Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siaga Bencana di Negeri Cincin Api

13 September 2016   13:40 Diperbarui: 14 September 2016   09:44 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak Tsunami Aceh/Sumber Foto: http://print.kompas.com/baca/politik/2015/06/26/Tsunami-Aceh%2c-Bencana-yang-Menyatukan-Semua

Namun di lapangan, BNPB masih menghadapi tantangan seperti kehilangan alat pencatat seismograf akibat pencurian, atau kerusakan peralatan teknik seperti buoy tsunami di Enggano, Selatan Jawa, dan Bali. Uniknya, ada peralatan penting dikira barang tak bertuan, Buoy Tsunami yang dipasang di laut Banda Aceh pada April 2009, ditarik oleh nelayan hingga Sulawesi Utara pada Oktober 2009, kemudian dibuat mainan anak-anak.

Untuk meningkatkan kesigapan Pemda dan masyarakat akan bencana, maka edukasi melalui media yang relevan sangatlah tepat. Media tidak saja sekedar berperan sebagai penyampai berita, lebih dari itu media dapat dimanfaatkan sebagai mitra untuk mempengaruhi keputusan politik, menyelamatkan kehidupan, mengubah sikap dan perilaku sehari-hari masyarakat untuk sadar akan masalah bencana.

Radio Sebagai Media Edukasi Bencana
Tujuan BNPB menghadirkan kisah sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana adalah untuk mengenalkan kesiapsiagaan bencana sedini mungkin, hingga menjadi budaya warga. Begitu dahsyatnya akibat bencana yang melanda masyarakat, mendorong BNPB memanfaatkan beragam media, salah satunya adalah melalui radio. Sandiwara radio pernah memimpin dunia hiburan internasional pada era 1940-an, sebelum akhirnya kehilangan pamornya pada era 1950-an karena kehadiran media televisi. Namun faktanya, hingga kini radio tak pernah mati.

Pada medio 1980-1990-an, sandiwara radio begitu melegenda di masyarakat kita. Saya masih ingat pada masa kecil, saat sore hari atau malam hari mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh atau Tutur Tinular yang begitu melegenda. Brama Kumbara, Mantili dan Lasmini dari kerajaan Madangkara adalah nama-nama tokoh pemerannya yang begitu akrab ditelinga para penggemarnya. Sandiwara radio Tutur Tinular yang menyusul kemudian, juga sukses mendapatkan tempat di hati para penggemarnya.

Terutama masyarakat pedesaan kala itu, sangat menyukainya. Warga kadangkala menikmati sandiwara sambil bergerombol di dekat radio. Apalagi mendengarkannya sambil ngabuburit, seolah waktu maghrib cepat tiba sebelum waktunya. Beberapa nama tokoh pemeran Tutur Tinular seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Mei Shin dan Tong Bajil dalam dalam seri Tutur Tinular masih melekat di memori.

Khusus untuk nama Mei Shin mudah saya ingat. Ia ditokohkan dalam Tutur Tinular berasal dari negeri China. Mei Shin memperoleh amanat dari suhunya untuk mencari ahli pandai besi di tanah Jawa. Tutur Tinular mampu merebut simpati para penggemarnya. Saya menikmati jalan ceritanya, misalnya ketika mendengarkan Mei Shin saat berperang melawan pasukan Tong Bajil yang jahat.

Kini telah hadir teknologi media televisi digital, internet dan media sosial seperti YouTube, Facebook, WhatsApp, dan lain lain. Apakah kehadiran radio masih relevan dengan perkembangan teknologi media saat ini?

Hemat saya, sasaran pendengar radio umumnya berada di perdesaan dan masih akan tetap menyukainya, jika dihadirkan sandiwara radio yang menarik dengan dukungan teknologi efek suara dan musik yang lebih canggih. Bahkan masyarakat perkotaan, terutama yang asalnya dari perdesaan berpotensi masih menyukainya. Apalagi, kehadirannya tepat momen, saat di mana masyarakat sudah jenuh dengan berita-berita politik yang membosankan.

Kehadiran ADB 2016, seolah bagai obat rindu akan kehadiran drama-drama kolosal sejarah yang menarik, di tengah dinamika perpolitikan dewasa ini yang sarat intrik. Satu hal yang paling penting, adalah menyisipkan sosialisasi siaga bencana dan edukasi mitigasi kepada publik lewat media yang menghibur. Perpaduan antara kisah heroik, keagungan cinta yang tak pernah berdusta dan peristiwa letusan Gunung Merapi, merupakan racikan kisah yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Apa sisi Menarik Kisah Asmara di Tengah Bencana?
Menurut penulis naskahnya sendiri, S. Tidjab, sisi menariknya seperti ia tuturkan berikut ini.

Menariknya karena ini percintaan beda kelas. Peristiwanya terjadi pada zaman Sultan Agung. Raden Mas Djatmiko dari kalangan ningrat, sementara si Setianingsih itu anak Lurah, dari kalangan biasa. Mereka mendapat tantangan dari kedua belah pihak, tapi mereka tetap kukuh, yang memisahkan hanya bencana itu” (video).
Menurut rencana, jadwal siarannya di 20 stasiun radio, yakni: Radio Kelud, Radio Merapi, Radio Pariwisata Senaputra (Malang), Radio Thomson Gamma (Majalengka), Radio SPS (Salatiga), Radio Soka Adiswara (Jember), Radio CJDW FM (Boyolali), Radio Fortuna (Suka Bumi), Radio Gabriel FM (Madiun), Radio Hot FM (Serang), Radio Merapi (Magelang), Radio Persatuan (Bantul), Radio Aditya (Subang), Radio Gema Surya (Ponorogo), Radio EMC Thomson (Yogyakarta), Radio GeNJ (Rangkas Bitung), Radio H (Karanganyar), Radio Elpas FM (Bogor), Radio Thomson (Bandung), dan Radio Studio 99 (Purbalinga). Selengkapnya, lihat jadwal di bagian akhir Sinopsis Asmara di Tengah Asmara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun