Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siaga Bencana di Negeri Cincin Api

13 September 2016   13:40 Diperbarui: 14 September 2016   09:44 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letusan Gunung Api/Sumber foto: https://catracalivre.com.br/geral/arte-e-design/indicacao/deslumbrantes-imagens-de-vulcoes-em-erupcao-no-hawaii/

Haru. Terdengar suara isak tangis seorang perempuan cantik. Diiringi tangis tersedu-sedu, putri tunggal Ki Lurah Jatisari itu berucap, “Sebenarnya saya ragu. Berat sekali jalan yang harus kita tempuh”. Namun tangis sedu sedan itu tak meluluhkan hati Raden Mas Djatmiko yang anak keluarga ningrat itu untuk berkata tegas, “Tidak! Tidak mungkin aku menuruti kemauan orang tuaku. Aku tidak pernah mencintai Puspaningrum. Apapun yang terjadi, aku akan menikahimu.”

Cuplikan dialog di atas merupakan bagian dari teaser sandiwara radio bertajuk Asmara di Tengah Bencana (ADB), persembahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia. Pertunjukan drama kolosal ADB bergenre roman sejarah itu mengandalkan kekuatan dialog, musik, dan suara untuk membantu pendengar membayangkan kekuatan tokoh dan alur ceritanya melalui sandiwara radio. Tujuannya adalah untuk menghibur, sekaligus sosialisasi siaga bencana yang disiarkan di 20 stasiun radio.

Mengapa lewat sandiwara radio? Karena sandiwara radio pernah melegenda di telinga para penggemarnya yang pada umumnya masyarakat pedesaan, sebagian di antara mereka tinggal di dekat wilayah rawan bencana. Mereka juga pernah menjadikan sandiwara radio sebagai hiburan rakyat yang melegenda, seperti sandiwara radio Saur Sepuh atau Tutur Tinular yang popular pada tahun 1980-an sampai 1990-an. Sandiwara radio, dapat digunakan sebagai media siaga bencana.

Di tengah hiruk pikuk politik yang 'membosankan', secara psikologis masyarakat membutuhkan hiburan menarik dan mendidik. Karena itu, BNPB menghadirkan kembali memori masa lalu lewat sandiwara radio yang lebih modern bertajuk Asmara di Tengah Bencana. Sembari menikmati sandiwara radio berlatar belakang letusan Gunung Merapi, kesadaran siaga bencana ditanamkam. Dengan mengangkat kisah cinta berlatar letusan Gunung Merapi, diharapkan tumbuh kesadaran terhadap bencana di negeri kita sendiri yang dikenal sebagai 'Negeri Cincin Api'.

Sinospis Kisah Asmara di Tengah Bencana
Sandiwara radio ADB, mengangkat kisah cinta anak manusia beda kelas sosial pada zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyoto Kusumo. Konteksnya adalah peristiwa bencana letusan Gunung Merapi. Berikut ini adalah cuplikan 'Sinopsis  Kisah Asmara di Tengah Bencana'.

“Tumenggung Jaya Lengkara pulang dari Kadipaten Pajang. Begitu memasuki wilayah Prambanan, rombongan Ki Tumenggung dirampok. Namun Bekel Manyura berhasil membasminya, sementara dia dan putranya, Raditya, langsung menuju Mataram. Hanya satu orang yang dibiarkan hidup, Umyang. Pemuda desa yang lugu ini bukan saja mendapat ampunan dari Ki Tumenggung, bahkan dia boleh tinggal di ndalem kerajaan.

“Sejak kecil Raditya sudah dipertunangkan dengan Puspaningrum, namun tidak harmonis. Puspaningrum dianggapnya terlalu liar”. Suatu hari saat berburu ditemani Umyang, Raditya bertemu dengan Sekar Kinanti di tepi sungai. Sekar Kinanti tampak malu-malu. Saat itu Raditya heran melihat Umyang tiba-tiba menjerit. Air sungai terasa panas, pepohonan kering. Suasana senyap. Di lain waktu, ia semakin heran melihat berbagai macam hewan turun gunung. Desa Jatisari kosong. Suasana terasa aneh dan menakutkan, pertanda bencana akan tiba”.

Kisah di atas merupakan penggal roman sejarah ADB. Misinya adalah untuk menghibur sekaligus menanamkan kesadaran siaga bencana. ADB menyajikan kisah heroik berbalut cinta anak manusia beda kelas sosial pada masa Kerajaan Mataram. Untuk menghidupkan suasana, drama kolosal itu diceburkan dalam konteks bencana Gunung Merapi. Penasaran?

Sandiwara radio ADB itu, disiarkan di 18 radio lokal dan 2 radio komunitas di Pulau Jawa. Roman sejarah 'Asmara di Tengah Bencana' disiarkan secara berseri sejak 18 Agustus 2016, demikian seperti liris BNPB.

