikal bakal sepeda. Bahkan pada tahun 1816, Drais mematenkan temuannya, dan mulai menjual produk tersebut di Jerman dan Perancis.

Draisine atau Velocipede Buatan Baron Karl Von Drais/Sumber Gambar: http://www.mongabay.co.id/2015/04/10/tujuh-fakta-letusan-tambora-dan-dampaknya-bagi-dunia/
Draisine atau Velocipede Buatan Baron Karl Von Drais/Sumber Gambar: http://www.mongabay.co.id/2015/04/10/tujuh-fakta-letusan-tambora-dan-dampaknya-bagi-dunia/
Sementara Kerajaan Medang, lebih memilih pindah lokasi (hijrah) ke tempat lain karena masalah bencana. Kerajaan Medang disebut pula dengan Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu, menurut sejarawan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada sekitar abad 12-16 M. Hal ini dilakukan, diduga karena untuk menghindari bencana Gunung Merapi dan memanfaatkan potensi perdagangan antar negara. Karena alasan ini, diduga “perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur tersebut akhirnya mengalami puncak kejayaannya pada masa Majapahit.

BNPB mengidentifikasi, bahwa masalah utama penanggulangan bencana adalah kesiapan masyarakat. Berdasarkan hasil sejumlah kajian, kesiapsiagaan masyarakat dan Pemda masih rendah. Pengetahuan bencana meningkat tetapi kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya masih minim.

Peran BNPB dalam Menanggulangi Bencana
Setelah bermetamorfosis beberapa kali sejak menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) selama kurun waktu 1945-1966 hingga menjadi BNPB seperti saat ini (2008-sekarang), BNPB bekerja keras melaksanakan visinya untuk mewujudkan 'Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana'. BNPB melakukan berbagai aksi pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara sesuai dengan tugas dan fungsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun