Tercatat antara tahun 1629-2014, Indonesia mengalami 173 peristiwa tsunami besar dan kecil. Masih segar dalam ingatan, Aceh dilanda Tsunami pada tahun 2004, sesaat setelah terjadi gempa berskala 9,3 richter. Akibatnya, ratusan ribu warga meninggal dan sarana fisik hancur. Kapal besar di tengah laut pun terlempar jauh hingga masuk daratan. Seluruh stasiun televisi nasional menyiarkan berita tsunami secara live dalam waktu yang lama. Kala itu, kejadian Tsunami Aceh banyak menarik perhatian dunia.
Kasus lain terjadi tak begitu jauh dari rumah kami di Malang, yaitu erupsi gunung Kelud di Kabupaten Kediri pada tahun 2014 lalu. Efeknya tidak saja terasa oleh warga di sekitar Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selimut abu Gunung Kelud hingga 700 kilometer. Akibat kejadian ini, sepanjang pertokoan di wilayah Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta, hampir semua tutup. Demikian juga pedagang kaki lima mulai dari kampung hingga jalan protokol, seperti di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, semuanya tak berdagang.
Beberapa hari pasca terjadinya letusan Kelud, saya sempat melakukan perjalanan ke Kediri. Saya sempat menyaksikan gundukan-gundukan pasir yang dikumpulkan warga di setiap halaman rumahnya, seolah sedang memanen material bangunan. Pasir lembut itu jika dipegang terasa agak lengket. Alih-alih memanen pasir, di daerah dekat letusan seperti Ponorogo, banyak areal tanaman milik penduduk yang gagal panen akibat bencana itu.
Bencana lainnya adalah akibat semburan abu vulkanik Gunung Bromo. Pemandangan indah kawasan Gunung Bromo memang menjadi daya tarik wisatawan internasional. Puncak B29 dan B30 di kawasan Bromo, kini menjadi destinasi wisata yang banyak diburu oleh wisatawan asing. Namun di sisi lain, jadwal keberangkatan pesawat udara dari dan ke Bandara Abdurrahman Shaleh Malang, acapkali mengalami delay akibat erupsi Gunung Bromo. Karena lokasinya berbatasan dengan empat kabupaten terdekat, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, sehingga bandara terdekat dari lokasi, rawan terkena dampaknya.
Adakah yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut?
Tidak ada yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut, termasuk dengan Gunung Sibanung yang baru-baru ini meletus. Namun manusia perlu melakukan instropeksi diri akan perilakunya terhadap alam. Tuhan Yang Maha Kuasa, menganugerahkan kekayaan alam yang melimpah untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan seluruh makhluk di muka bumi. Tergantung pada bagaimana manusia menyikapinya.
Sikap dan cara berpikir demikian mengingatkan kita akan bencana Gunung Tambora di Sumbawa, yang meletus pada April 1815. Setahun kemudian, dampaknya meluas hingga ke Eropa dan Kanada. Letusan sangat dahsyat itu berdampak terhadap iklim global dan menyebabkan 'Tahun Tanpa Musim Panas'. Ternak-ternak kuda banyak yang mati karena kelaparan dan gagal panen akibat perubahan iklim global itu. Menghadapi kenyataan ini, justru memicu Baron Karl Von Drais mengembangkan angkutan darat tanpa kuda, lahirlah velocipede, cikal bakal sepeda. Bahkan pada tahun 1816, Drais mematenkan temuannya, dan mulai menjual produk tersebut di Jerman dan Perancis.
BNPB mengidentifikasi, bahwa masalah utama penanggulangan bencana adalah kesiapan masyarakat. Berdasarkan hasil sejumlah kajian, kesiapsiagaan masyarakat dan Pemda masih rendah. Pengetahuan bencana meningkat tetapi kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya masih minim.
Peran BNPB dalam Menanggulangi Bencana
Setelah bermetamorfosis beberapa kali sejak menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) selama kurun waktu 1945-1966 hingga menjadi BNPB seperti saat ini (2008-sekarang), BNPB bekerja keras melaksanakan visinya untuk mewujudkan 'Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana'. BNPB melakukan berbagai aksi pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara sesuai dengan tugas dan fungsinya.