Sadar Bencana di Negeri Cincin Api
Kita patut bersyukur, Indonesia memiliki 17.508 pulau dan keindahan alam yang luar biasa. Namun perlu disadari, Indonesia adalah negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia, sebagian diantaranya adalah gunung api aktif. Menurut catatan, terdapat 127 gunung api aktif di Indonesia, atau 13% dari gunung api di dunia. Karenanya, Indonesia dikenal sebagai negeri 'cincin api' (ring of fire).

Terdapat 75 kabupaten/kota di Indonesia berada di daerah rawan erupsi gunung merapi. Penduduk yang terancam akibat paparan bahaya bencana level sedang-tinggi diprediksi mencapai 3,85 juta jiwa. Apalagi, letak Indonesia berada di antara pertemuan tiga lempeng dunia (Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik), maka negeri ini berpotensi sering mengalami gempa, bahkan beberapa diantaranya menimbulkan tsunami.

Tercatat antara tahun 1629-2014, Indonesia mengalami 173 peristiwa tsunami besar dan kecil. Masih segar dalam ingatan, Aceh dilanda Tsunami pada tahun 2004, sesaat setelah terjadi gempa berskala 9,3 richter. Akibatnya, ratusan ribu warga meninggal dan sarana fisik hancur. Kapal besar di tengah laut pun terlempar jauh hingga masuk daratan. Seluruh stasiun televisi nasional menyiarkan berita tsunami secara live dalam waktu yang lama. Kala itu, kejadian Tsunami Aceh banyak menarik perhatian dunia.

Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua
Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua
Namun ada peristiwa yang unik. Pada tahun 2006, di perkotaan Trenggalek yang dikelilingi oleh pegunungan dan agak sulit mendapatkan air, pernah mengalami bencana banjir bandang. Rumah bibi kami dekat pusat kantor pemerintahan kabupaten Trenggalek, sempat terkena dampak air bah yang mengalir deras dari gunung-gunung yang mengepung kawasan itu. Hal itu diduga akibat dari penebangan pohon di gunung-gunung secara liar, sehingga ketika tiba hujan deras, airnya sulit dikendalikan.

Kasus lain terjadi tak begitu jauh dari rumah kami di Malang, yaitu erupsi gunung Kelud di Kabupaten Kediri pada tahun 2014 lalu. Efeknya tidak saja terasa oleh warga di sekitar Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selimut abu Gunung Kelud hingga 700 kilometer. Akibat kejadian ini, sepanjang pertokoan di wilayah Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta, hampir semua tutup. Demikian juga pedagang kaki lima mulai dari kampung hingga jalan protokol, seperti di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, semuanya tak berdagang.

Beberapa hari pasca terjadinya letusan Kelud, saya sempat melakukan perjalanan ke Kediri. Saya sempat menyaksikan gundukan-gundukan pasir yang dikumpulkan warga di setiap halaman rumahnya, seolah sedang memanen material bangunan. Pasir lembut itu jika dipegang terasa agak lengket. Alih-alih memanen pasir, di daerah dekat letusan seperti Ponorogo, banyak areal tanaman milik penduduk yang gagal panen akibat bencana itu.

Bencana lainnya adalah akibat semburan abu vulkanik Gunung Bromo. Pemandangan indah kawasan Gunung Bromo memang menjadi daya tarik wisatawan internasional. Puncak B29 dan B30 di kawasan Bromo, kini menjadi destinasi wisata yang banyak diburu oleh wisatawan asing. Namun di sisi lain, jadwal keberangkatan pesawat udara dari dan ke Bandara Abdurrahman Shaleh Malang, acapkali mengalami delay akibat erupsi Gunung Bromo. Karena lokasinya berbatasan dengan empat kabupaten terdekat, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, sehingga bandara terdekat dari lokasi, rawan terkena dampaknya.

Adakah yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut?

Tidak ada yang salah dengan keberadaan gunung-gunung tersebut, termasuk dengan Gunung Sibanung yang baru-baru ini meletus. Namun manusia perlu melakukan instropeksi diri akan perilakunya terhadap alam. Tuhan Yang Maha Kuasa, menganugerahkan kekayaan alam yang melimpah untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan seluruh makhluk di muka bumi. Tergantung pada bagaimana manusia menyikapinya.

Sikap dan cara berpikir demikian mengingatkan kita akan bencana Gunung Tambora di Sumbawa, yang meletus pada April 1815. Setahun kemudian, dampaknya meluas hingga ke Eropa dan Kanada. Letusan sangat dahsyat itu berdampak terhadap iklim global dan menyebabkan 'Tahun Tanpa Musim Panas'. Ternak-ternak kuda banyak yang mati karena kelaparan dan gagal panen akibat perubahan iklim global itu. Menghadapi kenyataan ini, justru memicu Baron Karl Von Drais mengembangkan angkutan darat tanpa kuda, lahirlah velocipede, cikal bakal sepeda. Bahkan pada tahun 1816, Drais mematenkan temuannya, dan mulai menjual produk tersebut di Jerman dan Perancis.

Draisine atau Velocipede Buatan Baron Karl Von Drais/Sumber Gambar: http://www.mongabay.co.id/2015/04/10/tujuh-fakta-letusan-tambora-dan-dampaknya-bagi-dunia/
Draisine atau Velocipede Buatan Baron Karl Von Drais/Sumber Gambar: http://www.mongabay.co.id/2015/04/10/tujuh-fakta-letusan-tambora-dan-dampaknya-bagi-dunia/
Sementara Kerajaan Medang, lebih memilih pindah lokasi (hijrah) ke tempat lain karena masalah bencana. Kerajaan Medang disebut pula dengan Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu, menurut sejarawan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada sekitar abad 12-16 M. Hal ini dilakukan, diduga karena untuk menghindari bencana Gunung Merapi dan memanfaatkan potensi perdagangan antar negara. Karena alasan ini, diduga “perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur tersebut akhirnya mengalami puncak kejayaannya pada masa Majapahit.

BNPB mengidentifikasi, bahwa masalah utama penanggulangan bencana adalah kesiapan masyarakat. Berdasarkan hasil sejumlah kajian, kesiapsiagaan masyarakat dan Pemda masih rendah. Pengetahuan bencana meningkat tetapi kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya masih minim.

Peran BNPB dalam Menanggulangi Bencana
Setelah bermetamorfosis beberapa kali sejak menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) selama kurun waktu 1945-1966 hingga menjadi BNPB seperti saat ini (2008-sekarang), BNPB bekerja keras melaksanakan visinya untuk mewujudkan 'Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana'. BNPB melakukan berbagai aksi pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Namun di lapangan, BNPB masih menghadapi tantangan seperti kehilangan alat pencatat seismograf akibat pencurian, atau kerusakan peralatan teknik seperti buoy tsunami di Enggano, Selatan Jawa, dan Bali. Uniknya, ada peralatan penting dikira barang tak bertuan, Buoy Tsunami yang dipasang di laut Banda Aceh pada April 2009, ditarik oleh nelayan hingga Sulawesi Utara pada Oktober 2009, kemudian dibuat mainan anak-anak.

Untuk meningkatkan kesigapan Pemda dan masyarakat akan bencana, maka edukasi melalui media yang relevan sangatlah tepat. Media tidak saja sekedar berperan sebagai penyampai berita, lebih dari itu media dapat dimanfaatkan sebagai mitra untuk mempengaruhi keputusan politik, menyelamatkan kehidupan, mengubah sikap dan perilaku sehari-hari masyarakat untuk sadar akan masalah bencana.

Radio Sebagai Media Edukasi Bencana
Tujuan BNPB menghadirkan kisah sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana adalah untuk mengenalkan kesiapsiagaan bencana sedini mungkin, hingga menjadi budaya warga. Begitu dahsyatnya akibat bencana yang melanda masyarakat, mendorong BNPB memanfaatkan beragam media, salah satunya adalah melalui radio. Sandiwara radio pernah memimpin dunia hiburan internasional pada era 1940-an, sebelum akhirnya kehilangan pamornya pada era 1950-an karena kehadiran media televisi. Namun faktanya, hingga kini radio tak pernah mati.

Pada medio 1980-1990-an, sandiwara radio begitu melegenda di masyarakat kita. Saya masih ingat pada masa kecil, saat sore hari atau malam hari mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh atau Tutur Tinular yang begitu melegenda. Brama Kumbara, Mantili dan Lasmini dari kerajaan Madangkara adalah nama-nama tokoh pemerannya yang begitu akrab ditelinga para penggemarnya. Sandiwara radio Tutur Tinular yang menyusul kemudian, juga sukses mendapatkan tempat di hati para penggemarnya.

Terutama masyarakat pedesaan kala itu, sangat menyukainya. Warga kadangkala menikmati sandiwara sambil bergerombol di dekat radio. Apalagi mendengarkannya sambil ngabuburit, seolah waktu maghrib cepat tiba sebelum waktunya. Beberapa nama tokoh pemeran Tutur Tinular seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Mei Shin dan Tong Bajil dalam dalam seri Tutur Tinular masih melekat di memori.

Khusus untuk nama Mei Shin mudah saya ingat. Ia ditokohkan dalam Tutur Tinular berasal dari negeri China. Mei Shin memperoleh amanat dari suhunya untuk mencari ahli pandai besi di tanah Jawa. Tutur Tinular mampu merebut simpati para penggemarnya. Saya menikmati jalan ceritanya, misalnya ketika mendengarkan Mei Shin saat berperang melawan pasukan Tong Bajil yang jahat.

Kini telah hadir teknologi media televisi digital, internet dan media sosial seperti YouTube, Facebook, WhatsApp, dan lain lain. Apakah kehadiran radio masih relevan dengan perkembangan teknologi media saat ini?

Hemat saya, sasaran pendengar radio umumnya berada di perdesaan dan masih akan tetap menyukainya, jika dihadirkan sandiwara radio yang menarik dengan dukungan teknologi efek suara dan musik yang lebih canggih. Bahkan masyarakat perkotaan, terutama yang asalnya dari perdesaan berpotensi masih menyukainya. Apalagi, kehadirannya tepat momen, saat di mana masyarakat sudah jenuh dengan berita-berita politik yang membosankan.

Kehadiran ADB 2016, seolah bagai obat rindu akan kehadiran drama-drama kolosal sejarah yang menarik, di tengah dinamika perpolitikan dewasa ini yang sarat intrik. Satu hal yang paling penting, adalah menyisipkan sosialisasi siaga bencana dan edukasi mitigasi kepada publik lewat media yang menghibur. Perpaduan antara kisah heroik, keagungan cinta yang tak pernah berdusta dan peristiwa letusan Gunung Merapi, merupakan racikan kisah yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Apa sisi Menarik Kisah Asmara di Tengah Bencana?
Menurut penulis naskahnya sendiri, S. Tidjab, sisi menariknya seperti ia tuturkan berikut ini.

Menariknya karena ini percintaan beda kelas. Peristiwanya terjadi pada zaman Sultan Agung. Raden Mas Djatmiko dari kalangan ningrat, sementara si Setianingsih itu anak Lurah, dari kalangan biasa. Mereka mendapat tantangan dari kedua belah pihak, tapi mereka tetap kukuh, yang memisahkan hanya bencana itu” (video).
Menurut rencana, jadwal siarannya di 20 stasiun radio, yakni: Radio Kelud, Radio Merapi, Radio Pariwisata Senaputra (Malang), Radio Thomson Gamma (Majalengka), Radio SPS (Salatiga), Radio Soka Adiswara (Jember), Radio CJDW FM (Boyolali), Radio Fortuna (Suka Bumi), Radio Gabriel FM (Madiun), Radio Hot FM (Serang), Radio Merapi (Magelang), Radio Persatuan (Bantul), Radio Aditya (Subang), Radio Gema Surya (Ponorogo), Radio EMC Thomson (Yogyakarta), Radio GeNJ (Rangkas Bitung), Radio H (Karanganyar), Radio Elpas FM (Bogor), Radio Thomson (Bandung), dan Radio Studio 99 (Purbalinga). Selengkapnya, lihat jadwal di bagian akhir Sinopsis Asmara di Tengah Asmara.

Catatan Akhir: Perubahan Mindset
Indonesia dikenal sebagai negeri dengan banyak gunung api, sehingga disebut negeri cincin api. Secara geologis, Indonesia berpotensi sering terjadi gempa, dengan atau tanpa tsunami. Manusia hanya berusaha untuk menghindari, mengelola dampaknya atau menciptakan sesuatu yang baru sebagai pemecah masalah seperti yang dilakukan oleh Drais dengan menciptakan Volocipede. Dapat pula melakukan migrasi seperti yang dilalukan oleh Kerajaan Mataram Kuno hingga berkembang menjadi maju. Setidaknya, setiap warga selalu siaga terhadap kemungkinan datangnya bencana.

Gempa bukanlah penyebab utama derita manusia, tetapi perilaku manusia sendirilah yang menyebabkan hal itu terjadi. Kesadaran semacam ini mendorong pentingnya pemerintah dan masyarakat bekerjasama untuk memperhatikan aspek pembangunan tata ruang dan perilaku hidup yang harmoni dengan alam (akhlak bil alam).

Mengingat betapa pentingnya kesadaran siaga bencana sedini mungkin, teriring harap semoga sosialisasi dan edukasi BNPB Indonesia lewat sandiwara radio ADB mendapat tempat di hati masyarakat. Bagi penggemar sandiwara radio Saur Sepuh atau Tutur Tinular, kehadiran Asmara di Tengah Bencana seolah menjadi obat rindu.

Setting kisahnya yang berlatar letusan Gunung Merapi pada zaman Mataram, mengingatkan kita akan Indonesia sebagai negeri “cincin api”. Sadar Bencana di Negeri Cincin Api semakin menarik, karena dikemas dalam bentuk sandiwara radio berbalutkan kisah percintaan anak manusia beda kelas.

Selamat menikmati hiburannya, sekaligus mengambil nilai-nilai edukatifnya. Sebelum mendengarkan siarannya di radio, ada baiknya tonton dulu Teaser Asmara di Tengah Bencana (video).

Sumber Bacaan/Link:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun